DM || Bagian 14

14.4K 1.7K 314
                                    

"Kau punya jendela di kamar atau rumahmu? Bukalah sekarang dan kau akan melihatku yang berdiri disana. Mengawasimu. Tapi awas, jika kau tetap keras kepala dan enggan membuka jendelanya, aku yang akan memaksa masuk. Jadi ... tunggu aku, ya!"

OoO

Buagh!

Isabel dan Riri refleks memekik kecil tatkala menyaksikan adegan ngeri di depan mereka. Akibatnya, lilitan di kaki Riri jadi terlepas. Dengan paksa tentunya. Menyisakan lelehan air liur dan bekas merah sepanjang pergelangan kakinya.

"P-pak?"

Pak Rasim yang berdiri di depan mereka tersenyum bangga. "Gimana tendangan saya? Luar biasa, bukan? Saya ini berbakat dalam hal menendang seperti itu, loh."

Riri gemetar. "Tapi kaki Pak Rasim baik - baik aja? Nendang yang seperti itu, bukannya..."

"Kenapa?" Pak Rasim terkekeh. "Saya sudah biasa nanganin makhluk - makhluk astral. Untuk yang kepala usil seperti itu, memang harus dilepas paksa. Karena kalau tidak, dia akan ngikutin kalian sampai di rumah."

"Ngikutin?" Isabel membeo.

"Iya," ucap Pak Rasim lantas menatap Riri sejenak dan menunjuk kakinya, "cepetan dibersihin itu air liurnya dari kaki kamu. Biasanya kalau dia nandain seperti itu, artinya dia suka sama kamu."

"SUKA?!" Riri berjengit. Buru - buru dia menunduk dan mengusap asal air liur pada pergelangan kakinya. Riri bergidik jijik tatkala air liur itu menimbulkan jembatan panjang di tangannya.

"Oh, Pak Rasim sendiri habis darimana?" Isabel mencoba berbasa - basi. Dia melirik tombak dan beberapa anak panah yang tertenteng di punggung Pak Rasim. "Pak Rasim habis keliling hutan? Gak dapet sesuatu ya, Pak?"

Pak Rasim menoleh. "Tadi ada satu buruan, tapi berhasil lepas. Padahal nyaris saja saya dapatkan. Kalian berdua kenapa disini?"

"Sebenernya kita mau pulang, Pak. Tapi di jalan malah kehadang makhluk kayak tadi," sahut Riri. Dia berdiri dan menatap Pak Rasim lekat, "Pak Rasim, itu apa?"

Semua mata langsung menoleh kearah sesuatu yang ditunjuk Riri. Sebuah benda kecil. Berkilau dan tergantung di serpihan kayu sisi tombak Pak Rasim. Isabel dan Riri mengernyit. Mempertajam penglihatan diantara gelapnya awan mendung.

"Itu..." Isabel menjeda. Dia menatap penuh tanda tanya. "Gelang perempuan?"

Pak Rasim terdiam. Sejenak terjadi keheningan. Senyap yang mencekam. Isabel dan Riri menahan nafas mereka tatkala Pak Rasim mulai mengambil gelang bermutiara itu.

"Ini memang gelang perempuan," ucap Pak Rasim lalu menatap tajam. Isabel dan Riri sampai gemetar melihatnya. Terjadi keheningan lagi beberapa saat, sebelum Pak Rasim tertawa terbahak - bahak, "kalian tegang banget. Ini memang gelang anak perempuan. Tadi saya nemu ini di jalan. Gak tahu milik siapa. Saya kira ini milik kalian."

Riri menggeleng. "Bu--"

"Milik kami, Pak. Terimakasih sudah menemukan. Saya kira hilang." Isabel membungkuk kecil. Dia tersenyum simpul dan menerima sodoran gelang itu dari tangan Pak Rasim.

Pak Rasim tersenyum. Senyum yang sangat lebar. "Yaudah hati - hati, jangan sampai hilang lagi. Saya mau bersih - bersih di rumah. Baju saya lengket darah sama keringat. Kalian juga pulang, ya."

Isabel terdiam tatkala gelang itu berada diatas tangannya. Memandang intens berbarengan dengan berbagai pernyataan aneh yang menyusup di otaknya.

"Ada bercak darah kering di gelangnya. Dan di tombak tadi ... gak ada bercak darah sama sekali. Yang kena bercak darah cuma baju Pak Rasim. Hah?"

Desa Mati [Completed]Where stories live. Discover now