DM || Bagian 27 : Flashback (2)

14.1K 1.8K 273
                                    

22 April 20xx

Wisnu pasti mati.

Putraku sebentar lagi akan menjemput ajalnya malam ini.

Di tengah kerumunan warga, Wisnu diikat di sebuah tiang di tengah tanah lapang. Dibiarkan begitu saja sebelum mereka memulai eksekusinya. Kang Wija tertahan di tanah. Tubuhnya diikat erat. Usaha agar dia tidak bisa menyelamatkan Wisnu.

Putraku akan mati.

Dan aku tak bisa melakukan apapun kecuali meraung dan memohon ampunan dengan air mata yang mengalir deras.

Tapi mereka tidak mempedulikannya.

Beberapa warga yang memang membenci Wisnu sekaligus dendam dengan kematian Kang Luqis--pria paling murah hati di desa--menjadi lebih beringas dan menanti kematiannya. Mereka berbondong - bondong datang dari rumah sembari membawa senjata tajam.

Aku tak tahu apa yang akan mereka lakukan.

Yang jelas, pasti berakhir mengerikan.

Aku tak mau melihat kematian putraku sendiri. Sekeras mungkin aku mencoba membebaskan diri dari beberapa warga wanita yang mencoba menghadangku. Aku menjerit sekuat tenaga.

"Lepaskan Wisnu! Tolong maafkan dia! Bunuh saja saya! Bunuh saja saya tapi lepaskan dia! Tolong jangan bunuh Wisnu. Jangan habisi putraku!"

Ini tangisan dan jeritan hati seorang ibu.

Tapi mereka seakan tuli. Tak peduli. Mereka menganiaya Wisnu yang terikat setengah sadar. Memukulnya. Menamparnya. Menghinanya. Menyumpahinya dengan kalimat - kalimat yang membuat hatiku menciut sakit.

"Mayang! Ini adalah hukuman yang pantas untuk putramu!" Kang Rasim berteriak begitu lantang. Matanya menatapku dan Kang Wija bergantian. "Pak Wija dan kamu itu sama - sama tidak becus mendidik anak! Siapa yang perlu disalahkan jika anak kalian itu ternyata seorang pembunuh? Kalian itu orang tua payah! Menyedihkan!" 

Kang Wija memekik tertahan di sumpalan kain mulutnya. Matanya memerah. Menggelegak amarah dan tangisan. Tubuhnya terus memberontak. Menyisakan sayatan tajam yang menggores seluruh tubuhnya.

Aku hanya terdiam. Tidak menghiraukan cemoohnya yang terasa membakar hati. Mataku hanya terpaku pada Wisnu. Putraku yang malang. Tubuhnya sudah bermandikan luka dan darah. Matanya bahkan hanya bisa membuka setengah. Mereka kejam! Sangat kejam! Sekali lagi mereka menyiksa di atas nama adat desa. Hukuman turun temurun. Eksekusi yang diriwayatkan dari masa lalu.

Pembunuh keji harus dihukum dengan cara keji juga.

"Sekarang, siapa yang setuju Wisnu mati malam ini?!" Kang Rasim berteriak lantang lagi.

"Ya! Bunuh dia! Bunuh Wisnu!"

"Pembunuh harus dibunuh! Nyawa di bayar nyawa! Terapkan adat desa!"

"Bunuh! Bunuh! Bunuh!"

"KITA BUNUH WISNU!" Kang Rasim berteriak penuh kemenangan. Dia mengambil sekotak minyak dan menyiramkannya di tubuh Wisnu. Mengguyurnya. Aku tahu apa yang akan terjadi sebentar lagi.

"Tidaak! Wisnu! Jangan bunuh Wisnu! Saya janji akan pergi dari desa! Saya janji tidak akan pernah menginjakkan kaki disini lagi! Tolong ampuni Wisnu. Biarkan saya membawanya pergi! Saya janji tidak akan kembali! Jangan bunuh putraku!" Aku menjerit sekuat tenaga. Membiarkan air mataku mengalir. Membawa kecewa dan ketakutan. Aku takut. Aku tak bisa melihat putraku sendiri mati.

Desa Mati [Completed]Where stories live. Discover now