24. Demi Kebaikan

78 12 2
                                    

Gisti panik bukan main, melihat Bryan pergi membawa amarahnya. Sontak Gisti mencari nama Bunda untuk mengabari keadaannya saat ini, namun sayang tidak ada jawaban dari telepon Gisti.

"Bunda, ayo angkat ..," ucap Gisti yang mulai panik dengan keadaannya saat ini.

Gadis itu berjalan seorang diri ke arah pos satpam, berinsiatif untuk mencari bantuan disana. Berharap akan ada yang berbaik hati untuk menolongnya mencari Bryan. Tubuhnya bergetar, matanya terus mengeluarkan air mata.

"Engga boleh nangis, Gis! Engga boleh, kamu harus kuat." Gumam Gisti.

Belum sempat dirinya sampai di pos satpam, ia mendapati Bryan tengah duduk di atas motornya seorang diri. Menatap kosong ke arah depan, seolah tidak ada lagi harapan untuk hidupnya.

"Bryan!!!" Panggil Gisti.

Ia tidak menghiraukan panggilan Gisti. "Pergi, Gis ..." Ujar Bryan.

Gisti yang mulanya berlari kecil ke arah Bryan memperlambat langkahnya. "T-tapi, kenapa?"

Keadaan sekitar cukup sepi, belum lagi tempat pemberhentian Bryan sangat minim pencahayaan. Namun, Gisti dapat melihat jelas wajah Bryan.

Gisti meraih wajah Bryan. "Yan ..."

Dengan cepat Bryan menepis tangan Gisti, ia tidak membiarkan gadis itu menyentuh wajahnya. "Ku mohon kau pergi." Pinta Bryan.

"Iya, tapi kenapa?" tanya Gisti yang masih tidak mengerti mengapa ia harus pergi meninggalkannya seorang diri disana.

"Aku tahu kau pasti akan meminta bantuan. Untuk kali ini biarkan aku pergi dengan tenang ya? Kau pulang lah, jangan panggil siapapun atau mencari tahu aku akan pergi kemana." Ucap Bryan.

Tidak lama kemudian, terdengar suara mobil mendekati ke arah mereka berdua.

"Pulang lah. Vino akan mengantarkanmu sampai rumah." Ucap Bryan.

Gisti melirik ke arah mobil yang dikendarai oleh Vino. Ia membuka kacanya. "Ayo, Gis ..." ajak Vino.

Gisti tidak cukup pandai membaca situasi saat itu, ia kebingungan dengan maksud Bryan memanggil Vino kesana. "Kenapa harus sama Vino, Yan?"

"Karena gue yakin Vino bakal jagain lo." Sahut Bryan.

Gisti menghela napas. "Gue tahu engga seharusnya gue ikut campur. Tapi—" belum sempat ucapannya berlanjut Bryan sudah memotongnya.

"Tapi, gue engga mau rasa sakit yang gue alami, dirasakan sama orang yang gue cintai. Cukup mamah yang gagal gue jaga, gue engga mau hal itu terjadi sama lo," jeda tiga detik, "gue yakin sementara ini Vino bisa jaga lo dengan baik."

Bryan turun dari motornya, menghampiri Vino yang tengah berdiri di depan pintu mobilnya.

"Hanya kali ini Gisti gue izinkan sama lo, Vin. Anggap aja sebagai rasa terimakasih gue. Karena lo udah memberikan ocehan berguna bagi hubungan gue dan Gisti. Thanks, Bro," Bryan menepuk pundak Vino lalu berjalan kembali ke arah motornya.

Bryan cukup sakit melihat kesedihan yang melanda Gisti, tidak hanya itu saja hatinya begitu pedih keluarganya hancur hanya karena seorang wanita tidak tahu diri hadir menjadi penghambat kebahagiaan keluarganya. Astuti sudah cukup lama bersabar hanya karena cinta dan Bryan tidak ingin wanita yang sangat ia hormati merasakan kepedihan lagi. Ia harus menyelesaikannya.

Langkah Bryan terhenti tepat di hadapan Gisti, ia berbalik menatap Gisti yang sedang menunduk menahan tangisannya.

"Hanya sebentar..." Ucap Bryan.

Bryan kembali berjalan, lalu meninggalkan Gisti dan Vino disana.

Setelah kepergian Bryan, Gisti menangis sejadi-jadinya. Vino yang melihat Gisti seperti itu hanya dapat menepuk pundaknya agar ia segera tenang. Vino membawa Gisti masuk ke dalam mobil, setidaknya Gisti dapat lebih bebas untuk menangis di dalam sana.

Tentang Kita ✔ [TAMAT]Where stories live. Discover now