Mr. & Mrs. Ditama

503 38 20
                                    

"Here's to the ones that we got. Cheers to the wish you were here, but you're not." Maroon 5 Memories

"Tari, Utari...."

"Iya Bu?"

"Anak Ibu yang paling cantik, selamat ya sayang sudah memenangkan kompetisi melukis!"

"Makasih, Bu."

Wanita itu terbangun di atas tempat tidurnya yang nyaman. Sinar matahari mencuri masuk melalui sela-sela gorden yang belum terbuka sepenuhnya. Dia masih mencoba meresapi mimpinya barusan. Dia berbalik dan melihat ke arah samping yang kosong, suaminya tidak berada di tempat tidur. Dia mencoba duduk dengan mata yang masih setengah terbuka mencoba melihat ke arah jam dinding yang ada di kamar.

"Waw, 10 pagi? Ini udah siang, Tari!" gumamnya seraya meregangkan tubuh dengan mengeluarkan suara erangan kecil tepat saat pintu kamarnya terbuka.

"Pagi, sayang. Aku kira masih tidur," ucap pria yang masuk dengan membawa meja kecil di mana tersaji sarapan dan segelas susu hangat.

"Maaf ya, padahal kamu lagi sibuk revisian naskah tapi akunya doyan banget tidur!" ucapnya manja saat melihat piring berisi telur setengah matang dan roti panggang dengan pinggiran yang kecokelatan siap dia santap.

"It's oke. Lagian kemarin habis lemburan, kan?" jawab pria yang sudah duduk di sisi tempat tidur memandangi sang istri yang terlihat sangat berantakan itu.

"Padahal kalau nggak lemburan juga selalu kamu yang buatin aku sarapan," ucap wanita itu sambil tersenyum lebar. "Jadi tadi malam aku digendong masuk? Apa aku dibangunin? Kok lupa?" tanyanya lagi dengan mulut penuh dengan roti dan telur yang dipaksa masuk bersamaan.

"Digendong! Mana tega aku bangunin kamu!" jawab suami sambil berdiri dan meraih remote televisi yang berada di meja dekat dengan tempat tidur kemudian duduk di kursi dengan senderan tinggi yang terletak tidak jauh dari tepat tidur mereka, serta menyalakan televisi.

"Serius! Wah respon tubuh aku makin baik dong!" ucapnya sambil mengangguk-angguk sendiri.

"Lebih serius berita pagi ini!" sahut pria itu sambil menunjuk ke arah televisi.

Berita tentang gadis 26 tahun yang di temukan tewas dini hari tadi menjadi topik panas hampir seluruh media ibu kota bahkan mungkin negara ini. Masalahnya pembunuhan dengan cara serupa sudah terjadi sejak 4 tahun belakangan ini dengan ciri-ciri yang sama. Pembunuh selalu memakaikan lipstik merah kepada korban, dan yah semua korban adalah wanita dengan ciri-ciri fisik yang serupa. Rambut panjang sepinggang. Berusia di antara umur 22 hingga 27 tahun. Bekerja.

Mereka berdua asik memperhatikan layar televisi, mendengarkan dengan seksama setiap info terbaru yang didapatkan oleh para pemburu berita. Benar saja semua channel di televisi memuat berita yang sama, tentang serial pembunuhan berantai yang terjadi di Ibu Kota.

"Artinya ini pembunuhan ke ..." Wanita itu mendongakkan wajahnya ke atas sedikit seperti sedang mengingat-ingat. "Ke-lima, iya kan?" tanyanya kemudian tidak yakin.

"Iya, dan dua kali di tahun ini." Sang suami melihat piring di hadapan istrinya yang sudah bersih, kemudian tersenyum. Dia bangkit dari tempatnya duduk dan membawa meja kecil berisi piring kosong hendak keluar dari kamar. Langkahnya terhenti.

"Mulai hari ini kamu aku antar jemput ya, Tar," ucapnya seraya menoleh ke arah istri yang tampak hendak protes setelah mendengar kalimat permintaan pria berkacamata itu.

"Kenapa? Biasanya juga naik mobil sendiri, Raf. Aku nggak akan kenapa-kenapa. Lagian Bogor-Jakarta dengan kesibukan kamu sendiri seperti itu. Mendingan nggak usah deh. Aku bisa jaga diri!" protesnya masih di atas tempat tidur dengan kaos longgar berwarna putih yang dia kenakan.

Wajahnya kelihatan tidak senang mendengar protes dari sang istri.

"Aku tahu! kamu bisa jaga diri. Aku percaya tapi, -setidaknya hingga kasus ini tidak begitu membuatku khawatir. Lagian ini novel terakhirku sebelum aku vakum jadi ... Jakarta - Bogor nggak sejauh itu lah, Tar. Aku bisa nunggu kamu di kantor aku yang lumayan dekat dengan kantor kamu. Please." Nada bicaranya sedikit memohon. Wanita itu, Utari Zanitha tidak sanggup menolak permohonan suaminya, dia mengerti tentang kekhawatiran sang suami.

"Oke!" Akhirnya dia menyerah. "Berhenti memberikan tatapan itu. Jangan membuatku merasa bersalah." Pria itu kembali tersenyum dan melanjutkan menuju pintu kamar dan kembali terhenti tepat di depan pintu kamar berwarna abu-abu muda itu.

"Jadi bertemu Sela hari ini?" tanyanya tiba-tiba. Utari kembali mengalihkan pandangan dari televisi menuju ke arah sang suami dan tersenyum riang.

"Jadi!" ucapnya cepat.

Utari duduk di ruang tengah rumah mereka yang cukup besar untuk ditempati berdua saja. Ruang tengah merupakan tempat paling sering mereka gunakan untuk melakukan berbagai aktifitas. Melukis yang merupakan hobi Utari pun dilakukan di ruang tengah, begitu juga menulis yang merupakan hobi sekaligus pekerjaan sang suami.

Wanita itu menggunakan dress berbahan sifon halus berwarna putih dengan motif bunga. Panjang dress sedikit melewati lutut. Duduk sambil mengutak-atik ponselnya, masih mencoba mencari informasi lebih banyak tentang pembunuhan yang terjadi dini hari tadi yang membuat suaminya khawatir setengah mati. Pasalnya, pembunuhan terjadi sangat dekat dengan lokasi kerja Utari, di daerah Sunter. Bukan baru sekali, tapi di tahun ini pembunuhan dengan motif yang belum jelas itu terjadi di daerah yang sama sebanyak dua kali.

"Arion Ditama, iya. Baik. Terima kasih banyak, Dok." Pria dengan kemeja hitam berlengan panjang itu menutup saluran teleponnya dan mendekati sang istri.

"Siapa, Raf?" tanya Utari kemudian.

"Dokter kamu, Dokter Syifa, tadi beliau memberitahu jadwal konsul kamu minggu depan di undur karena beliau ada acara di luar kota yang mendadak. Lalu sekalian aku ceritain tentang tadi malam, saat aku gendong kamu," ucapnya berdiri menghadap sang istri yang kini harus mendongakkan kepalanya.

"Ooh, lalu untuk apa nama tadi?" tanyanya lagi kemudian mengulurkan tangannya ke arah sang suami.

"Konfirmasi untuk pembaharuan data." Pria yang kini tidak menggunakan kacamata itu meraih tangan sang istri dengan hati-hati dan perlahan memautkan jemari mereka dan kemudian menggenggam. Pria itu mengulas senyum tipis yang manis. Senyuman yang selalu membuat Utari merasa bahagia dan aman.

"Ayo!" ajaknya kemudian.

Mereka berdua berjalan melewati lorong yang tidak begitu panjang dan melewati ruang tamu dengan nuansa kecokelatan berbeda dengan ruang tengah tadi yang bernuansa putih dengan sedikit warna abu-abu muda di sana dengan tetap berpegangan tangan. Keluar melalui pintu depan. Menguncinya dan menghampiri salah satu mobil yang terparkir di halaman samping. Setelah menghidupkan mesin, pria dengan rahang tegas itu membuka pintu mobil agar istrinya dapat masuk lebih dahulu dan bergegas membuka pintu pagar rumah mereka yang tinggi dan berwarna cokelat tua.

======

Halo selamat hari Selasa,

Tidak menyangka bisa lanjut. Karma season 3 memang spesial. si moody ini bahkan sekarang tidak terpengaruh oleh perasaan betapa malasnya ingin bangun dan membuka laptop dan melanjutkan cerita. AKU KETAGIHAN MENULIS. Dan inilah Terapiku.

yang ringan dulu ^^

Love,

Bii

Psikopat Analog [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang