DM || Bagian 19

13.5K 1.7K 238
                                    

"Sembunyilah dimanapun kau mau. Karena aku ... akan selalu mengawasimu. Mengawasi setiap pergerakanmu ... dari sudut kamarmu."

OoO

Hening.

Sedari tadi, tidak ada percakapan yang berarti diantara mereka. Keduanya berjalan dalam diam. Sibuk mengamati jejak kaki mereka yang tertinggal pada tanah basah sembari sesekali memikirkan kembali apa yang sudah mereka lihat.

Sesuatu yang terasa ... aneh.

"Bel."

Panggilan Riri membuat Isabel menoleh sekilas sebelum kembali menjejakkan kakinya ke lumpur.

Riri menghela nafas kasar. "Sebenernya yang udah gila aku, kamu atau kita?"

Isabel tertawa pahit sebelum melirik Riri sejenak. "Kayaknya ... aku beneran udah gila. Aku bahkan gak bisa bedain mana yang nyata dan mana yang cuma ilusi. Miris rasanya."

"Tenang aja, Bel," ucap Riri lantas menepuk bahu Isabel pelan. Gadis itu menggeleng dramatis, "gak kamu aja yang ngerasa udah gila. Kita semua memang udah mulai kehilangan akal waktu pertama kali jejakin kaki ke desa."

"Jadi, mereka tadi kenapa?" Isabel bermonolog bingung. Mengingat keanehan apa lagi yang kedua mata mereka lihat pagi ini. Pergerakan yang terus berulang bak memori kaset yang disetel kesekian kalinya.

Isabel berhenti berjalan. Dia menghadapkan tubuhnya pada Riri lantas memicing penuh tanda tanya. "Ri, menurut kamu, mungkin gak ada orang yang menyayat tangannya sendiri berulang kali?"

"Mustahil. Lagipula, dia kayak gak sengaja lukain tangannya." Riri mengacungkan jarinya yakin.

"Jadi, kesimpulannya..." Isabel menggantung. Membiarkan Riri untuk melanjutkan kalimat berikutnya. Memastikan apakah yang ada di pikiran gadis itu sama dengan apa yang ada di pikirannya sekarang.

"Mereka bukan manusia." Riri mengganguk kuat.

Isabel berdehem setuju.

Beberapa detik kemudian, mereka mulai menyadari ada sesuatu yang salah. Keduanya kemudian membeliak terkejut sembari saling memandang tak percaya.

"Terus Nyi Roro, Pak Saleh, Pak Rasim, Pak Wija sama anaknya bukan manusia?" Riri berbisik histeris.

"Gak mungkin," ucap Isabel memberi argumen. Dia menjentikkan jarinya, "coba kamu pikirin, deh. Mereka bergerak persis manusia biasa. Sama kayak kita. Bukan mengulang gerakan. Lagipula, aku masih yakin kalau mereka itu manusia tulen."

"Iya, sih. Terus ... apa?" tanya Riri. Isabel mengedikkan bahu tak tahu. Riri mendesah lelah. Pagi - pagi sudah harus menghadapi hal rumit seperti ini sama saja dengan bunuh diri pelan - pelan. Itu menurut Riri.

"Riri! Isabel!"

Ketika mereka menoleh, di depan rumah sudah ada Abas yang mengibaskan tangannya semangat. Wajahnya cerah. Sepertinya suasana pagi Abas terasa baik. Yuta ada di sebelah pemuda itu sembari berolahraga ringan. Melambaikkan tangannya sebelum kembali melanjutkan aktivitasnya. Kamal tidak terlihat diantara mereka.

"Kamal mana?" tanya Riri usai mereka menghampiri.

"Di belakang. Baru selesai nimba air buat persediaan," jawab Abas seraya menunjuk belakang rumah. Pemuda itu lantas meneliti wajah Isabel dan Riri, "kenapa? Wajah kalian kok pucet?"

"H-eh? Pucet?" Riri langsung meraba wajahnya sendiri.

"Iya." Yuta yang menyahut. Dia mengelap setetes peluh di keningnya. "Wajah kalian pucet banget. Habis lihat atau ketemu apa kali ini?"

Desa Mati [Completed]Onde histórias criam vida. Descubra agora