DM || Bagian 30

14K 1.8K 461
                                    

Pertarungan sengit akan segera dimulai.

Di bawah rintik hujan malam ini, seluruh kebencian akan diledakkan bersama amarah. Mengubah tanah lapang menjadi lingkaran pertumpahan darah layaknya lima tahun lalu. Bedanya, dulu kubangan darah di tempat ini menjadi awal segala perjanjian. Tapi sekarang, waktunya untuk mengakhiri semua kesalahan yang dulu pernah terjadi.

"Malam ini kita akan membuat persembahan yang besar kepada sang iblis." Pak Wija tiba - tiba tertawa kencang. Pria itu menatap Maot yang masih berusaha memulihkan tubuhnya. "Persembahan kepada sang iblis! Persembahan kepada sang iblis! Semua tumbal untuk sang iblis! Putraku harus tetap hidup! Maot harus tetap hidup!"

Pak Wija menerjang tanpa peringatan ke arah Yuta. Menargetkan tubuh pemuda itu untuk menjadi korban pertama. Pria itu terus tertawa terbahak sembari mengayun - ayunkan kapaknya beringas.

'BUAK!'

Cepat, Yuta menendang perut pria itu sampai terjungkal. Tak menunggu Pak Wija sampai berdiri, Abas segera berlari menerjang dan menginjak tangannya sampai kapak itu terlepas. Retakan tulang tanda kerasnya injakan terdengar menyusul. Pemuda itu menghantamkan belasan tinju di wajah Pak Wija.

"Ini balasan karena kamu sudah berani menyeret Riri seperti itu!"

"Hancurkan pembuat perjanjiannya. Jika sang pembuat perjanjian mati maka perjanjian mereka dengan sang iblis akan mati! Semua akan musnah!" Pak Saleh berteriak dari belakang. Pria itu sedang menahan Pak Rasim yang terus berusaha menghujamkan pisau ke arahnya. "Sepertinya mereka melemah. Persembahan kepada sang iblis harus diberikan tepat waktu. Karena jika tidak, tubuh mereka yang akan menjadi gantinya. Disedot perlahan sebagai ganti tumbal."

Abas dan Yuta paham.

Abas segera menyingkirkan kapak tadi untuk menjauh dari jangkauan. Pemuda itu berdiri di belakang Pak Wija yang terlentang dan mengunci tangannya. Jelas membuat pria itu terus memberontak dan berteriak tak karuan.

"Lakuin dengan cepat. Aku tahu membunuh orang itu bukan perbuataan yang bener. Tapi untuk saat ini, pemikiran hukum dan moral gak diperluin sama sekali." Abas menatap Yuta yang nampak ragu. "Cepet lakuin sebelum Maot berhasil nyembuhin dirinya. Karena kalau sampai itu terjadi, udah jelas bakal habis riwayat kita."

"Tapi, apa enggak ada cara lain?" Yuta masih bimbang.

"Jangan lupa ada temen - temen yang perlu kita selametin sekarang, Yut!" Abas berucap tegas. Pemuda itu menyorot tajam. "Kamu bunuh Pak Wija sekarang atau aku yang--"

"Nggak boleh bunuh Ayah."

Bulu kuduk Abas dan Yuta terasa merinding usai mendengarnya. Tanpa perlu menoleh lagi, mereka sudah tahu kalau Maot sudah selesai dengan penyembuhannya.

Dan kini waktunya dia membunuh.

"CEPET, YUT!" pekik Abas kencang. Pemuda itu masih sibuk menahan rontaan Pak Wija. Jika tidak, Abas pasti sudah mengirim nyawa Pak Wija melayang sedari tadi.

"RORO!"

Belum sempat Yuta tersadar dari teriakan Abas, sebuah pekikan lain langsung membuatnya mengalihkan atensi. Yuta menutup mulutnya tak percaya. Pak Rasim yang tadi berteriak langsung menjatuhkan senjatanya sedangkan Pak Saleh hanya bisa membatu dengan mata membeliak.

Kepala Nyi Roro sudah terpenggal. Tubuh dengan leher terpotongnya yang bersimbah darah ambruk begitu saja di dekat kaki Maot. Bocah itu tertawa senang. Mencengkeram erat rambut Nyi Roro dan mengayunkan kepala wanita itu dengan riang. Gelang penanda berpelitur rumit sudah hancur berkeping - keping di dekat jasadnya.

"Maot butuh darah sama jiwa perempuan buat upacara penyembahan sekarang." Maot terkekeh. Mata bocah itu berubah hitam sepenuhnya. Dia menjilat seluruh tangannya yang ternoda darah dengan nikmat. "Karena nggak ada perempuan lain, jadinya Nyi Roro yang Maot bunuh. Ayah, sih. Kelamaan bunuh kak Isabel sama kak Riri."

Desa Mati [Completed]Where stories live. Discover now