DM || Bagian 18

14.3K 1.7K 140
                                    

"Gelap. Aku suka gelap. Karena waktu gelap ... aku tidak perlu melihat semuanya. Aku tak perlu ketakutan. Dan aku tak perlu melihat dirimu yang kini sedang membaca kata - kata tentangku."

OoO

Awan hitam nampak berarak menjauhi langit. Digantikan dengan bulan yang menyala di ujung malam, bersama desiran angin yang membelai lembut pori - pori kulit. Terasa sejuk memang. Tapi tidak bagi mereka. Tidak sama sekali.

Rasanya ... sungguh sesak dan panas.

"Jadi, Jihan beneran hilang?" Riri tercekat. Dia mengerang pelan tatkala merasakan perih pada punggungnya lagi.

"Kalau kayak yang kamu bilang bahwa ada jejak mutiara yang balik ke desa, berarti Jihan masih ada disini. Di desa ini. Pertanyaannya, dimana letak pastinya?" Abas berucap kemudian.

"Dan jawabannya, i don't know," jawab Yuta lantas menghembuskan nafasnya gusar. Pemuda itu kemudian menatap Isabel, "Bel, kamu baik - baik aja?"

Isabel menoleh. Dia tersenyum tipis. "Aku gak apa. Kita diskusi lagi aja. Lagian, aku udah janji sama Jihan kalau bakal pergi dari desa dan beritahu keluarganya tentang semua yang ada. Dan untuk kali ini, aku gak mau ngecewain Jihan lagi."

Mereka semua tersenyum kecil.

"Dan soal mutiara dari gelang yang kalian temuin tadi, aku juga punya," ucap Isabel cepat lantas mengeluarkan gelang dari sakunya. Dia menatap tajam mutiara di tangannya, "mutiara yang kita berdua temuin sama. Dan gelang ini, aku dapet dari Pak Rasim. Gelangnya ada di tombak Pak Rasim. Dan waktu kalian kepergok sama Pak Saleh ada Pak Rasim juga."

"Jangan bilang kamu mau nyebut kalau Pak Rasim itu salah satunya?" Abas menyahut tak yakin.

"Aku belum berani buat bilang gitu." Isabel menggerakan jemarinya gelisah.

"Terus nggak ada yang nemuin tanda - tanda lagi?" tanya Riri. Dia menatap lamat - lamat. "Seengaknya kita udah tetapin satu target lagi yang perlu kita curigai. Pak Rasim. Lainnya?"

"Waktu Pak Saleh ketemu kita tadi, beliau juga bilang sesuatu." Yuta menyahut ucapan Riri. Dia menatap yakin sembari menoleh ke arah Kamal.

Kamal mengganguk paham.

Perhatikan tandanya...

"Pak Saleh bilang soal ... tanda," jawab Yuta. Pemuda itu meneliti respon dari teman - temannya. Semuanya sama. Bingung.

"Perhatikan tandanya. Pak Saleh cuma bilang itu. Gak tahu apa maksud ucapannya." Kamal menambahi.

"Tanda?" Riri mengernyit. "Tanda apa?"

Abas menghela nafas kasar. Pemuda itu mengusak surainya kesal. "Sumpah! Beberapa misteri aja belum terpecahkan dan ini ditambah misteri baru lagi? Oh, God! Diriku bukan Einstein!"

"Lebay," cibir Kamal yang mengundang pelototan Abas.

"Emang, Pak Saleh gak nunjukin gerak - gerik sesuatu? Yang aneh, mungkin?" tanya Riri heran.

Yuta terdiam untuk sesaat. Dia mengusap dagunya seraya mengingat pertemuan mereka. "Ada. Pak Saleh ngomong dalam posisi berhadapan sama kita. Dan kalau berhadapan sama kita, berarti posisi Pak Saleh lihat ke arah hutan. Berarti 'tanda' itu berhubungan sama hutan. Benar begitu?"

"Kemungkinan 50:50," jawab Isabel bingung. Gadis itu mencoba memikirkan lagi ucapan Yuta yang masih terasa mengganjal.

Sisanya hanya mengedikkan bahu tak tahu.

"Mau pergi ke lapangan lagi sekalian lihat apa ada sesuatu di hutan? Siapa tahu yang dibilang Yuta bener. Gak ada salahnya kita cek lagi, 'kan?" ucap Kamal memberi usul.

Desa Mati [Completed]Where stories live. Discover now