23. Teman Saja

9.1K 769 15
                                    

Sejak menginjakkan kaki di kota Paris, senyum bangga tidak pernah habis ditunjukkan Kelvin. Sebab sejak terjun di dunia fotografi, Kelvin sudah menentukan goals terbesar dalam hidupnya, dan memotret ke luar negeri menjadi salah satunya.

Maka dari itu, saat hari pemotretan tiba, Kelvin terlihat sangat antusias. Dia mengontrol dan mengatur kamera serta peralatan lainnya sendiri, agar tidak terjadi kesalahan di hari berharganya ini. Namun Kelvin mulai was-was kala melihat Sagita keluar dari ruang ganti dengan wajah risih, sesekali cewek itu menutupi bagian dadanya yang terekspos dengan kedua tangannya.

"Ada masalah?"

Sagita melemparkan tatapan risihnya, "Harus banget pake baju ini? Boleh ganti nggak?"

"Lo nggak nyaman?" tanya Kelvin hati-hati.

"Gue nggak biasa pake baju terbuka gini," Sagita mulai menarik dress-nya ke bawah, "gue nggak pede."

Seketika Kelvin mengulas memori-memori saat bertemu Sagita, cewek itu memang tidak pernah memakai pakaian terbuka, seringnya jeans panjang dan kemeja karena Sagita memang menyukai style boyish. Jadi sangat tidak heran jika dia protes sekarang.

"Gue pantes nggak sih pake baju beginian?"

"Pantes dong," Kelvin menarik senyum menenangkan, "postur tubuh lo udah mirip model, baju apapun pasti cocok buat lo."

Kata-kata yang dikeluarkan dengan nada suara Kelvin yang rendah nan dalam itu mampu meluluhkan ketakutan dan membangkitkan kepercaya dirian Sagita. Mungkin sekarang yang dibutuhkan Sagita memang dukungan Kelvin, satu-satunya orang yang dia kenal di sini.

"Tapi kalo lo nggak mau, gue bisa omongin ke client. Gue nggak maksa."

Refleks Sagita melambaikan tangan cepat, "Jangan! Gue udah jauh-jauh ke sini, masa dibatalin gitu aja."

Kelvin menarik senyum manisnya, "Jadi bisa kita mulai sekarang?"

Setelah Sagita mengangguk, pemotretan pun dimulai. Walau client-nya tidak hadir untuk mengawasi, namun dia mengirim beberapa orang untuk memantau dan membantu Kelvin dalam pemotretan ini.

Kelvin berusaha mengambil angle terbaik walau ekspresi wajah Sagita lebih banyak memancarkan perasaan risih. Dengan frustasi, Kelvin menghentikan pemotretan lalu meminta orang-orang yang membantunya keluar sebentar untuk berbicara empat mata dengan Sagita.

Sagita sadar, wajah frustasi itu menandakan hal buruk telah terjadi, "Hasil fotonya jelek ya?"

"Kurang memuaskan," ralat Kelvin, dia membawa Sagita ke cermin besar yang ada di sudut ruangan, "gue yakin lo nggak percaya kalo gue yang ngomong, tapi lo harus lihat sendiri kecantikan ini." Kelvin menurunkan kedua tangan Sagita yang masih menutupi area dadanya.

Posisi Kelvin yang berdiri dekat di belakangnya membuat Sagita bingung harus memfokuskan diri pada pantulannya atau pantulan cowok itu. Sagita paham jika Kelvin mati-matian menekan frustasinya untuk membangkitkan rasa percaya diri Sagita, namun apa daya dia benar-benar tidak betah dengan dress pendek ini.

"Kalo boleh jujur, lo satu-satunya model paling fleksibel yang pernah gue tangani. Sebagai fotografer, gue punya feeling kalo lo emang terlahir sebagai model profesional."

Mata Sagita masih tertuju pada bayangan Kelvin yang kini memegang kedua bahunya. Dia tak yakin jika kata-kata Kelvin itu jujur atau hanya buaian belaka, tapi anehnya hati Sagita tetap melambung seolah dibawa ke awan.

"Lagian, ya, gue tuh bingung. Kenapa cewek secantik lo bisa minder? Apa perlu gue suruh orang-orang keluar biar kita pemotretan berdua aja?"

Ah, tidak. Jangan sampai itu terjadi. Sekarang saja Sagita menggigit bibir bawahnya kuat-kuat agar degup jantungnya bisa kembali normal. Lalu Sagita harus apa untuk menutupi salah tingkahnya jika mereka benar-benar melakukan pemotretan berdua?

My Precious Girlfriend ✔Where stories live. Discover now