DM || Bagian 20

14.1K 1.8K 250
                                    

"Ketukan di pintu itu terdengar brutal. Semakin dekat dan semakin jelas. Mengirimkan sinyal membunuh yang selalu mengiris telingaku dari bawah selimut."

OoO

"Gak ada yang mau mulai pembicaraan?"

Suara Abas terdengar menggema di ruangan. Pemuda itu menatap satu per satu wajah - wajah datar di depannya. Tidak ada respon. Abas menghela nafas kasar. Akhirnya dia hanya memeluk lutut dan kembali tenggelam dalam alam pikirnya.

"Jadi, apa yang ada di pikiran kalian sekarang?" Yuta tersenyum kecut. "Ungkapin pakai satu kata. Kayak ... dulu permainan kita sebelum berangkat dan akhirnya tersesat disini."

Semua orang mengangkat wajah.

"Hm ... dulu kita ngungkapin perjalanan ini dengan satu kata. Senang, seru, gak sabar, pokoknya yang bagus - bagus. Tapi nyatanya? Malah kayak gini." Kamal mendesah lelah.

Riri merenggangkan tubuhnya sebelum mengganguk. "Iya. Kalau inget kata - kata kita dulu yang bagus - bagus rasanya menyedihkan banget."

"Dasar! Waktu aku bilang gak ada yang nyahut. Waktu Yuta yang ngomong langsung pada jawab!" Diam - diam Abas menggerutu dalam hati.

"Jadi, untuk yang kita lihat tadi, tentang tubuh Pak Wija dan Maot yang mendadak sembuh, apa satu kata kalian?" Yuta kembali menyuarakan pertanyaannya.

"Aneh." Isabel baru membuka mulut.

"Gak waras." Kamal menyahut.

"Gila." Riri menambahi.

"Sama sekali gak masuk akal," ucap Abas cepat. Dia mengedikkan bahunya, "ya, meskipun aku gak terlalu paham tentang dunia kesehatan, aku tahu kalau sebuah luka bisa sembuh tanpa bekas kayak gitu adalah suatu kemustahilan."

"Tapi, coba inget apa yang dibilang Pak Wija tadi?" Kamal mencoba mengingat - ingat.

"Ah, ya, pokoknya tentang obat," jawab Isabel tak yakin. Dia menggaruk rambutnya bingung.

.

.

.

"Pak Wija dan Maot ... sudah sembuh?" Yuta tak bisa menahan rasa herannya. Bukannya dia tidak senang. Hanya saja ... rasanya mengerikan tatkala melihat tubuh penuh luka yang langsung sembuh dalam waktu semalam. Jika dipikir, itu mustahil. Sangat mustahil.

"Iya, sudah sembuh!" Pak Wija tersenyum bangga. Dia menggerakan kakinya dengan lincah sebelum melihat Yuta lagi. "Saya dan Maot sudah sembuh!"

"Tapi ... gimana caranya?" Kali ini Isabel yang bertanya.

"Obat! Kita punya obat hebat." Maot yang menjawab cepat. Raut wajahnya tetap datar meskipun bibirnya menyunggingkan seringai tipis. "Obat yang gak akan ditemuin dimana pun! Obatnya juga bisa dari kak Isabel."

"H-hah?"

"Maot!" Pak Wija menegur. Dia mengusap lembut kepala Maot lantas menatap lucu. "Pokoknya kita punya obat. Obat yang sangat luar biasa. Saya bahkan suka cara pembuatannya! Iya, 'kan, Maot?"

Maot mengganguk kencang. Dia tertawa parau. "Suka sekali waktu buat obatnya! Menyenangkan!"

.

.

.

"Gak ada yang mau bilang kalau Pak Wija dan Maot ada hubungannya sama kematian Jihan?" tanya Abas. Kali ini dia berdecak kencang. "Please, jangan cuekin aku lagi."

Desa Mati [Completed]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora