DM || Bagian 4

22.6K 2.2K 319
                                    

"Walaupun tak dapat dijamah ... Aku pasti ada di sekeliling kalian. Di setiap inci bangunan ataupun di setiap sudut ruangan."

OoO

"Ningsih anak yang baik. Sebentar lagi akan menikah dengan anak Pak Kades. Ningsih gadis yang cantik. Penurut dan kembang desa yang menarik." 

Alunan lembut dan tenang. Perempuan tua itu menyisir rambut  Ningsih perlahan dan penuh kelembutan. Gadis yang duduk di bawahnya tersenyum senang. Ia akan menikah. Dengan anak Pak Kades yang tersohor meskipun di desa terpencil.

"Ningsih akan menikah, Mbok. Ningsih akan menikah." ucap gadis itu senang. Kepangan rambutnya sudah memanjang, seiring dengan waktunya yang terus berjalan. Hari bahagia telah tiba. Pernikahan sederhana dengan anak Pak Kades yang terhormat. Cantik. Itu yang dielukan warga saat melihat Ningsih keluar dari serambi rumahnya. Menyenangkan sekali acara ini. Ningsih bahagia. Meskipun sederhana. Dan hanya sebentar saja.

Kebahagiaan itu datang begitu cepat, lalu pergi dalam sekejap. Meninggalkan pintu penderitaan untuk diketuk oleh korban. Menghantarkan melodi menyayat hati yang membuat senyuman mengembang.

"A-aampun!" 

Tangisan ngilu itu sudah keluar dari bibir Ningsih saat ia pertama kali bertandang. Pisau tajam menancap di kakinya. Sebuah usaha agar dia tidak melarikan diri. Wajah Ningsih hancur. Rusak dan penuh luka. Kata warga ia terkena kutukan karna telah melanggar adat desa. Tapi Ningsih berteriak. Bukan itu yang sebenarnya terjadi.

"Tatap mata Ningsih, Mbok! Ningsih masih cantik, 'kan? Kenapa kalian semua tidak mau melihat Ningsih?! Apa karna sekarang Ningsih buruk rupa? Ningsih masih cantik! Ningsih cantik!"  jeritnya. Kerumunan yang mengadili Ningsih menjauh. Air mata benar - benar mengalir bersama dengan darah dan daging yang terkelupas di pipinya. Ningsih sudah tidak cantik. Dia terluka. Ningsih sudah jadi bangkainya desa. Tidak ada yang mau mengelukan wajah wanita yang sudah robek di seluruh sisi. Tidak ada yang mau memuji wajah hancur itu. Aib desa harus dimusnahkan. Begitu kata Pak Kepala.

"TATAP MATA NINGSIH. KENAPA KALIAN TIDAK MAU MELIHAT NINGSIH? NINGSIH JADI BEGINI GARA - GARA DIA. DIA SUDAH MERUSAK WAJAH NINGSIH. DIA MEROBEK MATA NINGSIH. DIA MENYAYAT PIPI NINGSIH. SEMUA KARNA ULAH--"

"Crass!"

Parang itu tepat menebas leher Ningsih. Memenggalnya. Memisahkannya dari tubuh penuh luka. Begitulah akhir nasib Ningsih yang malang. Kepalanya tergeletak begitu saja. Di tengah kerumunan warga yang sama banyaknya dengan darah yang menggenang di lingkaran.

Ningsih sudah pergi.

Mati.

Membawa dendam yang ia janji akan ditepati.

OoO

Pagi sudah menyongsong hari. Sejenak menyinari desa yang semalam dirundung misteri. Jika pagi, semua keelokan alam nampak membuncah. Meninggalkan dunia mati yang begitu penuh dengan api tragedi. Warga Desa Widi memang terbelakang. Tapi mereka tidak bodoh. Ribuan pantangan tersimpan begitu eratnya di hati para orang tua. Menyimpannya untuk disampaikan pada turunan anak cucu kelak.

"Neng Isabel! Neng Riri!"

Kedua gadis yang sedang sibuk berbenah itu menoleh kearah ambang pintu. Meskipun baru sekali berjumpa, mereka masih sanggup mengenali suara berat dari pita suara Pak Rasim. Keduanya keluar berbarengan dengan Isabel yang memapah Riri berjalan. Setelah kejadian kemarin, sendi di tubuh Riri terasa teramat susah digerakan. Diluar bukan hanya ada Pak Rasim. Tapi juga ada Kamal, Yuta dan Abas yang sedang dipapah oleh kedua pemuda itu.

Desa Mati [Completed]Where stories live. Discover now