25. .... dan Kedatangan

10.2K 947 48
                                    

Pukul dua siang hari, akhirnya jenazah Ibu Danu bisa dimakamkan.

Setelah menyiapkan acara pemakaman dibantu warga sekitar, akhirnya Nino, Jenny dan Airin bisa menemani Danu ke pemakaman umum. Prosesi pemakaman berlangsung secara khidmat, isak tangis tak henti-hentinya mengiringi. Bukan hanya Danu, tapi seluruh warga sekitar juga ikut merasa kehilangan sosok baik di lingkungan mereka, Ibu Danu terkenal sebagai orang yang memiliki hati besar diantara himpitnya kehidupan. Sosok yang selalu berbagi padahal beliau sendiri bingung makan apa hari itu, sosok yang gemar membantu walau sebenarnya beliau juga butuh bantuan, serta sosok positif yang selalu menebarkan aura positif pada tetangga yang mulai mengeluh dengan kehidupannya.

Airin kembali mengusap air matanya dengan tisu, entah sudah berapa tisu yang dia habiskan untuk menerima kenyataan jika sosok wanita yang baru kemarin berterima kasih padanya karena sudah memberikan Danu kesempatan sekolah, meninggal dunia hari ini. Lalu Airin melempar senyum pada warga yang pamit pulang, hingga matanya tak sengaja melirik raut kesedihan Nino. Walau tidak sehisteris Danu, tapi mampu meyakinkan Airin jika cowok itu meneteskan beberapa air mata.

Ekspresi itu begitu tulus, membuat Airin berpikir jika selama ini dia salah menilai Nino.

Harusnya Airin tahu, Nino itu bukan tipikal orang yang mau repot-repot menolong orang jika bukan dorongan dari diri sendiri. Jadi sudah pasti semua bentuk perhatian Nino itu tulus dari hatinya, bukan sebuah 'tanggung jawab' yang selama ini dia pikirkan.

"Nino ...." panggil Airin, Nino menoleh.

"Maaf ya, selama ini aku sering fitnah kamu yang enggak-enggak."

"Udah aku maafin," Nino menarik senyum simpul, "kalo aku jadi gurunya Danu pun, aku bakal ngelakuin hal yang sama."

Entah kenapa kata-kata itu terkesan berwibawa sekarang. Padahal yang ada di depannya Nino, cowok yang terkenal bad boy seantero Jakarta. Airin bahkan sudah hampir meneteskan air mata jika saja Danu tidak memutuskan kontak mata mereka.

"Kak, anterin Danu pulang." lirih Danu, matanya sudah bengkak karena menangis sepanjang prosesi pemakaman.

"Danu punya keluarga lain nggak? Tante? Om? Atau sepupu misalnya?" tanya Jenny sambil mengusap puncak kepala Danu.

"Cuma Ibu yang Danu punya," Danu mengais oksigen sebanyak mungkin, "Danu sendirian sekarang."

Airin menghampiri Danu lalu ikut jongkok di sisi anak itu, "Kalo gitu Danu tinggal di rumah Kak Airin aja, gimana?"

"Enggak!" Nino refleks menolak, "Danu tinggal sama Kak Nino aja, ya." sebenarnya itu sebuah gerak refleks karena Nino tidak ingin kehilangan Danu yang sudah dia dianggap adik sendiri.

"Kebiasaan," Airin menengadahkan kepala menatap Nino yang berdiri di seberangnya, "emang kamu udah ngomong sama orang tua kamu? Jangan ngambil keputusan sendiri, No."

"Jenny setuju kok," tiba-tiba Jenny berucap, membuat Airin dan Nino kompak menoleh, "Jenny bakal bantu Abang bujuk Mommy sama Daddy," Jenny melemparkan pandangannya ke samping, "Danu mau kan tinggal sama Kakak?"

Tanpa diduga, ternyata Danu mengangguk setuju.

Airin memicingkan mata curiga, "Tapi Kak Airin harus ikut ke rumah."

"Enggak usah Kak," Danu berdiri lalu memeluk Airin yang masih jongkok, "makasih ya Kakak udah mau datang ke sini. Ibu benar waktu bilang Kak Airin itu orang baik," lalu Danu mengurai pelukannya, "tapi biarin Danu ikut Kak Nino dan Kak Jenny. Mereka baik kok sama Danu, jadi Kakak nggak usah khawatir."

Benar juga.

Sekali-kali Airin perlu menghargai keputusan anak berumur delapan tahun itu. Airin pun mengangguk, lalu menoleh pada Nino.

My Precious Girlfriend ✔Where stories live. Discover now