15. Haruskah berdamai?

106 18 10
                                    

Dalam keadaan seperti ini Gisti benar-benar sangat membutuhkan Bryan. Lelaki itu masih saja bersikap dingin padanya, Gisti sama sekali tidak mengerti apa yang telah ia perbuat hingga Bryan berubah.

Berulang kali ini berusaha menjadi orang yang bodo amat, namun nyatanya ia tidak berhasil melakukan hal itu. Gisti yang sedang terluka hatinya karena ayahnya-Budi dan harus menahan rasa pedih karena Bryan, sungguh gadis yang malang.

Gisti memutuskan pergi ke kantin seorang diri, ia sudah izin ke Bima untuk makan siang. Sesampainya di kantin ia melihat Anton-sahabat Bryan yang tengah duduk sendirian di pojok kanan kantin dekat warung bakso sambil menggunakan earphone.

"Anton ..." panggil Gisti.

"Ada apa, Gis?" sahut Anton.

"Gue mau tanya sesuatu boleh?"

"Tanya apa?"

Gisti pun duduk di kursi kosong tepat dihadapan Anton. "Bryan, cerita apa aja ke lo?"

Ia membuka earphone yang terpasang di telinganya. "Kenapa emang? Lo, lagi ada masalah sama dia?"

"Hmm, engga. Gue cuman nanya aja. Yaudah, thanks yaa," ucap Gisti yang segera beranjak dari kursi.

"Ada satu hal yang buat hati dia engga terima, Gis." Balas Anton.

Gisti yang mendengar perkataan Anton langsung duduk kembali. "Maksud, lo?"

"Ketika lo berusaha bohongin dia perihal dia harus jaga hati."

Mendengar ucapan Anton, ia mulai mengingat perkataannya saat malam perjodohan di restoran itu. "Tapi, Bryan udah tahu perihal ini kok. Lo, inget kan kejadian di villa waktu itu? Dan dia tahu akhirnya alasan kenapa gue minta perjodohan ini dirahasiakan."

Gisti mengerutkan keningnya. "Lalu, masalahnya apa? Semuanya udah jelas kan kalau Nadia suka sama Bryan dan gue sebagai orang yang nikung sahabat gue sendiri."

"Kayaknya karena Nadia berusaha ngejelasin semuanya ke dia pas lo engga ada."

"Maksud, lo?"

"Pas lo pulang duluan sehabis mentoring, dia sempet nyariin dan nungguin lo di parkiran. Tapi gue liat Nadia nyamperin dia dan ngajak ngobrol dia. Gue engga tahu sih mereka ngobrolin apa, tapi gue punya firasat Bryan kayak gitu sehabis dia ngobrol sama Nadia." Lanjut Anton.

"Tapi, kenapa Bryan harus marah sama gue?"

Anton mengangkat kedua bahunya sebagai tanda ia tidak tahu apa-apa. "Gis, lo perlu ingat satu hal. Terkadang orang yang kita anggap dekat itu belum tentu dekat. Dan orang yang kita anggap sahabat itu belum tentu sahabat, bisa jadi dia menjelma menjadi musuh yang berbahaya buat, lo." Ucap Anton.

"Maksud lo, Nadia?"

Anton mengangguk. "Gue bukan berpikiran negatif tapi udah banyak kasus yang kayak gini, Gis. Ketika seseorang sakit hati dan merasa miliknya direbut dia akan menjelma menjadi orang jahat walaupun dia sahabat lo."

"Gue juga engga mau hal ini terjadi, Ton."

"Iya, gue tahu lo kayak gimana. Tapi saran gue hati-hati aja sama Nadia." Ujar Anton.

Bahkan di keadaan seperti ini Gisti harus menanggung bebannya lagi, ucapan Anton memang benar mungkin ada sesuatu hal yang dikatakan oleh Nadia kepada Bryan sehingga lelaki itu berubah.

"Gue cabut dulu ya, Gis. Lo, baik-baik sama Bryan," Anton pergi meninggalkan Gisti di kantin.

"Thanks ya, Ton."

Kepalanya kini terasa berat memikirkan hal tersebut. "Salah gue apa sih, Yan?" gumam Gisti.

Gisti berusaha menghubungi Bryan namun hasilnya nihil, seluruh pesannya hanya dibaca dan panggilannya di tolak. "Kenapa sikap lo jadi kayak anak-anak sih, Yan?" oceh Gisti.

Tentang Kita ✔ [TAMAT]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant