DM || Bagian 24

13.1K 1.8K 208
                                    

"Tepat tengah malam ini mati lampu. Aku mengerjap kecil sebelum terbangun. Mengambil senter yang kusimpan di laci dan menyorotnya ke jendela. Hujan. Petir yang menyambar ikut memberikan seberkas cahaya. Hingga aku baru tahu, kalau ... ada sepasang mata putih yang terus mengintipku dari balik celahnya."

OoO

Terkadang, suasana yang mencekam dan tiba - tiba itu terasa mengikat pernafasan. Menghambat pasokan oksigen ke paru - paru akibat respon tubuh yang terlalu terkejut. Akibatnya, usai tersadar, detak jantung akan terpacu terlalu cepat. Mengirimkan insting waspada yang datang terlalu terlambat.

"N-Nyi Roro?"

Nyi Roro mengernyit. Wanita itu tidak bergerak untuk beberapa saat. Setelahnya, Nyi Roro menjatuhkan asal keranjang kayu tanpa isi itu ke tanah. Berjalan tenang dengan sorot matanya yang terlalu tajam.

Isabel dan Riri bahkan menahan nafasnya selama beberapa saat.

"Kalian..." Nyi Roro berdiri tepat satu meter di depan Isabel dan Riri. Raut wajahnya tetap datar. Wanita itu membuka mulutnya. "Mau tahu soal apa kali ini?"

"H-hah?"

Otak mereka sepertinya ikut terlambat memproses.

Nyi Roro berdehem kecil. Wajah wanita itu tetap terpoles datar. "Kalian, kali ini apa lagi yang mau kalian cari tahu? Apa kalian tidak bosan selalu mencari dan menentang bahaya?"

"Bahaya yang mengancam nyawa kita." Isabel buru - buru memotong. Sorot matanya mendadak kelam. Gadis itu balik menatap tajam. "Sekarang, gak ada yang perlu kita tutupin lagi, Nyi. Kita mau tahu semuanya. Semua misteri yang tertutup rapat di Desa Widi. Karena kita ... bukan mainan untuk desa ini. Nyawa kita jauh lebih berharga dari itu."

"Karena, nyawa kamu lebih berharga dari ini semua."

Sekelebat ingatan. Nyi Roro mendadak tertegun. Kenangan itu. Kenangan lama itu. Nyi Roro berani bersumpah dia tidak akan bisa melupakan mimpi terburuk yang terjadi sepanjang dia hidup. Memori itu tertancap terlalu dalam di sisi ingatannya.

Memori tentang sesuatu ... yang mengubah Desa Widi menjadi sekejam ini.

"Nyi?"

Panggilan Riri menyadarkan Nyi Roro dari lamunannya. Wanita itu berdehem kecil. Dia mati - matian mempertahankan raut datarnya. "Sebenernya, apa yang lagi kamu bicarain, Bel?"

Riri selangkah lebih maju. Dia mengepalkan tangannya erat. Berusaha mengumpulkan seluruh keberaniannya kali ini. Mau sampai kapan dia hanya diam dan mengikut di belakang? "Yang sedang kita bicarain, sesuatu yang sedang mengasah kukunya. Tinggal tunggu waktu sampai kuku itu tertanam di leher kita. Mati. Kita akan mati. Tapi, sayang. Kita ... gak akan bisa mati semudah itu."

Nyi Roro berbalik memunggungi. Punggung wanita itu sedikit bergetar. "Saya gak paham kalian bicara soal apa. Sudah. Pergi dari rumah saya. Ini usiran."

Isabel tertawa pahit. "Kalau Nyi Roro bilang gitu, kita semakin yakin kalau emang ada yang salah disini. Nyi, tolong, kita gak mau mati sia - sia seperti ini. Kita juga punya keluarga yang nunggu kepulangan kita di rumah. Entah gimana nasibnya kalau mereka tahu, ternyata anaknya tersesat dan akan mati di sebuah desa yang sekarang cuma dianggap mitos belaka."

"Roro, saya sayang sama kamu. Bahkan kalau harus mati sekali pun ... saya rela asalkan kamu bisa selamat. Sekarang kamu pergi. Selamatin diri. Kisah saya sudah berakhir disini."

Nyi Roro benar - benar tahu bagaimana rasanya kehilangan.

Sosok ... yang sangat dicintainya.

Punggung wanita itu semakin bergetar. Nyi Roro sedikit menundukkan kepalanya. "Maaf kalau saya gak bisa bawa kalian pulang. Bawa kalian untuk keluar dari desa. Saya gak tahu apa - apa. Kalau pun saya tahu, saya gak akan pernah bisa kasih tahu."

Desa Mati [Completed]Where stories live. Discover now