15. Ketika Airin Khawatir

11.5K 1K 39
                                    

Sagita mengacak-acak rambut frustasi, jika tidak sedang di perpustakaan, ia pasti sudah berteriak untuk meluapkan beban pikirannya. Pasalnya tumpukkan buku di sisi gadis itu tidak mampu menjadi referensi yang sempurna untuk skripsinya.

"Rin, gue pinjem jurnal lo aja deh. Mumet banget otak gue." ucap Sagita, namun yang diajak bicara hanya diam. Airin tetap mengetik walau Sagita menghalangi layar laptop dengan tangan kanannya.

Sagita yakin, pasti sekarang Airin sedang melamun. Entah bisa disebut anugerah atau kebiasaan buruk, tapi yang jelas, terkadang Airin melamun sambil mengerjakan sesuatu. Ajaibnya, hasil dari kerjaan Airin selalu sempurna, tidak terlihat seperti orang yang kehilangan fokus.

"Woy!" Sagita menepuk keras pundak Airin, membuat gadis itu terkejut luar biasa, "nah kan, kebiasaan. Kalo ngerjain skripsi kudu niat, jangan sambil melamun." bisiknya.

Airin membenarkan posisi duduknya, "Gue nggak ngelamun."

"Bohong," Sagita menggeser bangkunya mendekat pada Airin, "tuan putri ngelamunin apa sih?"

Airin mendelik lalu mendorong jurnalnya ke muka Sagita, "Udah sana kerjain skripsi lo. Gue nggak mau temenan sama mahasiswa abadi."

Sagita tertawa kecil, kemudian mulai membaca jurnal Airin sampai suatu ingatan mengganggu pikirannya.

"Oh iya, Rin. Kemarin gue ke kota tua, terus nggak sengaja ketemu Nino di sana."

Mendengar nama Nino disebut, Airin menghentikan aktivitas lalu mendorong laptopnya menjauh.

"Ngapain dia di sana?"

"Lah, gue kira lo tau. Padahal gue mau nanya tujuan dia ke sana, soalnya gelagat dia mencurigakan banget."

"Mencurigakan gimana?"

Sagita memutar bola mata berpikir, "Gue lihat Nino senyum ke anak kecil yang pake tongkat. Gue nggak jelas lihat wajah anak itu, tapi kayaknya si Nino kenal dia deh."

Airin termenung, berusaha mengabsen saudara sepupu Nino. Namun ia tidak menemukan anak kecil di sana, setahu Airin, Nino hanya punya satu sepupu dan itupun umur mereka hampir berdekatan.

"Gue tau nih," Sagita tersenyum penuh arti, "pasti dari tadi lo ngelamunin Nino. Iya, kan?" ia mencolek dagu Airin.

"Mulai dah sok taunya."

"Lo lupa? Gue ini anak psikologi, gue bisa baca raut wajah lo dengan mudah. Bilangnya sih nggak ngelamun, tapi pas ngomongin Nino, raut wajah lo paling semangat."

Skakmat!

Airin tidak bisa mengelak lagi. Sebenarnya Airin tidak mau memikirkan Nino, tapi entah kenapa kejadian di supermarket kemarin lusa selalu terbayang olehnya.

Walaupun Nino itu tidak peka sekitar dan selalu seenaknya, tapi lelaki itu tidak pernah sungkan meminta maaf jika ia merasa bersalah. Dan Airin rasa, luapan emosinya kemarin sudah cukup untuk menyadarkan Nino bahwa ia juga ingin dimengerti.

Tetapi, kenapa sampai hari ini Nino tidak menunjukkan batang hidungnya?

*****

Nino sedang memilih menu makan siang disalah satu warung ketika tiba-tiba Airin berdiri di sebelahnya. Gadis itu juga sibuk membaca menu di papan yang tertempel di atas.

"Eh ada Airin," spontan Airin menoleh saat mendengar suara Nino, "sendirian aja? Sagita mana?"

Airin memilih untuk tidak mengindahkan pertanyaan Nino, ia menyebutkan pesanannya lalu duduk di meja paling pojok kantin.

Tak ingin menyerah begitu saja, Nino pun memilih pesanan asal-asalan, lalu bergegas menghampiri Airin.

"Aku temenin ya."

My Precious Girlfriend ✔Where stories live. Discover now