9. Bawa Perasaan

16.1K 1.2K 31
                                    

Selain kantin dan perpustakaan, taman universitas menjadi spot favorit Sagita ketika jadwal kelas kosong.

Angin siang yang terik tak menghalangi fokus perempuan yang sedang membaca. Sesekali ia menyeruput es jeruk yang baru dibeli di kantin. Hingga suara samar bidikan kamera berhasil memecah fokusnya, Sagita menutup buku untuk mencari dari mana asal suara itu. Karena ia yakin tak ada orang lain di taman ini.

'Cekrek'

Bunyi itu semakin jelas terdengar. Dan ketika Sagita membalikkan badan barulah dia memegang dadanya yang berdetak kencang.

"Astaga Kelvin! Ngagetin tau nggak."

Kelvin terkekeh dengan pandangan yang masih tertuju pada layar kamera, seperti tengah memeriksa hasil jepretannya.

"Sorry, abisnya posisi lo minta banget diabadikan."

"Lo foto gue?"

Kelvin mengangguk lalu menyodorkan kamera yang memperlihatkan hasil bidikannya tadi, "Iseng doang sih. Eh, hasilnya malah bagus."

Sagita tersenyum puas, "Eh iya. Nanti share ke gue, ya?"

"Kalo cuma satu nggak cukup," Kelvin memandangi wajah Sagita yang memerah akibat kena sinar matahari, "gimana kalo lo jadi model gue?"

"Maksudnya?"

Kelvin sedikit berdeham, "Sebenarnya gue lagi nyari orang buat dijadiin model. Dan elo masuk kriteria yang dicari client gue."

Sagita membelalakkan mata, membuat Kelvin kembali tertawa.

"Tenang aja, bakal gue bayar kok."

"Bukan itu," Sagita menundukkan kepala, "gue nggak biasa difoto."

"Tenang aja, ada gue yang bakal ngarahin lo," Kelvin membelai puncak kepala Sagita, "kalo lo nggak nyaman, gue bakal cari model lain."

Sagita tak yakin. Entah terik matahari atau usapan hangat Kelvin. Yang jelas, kini Sagita merasa pipinya memanas.

Karena tak ada alasan untuk menolaknya, bukan?

****


Pemotretan yang Sagita lakukan ternyata bagian dari promosi merk sepatu milik teman Kelvin. Lelaki yang ia perkirakan dua tahun lebih tua itu ternyata juga sudah punya toko disalah satu mall terkenal. Dan pemotretan kali ini dipakai untuk promosi model sepatu teranyar mereka.

Setelah mengganti baju, Sagita menunggu Kelvin di salah satu bangku lipat properti kru. Sebenarnya bukan kru tetap karena Kelvin hanya freelance fotografer yang kebetulan sudah memiliki nama diindustri fotografi.

Beberapa kru sibuk membereskan kembali alat-alatnya. Mereka hampir selesai, tapi Kelvin yang tadi pamit menemui client-nya, tak kunjung datang. Seserius apa pembicaraan mereka sampai Sagita merasa dipanggang dibawah matahari sore.

"Maaf ya, lama." harusnya Sagita marah, atau setidaknya merajuk karena ia tidak biasa menunggu.

"Iya, gapapa." tapi apa yang terucap benar-benar diluar kendalinya.

"Gapapa gimana? Wajah lo merah gini," Kelvin melepaskan topi lalu memakaikannya pada Sagita, "kenapa nggak nunggu di tempat teduh aja?"

Sagita gelagapan, "Gu-gue ... takut lo nyariin." seketika ia merutuki alasannya konyol itu.

Kelvin tersenyum penuh arti, "Kita makan, yuk. Gue traktir deh."

Sagita setuju.

Tetapi dia tak mengira jika Kelvin membawanya ke tempat makan sederhana, dimana saung dengan atap dari jerami yang disusun sedemikian rupa berjajar rapih sepanjang mata memandang. Ini adalah kali pertama Sagita makan ditempat khas daerah, yang mana menu makanannya berasal dari tanah sunda.

My Precious Girlfriend ✔Where stories live. Discover now