- Time To Remember

126 18 3
                                    

"Bad memories were hard enough, but it was torture to be haunted by the good."
― Shelley Noble, 

"Kenapa para polisi itu tampak tidak senang melihat kehadiranmu?" tanya Arion saat dia hanya berdua saja dengan Alfi.

"Entah? Oh, mungkin karena aku pembela pelaku terduga kasus pembunuhan berantai mereka," ucapnya santai.

"Hah? Apakah ini termasuk dalam upaya pengalihan?"

Ketiga orang itu diam, mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba saja berkas masa lalu seolah datang meminta pertanggung jawaban. Kengerian demi kengerian mereka rasakan ketika lagi-lagi kematian datang mengancam. Bagi mereka kematian Kalila bukanlah salah satu dari rangkaian misteri pembunuhan berantai yang memang menjadi isu hangat kota kelahiran mereka. Ketiganya sepakat untuk mencurigai seseorang. Semua tragedi yang terjadi pada mereka baru-baru ini selalu saja berkaitan dengan satu nama, Utari Zanitha.

Pertemuan kembali Utari saat reuni dengan kedua sahabat mereka mengantarkan keduanya kepada kematian tragis. Tidak dapat mereka lupakan bagaimana kondisi mayat sang sahabat yang terpotong. Walaupun pihak berwajib sudah mengeluarkan penyataan resmi tentang kematian Adhi sebagai tindak bunuh diri, bagi merek hal itu sama terlihat sebagai kasus pembunuhan. Kematian Baim yang lebih mengerikan ketika dengan sembrono tidak mengindahkan peringatan dari sahabatnya untuk tidak mendekati Utari lebih dulu. Tubuhnya tercerai-berai. Setiap bagian dipisah dengan bagian lainnya bahkan pembunuhnya tidak meninggalkan jejak apapun seperti bekas perkelahian atau jejak darah. semua dilakukan dengan rapi dan sempurna.

Terakhir, kematian Kalila seakan menyadarkan mereka yang tersisa. Walau tidak berhubungan dengan masa lalu Utari yang kelam, Kalila bisa dianggap sebagai pengganggu hubungan pernikahan antara Utari dan suaminya. Mereka yakin, bahkan menolak kemungkinan bahwa kematian Kalila bisa saja merupakan satu dari rangkaian kasus pembunuhan berantai yang masih menjadi momok kelam kota Jakarta. Merek bersikeras, Utari adalah kunci segalanya.

Suara dering telepon seolah memanggil jiwa mereka yang entah sedang bersembunyi di mana kembali ke dunia nyata. Dengan langkah terburu, Ciara meraih gagang telepon yang berada di apartemennya.

"Halo." Tidak ada suara balasan setelahnya.

"Halo," gadis itu merasakan ketidaknyamanan yang aneh.

"Halo," nadanya berubah naik dengan tidak sabar.

"Kematian Kalila adalah peringatan keras untuk kalian. Bonus yang manis." Sambungan terputus. Ciara membeku di tempatnya. Suara yang sengaja diubah dengan sebuah alat. Tidak jelas wanita atau pria yang meneleponnya tadi. Jantungnya berdetak tak beraturan. Suara Desta yang memanggil namanya tidak dapat didengarnya. Satu kalimat yang membuat tubuhnya meremang seram.

"Kita laporin aja, Bang. Gue nggak bisa gini terus. Kita harus bilang sama Papa juga," rengek Ciara yang tiba-tiba menjadi sangat ketakutan seperti anak kecil. Sikap angkuhnya seakan runtuh. Kematian sahabatnya membuatnya sadar tentang kemungkinan apa yang sedang dia hadapi.

"Gue harus ketemu Papa dulu, lo tau ketemu Papa itu susah," ujar saudara lelakinya itu.

"Gimana kalau ngelapor soal telepon barusan, Bang telepon bernada mengancam seperti ini sudah aku terima puluhan kali sejak kematian Baim hingga Kalila."

Desta dan Arman akhirnya setuju untuk melaporkan tentang telepon ancaman yang kerap kali diterima oleh Ciara di apartemennya. Ciara merasa dirinya selalu dibuntuti seseorang jika dia harus keluar. dia merasa tidak tenang. Dia menginginkan hari-hari damainya segera kembali.

Utari hampir muak harus mendatangi kantor polisi. Kali ini dia datang ditemani Sela adiknya dan Fiandra sahabatnya. Saat itu Arion masih melakukan pertemuan dengan beberapa rekan bisnisnya sehingga tidak bisa menemani dan berjanji akan segera menyusul. Walau Utari merasa akan baik-baik saja, karena jika sesuatu terasa tidak baik dia akan langsung mengabari, Alfi sesuai arahan Arion.

"Kalau gue tau, semua ini dalangnya adalah elo, gue nggak akan tinggal diam!" ancam Ciara saat mereka semua sudah keluar dari dalam kantor polisi. Mereka tampak masih bersitegang di halaman parkir.

Arman dan Desta bertemu kembali dengan Utari untuk pertama kalinya setelah delapan tahun berlalu.

"Memangnya apa lagi yang bakal lo lakuin dengan gue? Hah?" Utari yang selalu menahan diri akibat rasa takut dan penyakitnya kini merasa lebih baik dan mampu menghadapi siapa saa terutama gadis di hadapannya. Seseorang yang pernah sangat dekat dengannya, seseorang yang sudah dia anggap selayaknya saudara, seseorang yang karena rasa cemburu menghancurkan kehidupan Utari.

"Gue masih nyimpan video itu ..." seketika tangan Fiandra melayang menghantam waja Ciara yang cantik. Arman dan Desta tidak menyangka sehingga tidak sempat menghalau Fiandra yang berang.

"Ra, demi kebaikan lo. Musnahkan video itu atau ... lo mau bernasib sama dengan Kalila?" Mata Arman dan Desta seakan ingin meninggalkan tempatnya.

'Maksud lo apa, Fi?" tanya Arman gugup.

"Pikir aja pakai otak kotor lo itu?" Utari dan Sela menarik tangan Fiandra. Dia tidak ingin kembali masuk ke dalam kantor polisi gara-gara pertengkaran mereka itu.

Desta menarik tangan Utari, "Tari ... Tari ... aku ...," ucapannya terputus, Fiandra melepas secara paksa genggaman Desta di lengan Utari.

"Tari aku menyesal, aku minta maaf. Kamu boleh menghukum aku," ucap Desta pelan. Ciara seakan tidak percaya saudara lelakinya mengatakan hal itu. Belum sempat dia akan melancarkan aksi protesnya Utari tanpa rasa takut sedikitpun mendekat ke ara Desta.

"Setelah delapan tahun? Setelah kedua orang tuaku harus mati dengan malu? Setelah semua terapi yang harus aku jalani? Setelah semua obat yang harus masuk ke dalam perutku? Setelah rasa jijik akan tubuhku sendiri harus aku tahan? Setela kengerian yang harus aku jalani selama delapan tahun ini? Setelah delapan tahun ... dan lo nyesal?" Utari menatap Desta tajam, sesekali dia mencuri pandang ke arah Arman juga.

"Kematian lo aja nggak cukup, Des! Lo semua ... kalian ... harus tersiksa hingga mati!"

Fiandra pamit pulang dan minta izin untuk mengantar Sela ikut bersamanya kepada Arion.

"Lo harus bicara berdua, ini berat buat Tari. Janji sama gue, apa pun yang lo dengar nanti, jangan kecewakan harapannya," ucap Fiandra.

"Lo adalah satu-satunya pria yang dapat dia percaya. Tapi semua tidak utuh ketika masi ada satu rahasia, satu ceria yang belum dia bagikan sama lo, Ar. Please jangan kecewakan dia. Please, jangan memandangnya ... buruk."

Fiandra dan Sela akhirnya meninggalkan kediaman Arion dan Utari. Pria itu berjalan masuk ke dalam rumahnya perlahan. Setiap kata-kata dari Fiandra dia pikirkan. Semua yang terjadi di kantor polisi telah diceritakan Fiandra dengan sangat jelas dan lengkap.

Banyak hal yang terlintas dalam benaknya, entah apa. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Lama dia berdiri di depan pintu kamarnya yang tengah terkunci dari dalam. Utari menolak berbicara dengan Arion. Biasanya Arion akan mengikuti kemauan sang istri.

"Tari, buka pintunya!" tidak ada jawaban dari dalam.

"Kalau kamu tidak membuka pintu ini secara baik-baik, aku akan menghancurkan pintu ini. kamu tahu aku tidak pernah main-main!"

 kamu tahu aku tidak pernah main-main!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

============

Be good be brave. Everythings gonna be Ok.

Chuu,

Bii

Psikopat Analog [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang