DM || Bagian 11

15.3K 1.7K 405
                                    

"Hanya satu hal yang sering aku takuti. Kala aku melihat diriku di cermin, aku takut jika bayanganku bergerak sendiri. Dan kini, ketika aku menatap kedalam bayangan pupil hitam mataku, aku bisa melihat jika dirinyalah yang sedang berkaca. Bukan diriku."

OoO

Bapak Sunawi Jarayo atau yang akrab dipanggil dengan nama Pak Wija. Pria paruh baya berusia 52 tahun yang hanya hidup berdua dengan putranya yang masih kecil. Hidupnya nyaman dan bisa berleha - leha tanpa harus bekerja. Tentu saja seperti itu, karena beberapa warga yang berstatus sebagai bawahannya kerap kali datang membawakan makanan atau sekedar camilan untuknya. Sudah lama dirinya mengatur orang -  orang untuk berjalan dibawah perintahnya.

Setidaknya, itulah yang didengar sekumpulan anak muda itu selama beberapa menit lalu.

Pak Wija dengan asyiknya berceloteh bagaimana hidupnya begitu kaya dengan makanan. Damai dan dijunjung layaknya Raja. Betapa bahagianya Pak Wija yang bisa tidur dengan perut membesar tanpa perlu bersusah payah.

Yuta berdecak kesal. Pemuda itu melihat tetesan air di kaosnya lantas mendekat kearah Isabel. "Ck! Ini bosenin banget. Gak penting juga kita tahu riwayat hidupnya, Bel."

"Yuta, jangan gitu!" bisik Isabel mengingatkan.

"Apa? Bener kok yang saya omongin. Gak ada faedahnya kita dengerin cerita Pak Wija. Belum lagi muncratan yang keluar itu. Basah semua nih," keluh Yuta sebal. Entahlah. Isabel merasa, Yuta lebih sensitif semenjak dia menginjakkan kakinya di rumah ini. Ralat. Semenjak dia melihat Pak Wija untuk pertama kalinya.

Pak Saleh yang mendengar perdebatan kedua anak muda di sampingnya hanya bisa menghela nafas pelan. Mungkin kedua manusia itu lupa kalau pendengarannya masih tajam.

Melihat kearah Pak Wija, entah tidak peka atau apa, Pak Wija masih saja bercerita dengan semangat. "Jadi saya itu hidup dengan damai, dibantu warga Desa Widi ya--"

"Pak Wija," ucap Pak Saleh menyela. Pria itu melirik Yuta yang balik menatap kearahnya. "Kita langsung ke pembicaraan inti saja. Sehabis ini, saya akan membawa anak - anak untuk berkeliling."

Tak apalah berbohong sedikit. Karena kalau boleh jujur, Pak Saleh juga mulai pening dengan segala cerita pria tambun itu.

"Oh, berkeliling, ya?" Intonasi Pak Wija mendadak berubah. Pria itu menatap Pak Saleh aneh lantas mencondongkan tubuhnya untuk mendekat. "jangan dibawa berkeliling begitu jauh. Biar ... tetap berada dalam garisnya."

Pak Saleh hanya mengganguk kaku.

Pak Wija menarik diri. Pria itu tersenyum cerah. "Jadi, bisa perkenalkan diri kalian masing - masing? Kalian berasal darimana?"

Kamal yang merasa harus menjelaskan unjuk diri untuk membuka suara. "Biar saya yang menjelaskan, Pak," ucap Kamal memulai. "Saya Kamal, ini Yuta dan itu Abas. Yang berambut panjang Riri dan Isabel yang berambut sebahu. Kami dari Universitas Maxi hendak melakukan suatu penelitian, tapi karena suatu kejadian kita tersesat sampai di hutan."

Pak Wija mengganguk. Kedua netra besarnya hanya bergerak menatap Riri dan Isabel bergantian. "Nak Riri sama Nak Isabel umurnya berapa?"

"E-eh?" Riri gelagapan sendiri. Isabel juga langsung tertegun. Belum lagi para pemuda disana yang langsung memasang raut wajah bingung.

"Iya. Umur kalian berapa? Saya boleh tahu, 'kan?" lanjut Pak Wija. Tersenyum lebar hingga menampakkan deretan gigi hitam dan kuningnya.

"Saya 21 tahun," ucap Isabel.

"Saya sama seperti Isabel," lanjut Riri tak nyaman.

"Wah ... masih pada muda, ya? Hehe, baguslah." Pak Wija langsung mengganguk dan tersenyum lebar.

Desa Mati [Completed]Where stories live. Discover now