DM || Bagian 21

13.5K 1.7K 403
                                    

"Sekali - kali, ketika kau di rumah sendiri, cobalah lihat sekelilingmu. Pastikan ... kalau kau benar - benar sendirian di rumah kali ini. Siapa tahu ada yang mengintipmu dari balik pintu kamar mandi, pintu lemari ataupun kolong kasurmu. Menunggu saat kau sendiri untuk dipanggil dan diajak bermain."

OoO

"Kayaknya bawa ini aja cukup."

Yuta melihat baik - baik beberapa barang yang sudah disiapkannya untuk penelusuran kali ini. Mengingat apakah ada lagi yang perlu ia bawa atau sekadar untuk berjaga - jaga. Usai diam selama beberapa menit, Yuta kemudian menggeleng kecil. Dia mengambil jaket tipisnya lantas memasukan tali, senter dan pisau kecil ke dalam kantungnya.

"Yut, kamu beneran mau pergi?" Kamal yang baru saja masuk mencoba memberi pengertian lagi. Dia duduk di sisi kasur sembari menatap Yuta yang sibuk sendiri.

"Saya bahkan gak kepikiran untuk mundur sama sekali." Yuta tersenyum lebar. Dia memakai tudung jaketnya. "Tenang, Mal. Doain aja saya bakal pulang dalam keadaan utuh."

"Tapi--"

"Dan, ya, jangan ngerasa nggak enak sama saya. Kamu sama Abas perlu jagain Isabel sama Riri kalau ada apa - apa lagi. Saya gak pa-pa, kok." Yuta mengganguk meyakinkan. Dia berjalan keluar dan langsung menemukan Abas, Isabel dan Riri yang berdiri berbaris di pintu rumah. Yuta tertawa, "kalian kenapa baris jejer - jejer gitu?"

Isabel melangkah maju. Dia meremas jarinya gugup. "Kalau aku bilang jangan pergi, apa kamu bakal nurut, Yut?"

"Sayangnya enggak." Yuta menggeleng pelan. "Kalian pasti tahu, kalau yang saya lakuin itu juga buat kita. Buat keselamatan kita dan supaya bisa keluar dari desa."

"Tapi besar resikonya," jawab Abas. Membujuk yang akan tetap berakhir sama bagi Yuta. Pemuda itu tetap akan pergi. Selama perjalanan ini, mereka tahu seberapa keras kepalanya Yuta itu.

"Semua hal punya resiko, Bas," jawab Yuta tenang, "lebih baik pergi dengan penuh resiko daripada saya diem kayak gak tahu apa - apa. Udah. Kamu disini aja jagain Riri. Saya pasti pulang."

Yuta kemudian menepuk bahu Abas bersahabat. Dia hanya tersenyum tipis sebelum mulai beranjak pergi. Keluar. Menentang bahaya yang sudah ada di depan mata.

"Yut, kamu ... bisa terluka." Riri tetap berusaha menghentikan. Dia menatap punggung Yuta dengan getir.

Yuta yang sudah berjalan beberapa langkah menoleh. Dia tertawa pelan. "Saya bahkan rela mati asalkan kalian semua selamat."

OoO

Gelap dan sepi. Yuta yang mengendap - endap di semak belakang rumah Pak Wija nampak kepayahan menyesuaikan langkahnya. Dia sengaja memutar lebih jauh agar sampai langsung di belakang rumah. Di sisi tersembunyi tempat sumur itu berada.

"Ck, kalau siang lumayan kelihatan sumurnya. Tapi kalau gelap bagian pinggirnya aja gak kelihatan."

Yuta menggerutu. Dia berjalan merunduk--sebuah usaha untuk menutupi tubuhnya--dan semakin menerobos ilalang serta semak tajam yang tumbuh cukup tinggi di sekelilingnya. Pemuda itu merogoh senter di kantungnya. Dia menyorotkan ke sekeliling.

Sejauh ini, hanya ada semak rimbun dan serangga kecil yang mengitarinya.

"Kalau saya jalan sambil berdiri, besar resiko saya bakal ketahuan karena keliaran di desa. Belum lagi Pak Saleh larang warganya buat keluar waktu malem. Tapi kalau jalan nunduk gini, lama buat nemuin sumurnya. Jadi, gimana?"

Desa Mati [Completed]Where stories live. Discover now