DM || Bagian 29

13.6K 1.8K 98
                                    

Kematian. Setiap orang pasti akan menemui ajalnya. Setiap manusia pasti akan berakhir riwayatnya. Tapi bagi mereka yang begitu memperjuangkan nyawa orang yang mereka pedulikan, rasanya begitu menyedihkan ketika orang yang mati - matian mereka perjuangkan itu nyaris mati sekarang.

Kini, hanya ada keputusasaan, dan--

Sedikit harapan.

Di bawah angin kencang dan badai hujan yang sebentar lagi akan menghujam, setitik harapan itu berusaha keras diperjuangkan. Berlari kencang menembus gelapnya awan demi satu tujuan. Mereka hanya tidak ingin terlambat. Terlambat yang hanya berujung penyesalan tanpa akhir.

Takkan ada yang mati.

Itu tidak boleh terjadi.

"Sial! Hujannya deres banget! Sebentar lagi pasti bakal ada badai!" Kamal memekik kencang. Dia sedikit menutupi penglihatannya dari hujaman air. Pemuda itu melirik Abas yang berlari di sampingnya.

Di mata pemuda itu ... hanya tersisa ketakutan yang amat kentara.

"Saya gak peduli! Mau tornado sekalipun kita tetep harus nyelametin mereka!" Yuta berteriak kencang dari sisi samping Abas. Matanya menatap nyalang. Kamal sendiri bisa melihat jelas urat yang menonjol di rahang pemuda itu. Giginya bahkan bergemelatuk sesekali.

Tanda bahwa Yuta luar biasa marah.

"Di depan!" pekik Abas tiba - tiba. Mereka segera mempercepat laju kaki. Tak peduli jika kerikil dan beberapa ranting tajam berhasil menggores telapak kaki tanpa alas mereka. "Percepat larinya! Kita jangan sampai terlambat!"

"Ck! Harusnya saya percaya waktu kamu bilang ada yang aneh di tiang tumbal, Mal!" Yuta berdecak kecewa. Dia mencengkeram erat kedua tangannya.

"Bukan waktunya buat menyesal!" Kamal balas berteriak. "Sekarang tujuan kita cuma satu. Fokus ke Isabel sama Riri! Nggak peduli kalau pun aku harus bunuh orang tua bangka itu kali ini!"

"Saya ... pasti akan memberikan mereka balasan yang setimpal." Yuta mendesis penuh emosi. Dia memelankan laju larinya. Menatap dari kejauhan dua orang yang berhasil membuat mereka kalang kabut hari ini.

Kamal, Yuta dan Abas nyaris membeku di tempat melihat sajian menyedihkan di depan.

Ketiga orang yang menjadi dalang dari upacara ini nampak sibuk mempersiapkan persembahannya.

Pak Rasim yang sibuk menyiapkan beberapa senjata tajam dan api, Maot yang hanya duduk diam mengawasi dan Pak Wija yang sedang mempersiapkan berbagai macam sesajen.

Tunggu.

"Apa itu?" Yuta tidak salah lihat. Dia yakin tadi ada sekelebat bayangan hitam. Aura hitam kecil di kaki Pak Wija dan tubuh tinggi besar di belakang Maot. Berdiri dan mencengkeram pundak bocah kecil itu.

Iblis yang bersiap menyantap tumbal.

Dan yang akan mereka korbankan sudah dipersiapkan. Tubuh Riri nampak diikat di tiang dimana potongan kayu nampak berjejer di bawahnya. Wajahnya pucat meskipun mereka yakin jika Riri masih sadar sepenuhnya. Bercak darah nampak mengelilingi wajah dan tangannya. Sementara di bawah Riri, Isabel bersimpuh lemas. Diikat kuat dan dibiarkan menanti eksekusi berikutnya. Sekujur tubuhnya juga nampak penuh lebam dan goresan.

Kamal berdecak. Dia meringis ngilu, "jadi, apa yang harus--"

Belum sempat Kamal menyelesaikan ucapannya, Abas yang mendadak berlari kencang segera membuat Yuta dan Kamal menyusulnya. Pemuda itu nampak beringas. Penuh emosi. Abas mengambil pisau yang terselip di kantungnya.

"MATI KALIAN."

"Oh, sudah sampai?" Pak Rasim tersenyum. Dia mengasah kapak di tangannya. "Saya yakin kalian bertiga pasti datang. Jadi, ya, sekalian kita habisi saja. Benarkan, Pak Wija?"

Desa Mati [Completed]Where stories live. Discover now