DM || Bagian 2

30.7K 2.6K 633
                                    

"Kenapa wujudku yang berbeda, selalu membuat kalian memekik ketakutan ketika melihatku?"

OoO

DESA WIDI

Desa tanpa kecamatan dan kabupaten. Tidak ada yang tahu dimana letak jelas Desa Widi. Jauh di pelosok hutan, hanya itu yang diucapkan orang - orang. Bahkan beberapa ada yang menggangap desa kecil itu hanyalah sebuah mitos. Mitos yang dibuat para orang tua agar anak - anaknya menjauhi daerah hutan. Tapi itu bukan mitos. Kamal, Yuta, Abas, Isabel dan Riri sendiri yang membuktikannya.

Di depan mereka, tulisan Desa Widi terpampang diatas anyaman bambu yang ditegakkan dengan sebuah paku. Meski tak dapat dipungkiri, nyaris tidak ada orang - orang yang mengunjungi desa itu kecuali turunan keluarga. Rumah mereka sederhana. Terbuat dari bambu kering yang disusun sedemikian rupa. Tidak ada listrik. Desa Widi tidak punya. Mereka hanya menggunakan petromaks dan lampu minyak yang bisa mati kapan saja. Beberapa rumah yang sedikit beruntung--memiliki ternak di depan rumah mereka. Bukan sapi atau ayam. Tapi rusa dan sejenisnya.

"Ini desanya, Pak?" tanya Kamal. Pak Saleh beserta dua orang yang masih belum melepaskan topengnya mulai berjalan masuk. Mereka berhenti tepat di gapura desa. Terbuat dari batu yang tersusun seadanya. Pertanyaan Kamal hanya dijawab dengan anggukan. Sementara Pak Saleh dan rekannya mengambil sebuah sesajen kecil di ujung gapura.

"Kalian, ayo berdiri berjejer disini." perintah Pak Saleh menginterupsi. Segera, mereka berlima berbaris di depan Pak Saleh. Menanti apa yang akan dilakukan pak tua itu. Di tangan Pak Saleh sendiri ada beberapa potong bunga melati dan sekendi kecil air yang ditata diatas piringan besi. Ada jarum kecil juga di samping kendi- entah untuk apa.

"Kalian, ambil satu bunga melatinya," lanjut Pak Saleh. Meski ingin sekali bertanya, mereka lebih memilih mengurungkan niat. Setidaknya sampai wajah Pak Saleh yang kaku ini melunak seperti saat di tenda. Yuta dengan jiwa penasaran yang tinggi pun, lebih rela mengambil setangkai bunga melati dalam diam. Nyawanya lebih berharga ketimbang pertanyaannya.

"Makan."

"Hah?"

Perintah itu tak sanggup membuat Yuta menutup mulutnya. Makan bunga. Hal aneh yang tak pernah dipikirkan oleh rombongan kecil itu. Masih ada nasi. Jika tidak ada nasi, masih ada gandum. Kenapa mereka harus mengonsumi bunga melati? Jika alasannya karna lapar, Yuta sendiri memilih memilin lambungnya agar diam.

"Kenapa bunganya harus dimakan, Pak? Ini bunga melati. Bukan nasi makanan kami. Kita gak bisa makan bunganya, Pak. Maaf," tolak Yuta. Nyaris saja Yuta meletakkan kembali bunga kecil itu pada nampan, tapi tangan keriput Pak Saleh lebih dulu bergerak cepat.

"Bawa kembali," tegur Pak Saleh. Matanya menyisir rombongan itu perlahan. "kalian jangan lupa. Ini Desa Widi yang jadi mitos misteri. Kita berbaur dengan hutan dan alam. Bahkan sampai mati, kita tetap takkan tau apa yang perut bumi sembunyikan. Ingat, kita ini hidup berdampingan dengan mereka. Jauh dari kata kota yang jelas sudah terkikis adatnya," Pak Saleh menarik nafas panjang. Usia tua menghalanginya berbicara banyak. "sudah tidak usah menolak. Ritual ini memang khusus diadakan untuk para pendatang. Niat saya baik. Saya cuma gak mau kalian kenapa - napa."

Yuta hendak memprotes lagi. Tapi melihat Isabel yang melarang dan juga Kamal yang menahan, akhirnya pemuda itu mengalah. Serempak, mereka memakan bunga melati di tangan. Mengunyah meskipun ekspresi aneh jelas terlukis di wajah mereka. Riri yang paling kentara. Fast food yang biasa dikonsumsinya kini berubah menjadi tanaman alam yang masuk ke perutnya.

"Sudah, minum air ini dulu. Ini air dari sungai di Barat desa. Saya jamin bersih," ucap Pak Saleh. Melihat ekspresi Riri yang begitu berjaga - jaga, mau tak mau membuat Pak Saleh harus menekankan kata bersih. Karna bagaimanapun, sungai dan muara mereka masih jernih. Tak ada limbah atau kotoran lain.

Desa Mati [Completed]Where stories live. Discover now