DM || Bagian 23

13.6K 1.7K 88
                                    

"Tengah malam ini aku terbangun. Terduduk di pinggir ranjang sembari menatap ke arah buntalan putih. Duduk di samping kepalaku. Mungkin ... malam ini ia akan duduk di samping kepala kalian."

OoO

Ketika satu per satu rahasia mulai terkuak, terkadang butuh waktu selama beberapa saat untuk dicerna. Memilah dan mengolah semua sebelum menyadarkan diri. Bentuk fakta yang ada di depan mata. Hanya saja, terkadang, beberapa orang sulit menerima kenyataannya.

Sekarang yang perlu dipikirkan cuma satu hal. Jika sudah tahu sumber permasalahannya, bagaimana jalan keluarnya?

Semua yang terjadi sudah diceritakan kembali dengan baik. Tentang apa yang mereka tahu. Rahasia yang tersembunyi sampai sedalam ini. Suatu misteri yang tersimpan rapat di sebuah Desa Widi.

Desa Widi.

Sebuah desa ... yang mereka anggap sudah mati. Warganya, akal sehatnya, pikirannya, semuanya sudah mati.

Desa Widi.

Bagi mereka, desa ini pembawa tandu kematian yang sebenarnya.

"Sekarang, kita udah tahu kalau pelakunya itu Pak Wija sama anaknya, Maot. Itu udah jelas. Sangat jelas." Kamal membuka pembicaraan. Dia ikut duduk usai memastikan semua jendela dan pintu tertutup rapat--sebuah usaha agar tidak ada telinga atau mata yang mencuri informasi.

Abas berdecak kesal. Semua sudah diketahui. Sumber masalah yang membuat jantungnya terasa maraton setiap saat. Abas jadi kesal mendengarnya. "Sial! Kalau bener gini, kita harus segera keluar dari desa! Pelakunya Pak Wija. Udah jelas. Tunggu apa lagi? Kita pergi sekarang!"

"Kita gak mungkin keluar dari desa. Mau tinggal dimana? Di hutan? Jangan lupa, waktu penyerangan dulu, semua tenda kita udah dihancurin." Yuta balik bertanya sembari memijat pelipisnya pelan.

"Seengaknya, aku lebih suka mati kelaparan di hutan daripada mati mengenaskan di tangan tua bangka itu." Abas menjawab berang. Dia bersungut, "dulu, kita kira Desa Widi itu penyelamat. Dan sekarang, desa ini jadi benderang kematian yang nyata buat kita! Pembawa kematian! Pokoknya malam ini kita harus pergi! Kita semua!"

Kamal mendengus kasar. Dia memukul  kepala Abas kencang, menyadarkannya. Kamal mengernyit emosi. "Jangan lupain Pak Saleh! Dia udah biasa berburu di hutan! Lagipula, dari dulu kita itu udah kejebak disini. Pergi ke hutan sama aja bakal balik lagi ke desa. Kamu harus inget waktu itu Jihan bilang apa. Dia udah usaha kabur, tapi akhirnya tetep balik lagi! Satu - satunya cara kalau kita mau selamat, kita selesaiin teka - tekinya. Musnahin semuanya. Kamu paham?"

Abas hanya terdiam. Hatinya masih bersungut. Ketakutan membuat kewarasannya mulai diragukan.

Riri berdiri. Dia mendorong Kamal dan Abas ke samping lantas duduk di tengah - tengahnya. "Kita mau diskusi atau mau berantem?"

"Riri bener. Kita harus jernihin pikiran. Jangan pada marah kayak gini." Isabel berucap tenang. Dia mendekat ke telinga Abas dan berbisik, "tenang aja, Bas. Riri ... pasti bakal selamat. Kita semua bakal jagain Riri. Termasuk kamu. Jangan khawatir, ya?"

Abas hanya mengganguk getir.

Isabel kemudian menarik tubuhnya. Dia menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar. "Kalau menurut aku, kita balik lagi ke sumur dan buka pintunya. Masalah kunci, kita harus cari secepatnya."

"Oh, kunci!" Yuta berseru. Pemuda itu berdiri dan merogoh kantung jaketnya. Kembali duduk dan menunjukkan sesuatu yang bergelantungan di jemarinya. "Aku dapet kuncinya."

Desa Mati [Completed]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora