16. Niat Baik

9.8K 972 38
                                    

Terhitung sudah dua minggu lebih Danu pulang cepat karena dagangannya selalu habis terjual sebelum matahari terbenam.

Pun dengan hari ini.

Selama menghitung uang hasil penjualan, anak itu tak henti-hentinya mengucap syukur atas nikmat yang diberi-Nya. Walau Danu merasa ada sesuatu yang ganjal di sini. Pasalnya, para pembeli balonnya adalah orang-orang yang sama selama dua minggu terakhir ini. Masa sih orang-orang itu membutuhkan balon setiap hari?

Karena tidak ingin membuang waktu, Danu pun beranjak pergi dari kota tua. Namun belum sampai sepuluh langkah, Danu menghentikan tongkatnya ketika sudut matanya tidak sengaja melihat Nino dari kejauhan.

Dengan hati riang, Danu menghampiri Nino, banyak hal yang ingin ia ceritakan pada lelaki itu.

"Bukannya itu pembeli yang tadi?" gumam Danu setelah jarak mereka semakin menipis. Karena penasaran dengan apa yang terjadi, Danu memilih diam memperhatikan interaksi Nino dan pembeli terakhirnya.

"Ini upahnya, jangan lupa besok datang lagi ya." Danu melihat Nino memberikan selembar uang seratus ribu pada seseorang itu.

"Tenang aja. Lagian saya juga masih butuh uang dari Abang."

Danu mengerutkan kening, ia tidak paham dengan percakapan mereka. Tepat ketika lelaki itu pergi, Danu menghampiri Nino.

"Kak Nino." Danu yakin ia tidak berteriak, tapi kenapa Nino melebarkan mata seolah terkejut dengan panggilan?

"Kak Nino di sini juga?"

Nino benar-benar kehilangan semua kosa katanya, ia menelan ludah setelah Danu berdiri di hadapannya dengan bertumpu pada tongkat.

"I—iya ...."

"Yang tadi itu pembeli terakhir Danu," Danu membenarkan letak tongkatnya, "Kak Nino kenal dia?"

"Ka—mu denger semuanya?" ragu Nino.

Danu mengangguk membenarkan, "Maaf ya, Danu nggak maksud nguping."

Nino sempat terdiam, sepertinya ia harus menceritakan semuanya pada Danu karena anak itu berhak tahu. Lagipula suatu saat nanti Danu pasti akan mengetahui kebenarannya, dan jika sampai saat itu Nino belum juga jujur, maka sudah pasti Danu kecewa berat pada Nino.

"Sebenarnya Kakak bayar orang-orang buat beli dagangan kamu."

Danu mengerjap-ngerjapkan mata bingung, "Kenapa?"

Nino sedikit menunduk untuk memegang kedua bahu Danu, "Kakak tau yang celakain kamu itu bukan Kakak, tapi Kak Nino nggak bisa diam gitu aja begitu tau adik Kakak yang bikin kamu begini," Nino mengambil jeda, "dan satu-satunya cara buat menebus kesalahan adalah nyuruh orang-orang beli dagangan kamu."

"Begini gimana sih Kak? Aku masih Danu yang sama, dengan atau tanpa tongkat ini, aku tetap bakal jualan apapun yang terjadi."

"Ini yang bikin Kakak nekat bayar orang buat beli dagangan kamu," Nino menegakkan tubuhnya, "kamu dan Ibu kamu pasti nolak apapun bentuk tanggung jawab yang Kakak kasih."

Danu menatap wajah Nino, ada titik frustasi bercampur lelah di sana. Dan ada titik perih diujung hatinya begitu mengetahui sebesar ini cinta Nino pada adiknya. Lalu perlahan setitik rasa iri timbul, Danu jadi merindukan sosok Ayahnya. Sosok yang sama persis bertanggung jawabnya dengan Nino, namun sosok itu telah pergi sejak lama.

"Kak Nino mau nggak temenin Danu jualan lagi?"

Entah keberanian dari mana, pertanyaan bernada permintaan itu terlanjur keluar dari bibir Danu begitu saja.


My Precious Girlfriend ✔Where stories live. Discover now