-- Another Death

145 21 1
                                    

"Kematian akan membuatmu sadar, banyak hal salah yang telah kamu jalani selama ini."

Pria itu berjalan dengan langkah cepat dan tampak tergesa-gesa melalui lorong serba putih. Dia masuk ke sebuah ruangan yang cukup ramai. Dua orang wanita dan dua orang pria. Wanita yang sedang terbaring di ranjang rumah sakit itu tersentak ketika melihat sosok yang masuk ke dalam ruangannya dirawat.

"Kak Ar .." ucapnya tertahan.

"Saya nggak tau apa isi otak kamu, Kal. Tapi sekali lagi kamu melibatkan istri saya, Utari dalam permainan bodoh kamu. Saya tidak akan tinggal diam."

"Permainan bodoh? Lo nggak lihat kaki Lila itu hampir patah. Wajar aja dia nuduh istri lo. Karena dia yang paling mencurigakan," ujar Ciara berang menaikkan nada suaranya. Arion mengalihkan pandangannya dari Kalila ke Ciara. Pandangan mata merendahkan, senyumnya mengerikan. Dia berjalan mendekat.

"Hampir? Lain kali akan kubuat patah," ucapnya berbisik di telinga Ciara membuat gadis itu otomatis mundur, ketakutan dan menabrak meja kecil di belakangnya.

"Hei! Ngapain lo" ucap pria tinggi yang berada di ruangan itu juga. Arion menatapnya sebentar dan melengos pergi. wajah teduh dan hangat yang selalu dia tunjukan kepada siapa saja itu kini berubah menjadi dingin dan menyeramkan.

"Siapa sih?" tanya pria itu.

"Arion, suaminya U-T-A-R-I!!" ucap Ciara tidak senang. Kedua pria itu tampak terkejut. Salah satunya malah terduduk dengan wajah pucat pasi.

"Lo kenapa sih, Dhi?" tanya pria itu melihat wajah temannya menjadi sangat pucat.

"Lo nggak takut apa, Des? Pria tadi sungguh menyeramkan," tanya pria pucat itu kemudian.

"Apa-apaan sih lo, diem nggak!" Desta, pria tinggi yang merupakan Kakak laki-laki Ciara itu terlihat sedikit kesal. Pria pucat itu mengunci mulutnya rapat-rapat. Tapi, kejadian masa lalu terus terputar dalam ingatannya. Menambah kengerian dalam dirinya. Kesalahan besar yang pernah dia lakukan kini menghantui seumur hidupnya. Tidak seperti teman-temannya, Adhi, pria pucat itu tampak sangat menyesal telah menghancurkan hidup seseorang, dulu.

Tapi, penyesalannya terlihat percuma. Tahun telah berlalu.

***

Suara bel terdengar, wanita itu bergegas menuju pintu untuk melihat siapakah tamu yang datang.

"Kok bisa barengan??" tanya Sela seraya mempersilahkan kedua tamunya itu masuk.

"Ketemu tadi di bawah. Makan malam di luar?" Arion menghampiri sang istri yang tengah asyik menonton sebuah K-drama kesukaan sang adik.

"Tadi kita belanja dekat sini dan masak. Kita makan malam bareng di apartemen aja," ucap Utari tidak mengalihkan perhatiannya dari layar kaca. Arion duduk di sampingnya dan mencium kening sang istri dengan lembut. Membuat mata Sela seolah akan meloncat keluar.

"Gimana, Ros?" tanya Arion kemudian setelah melihat Eros yang baru saja mengambil minuman dingin dari kulkas.

"Jangan bahas pembunuhan itu, ya! Aku nggak suka!" Utari akhirnya memberi perhatiannya kepada pria yang duduk di sampingnya itu. Arion dan Eros saling melempar pandangan.

"Kita lagi nggak bahas itu, kok. Sensi amat," goda Arion.

"Bohong! Memang tadi mau nanya apa sama Eros?" selidik Utari. Sela duduk memperhatikan tingkah Kakaknya yang sedikit berbeda.

"Ya ampun, sayang. Aku tuh, nggak akan pernah bohong sama kamu." Arion mencubit pelan pipi Utari yang semakin membuat Sela terheran-heran.

"Aku tadi ngebahas soal kira-kira siapa yang mendorong Kalila hingga jatuh," ujar Arion dibalas dengan tatapan tajam yang seolah akan menusuk kedua matanya.

"Care banget?"

"Cemburu?" tanya Arion tenang.

"Serah!"

"Ayolah, tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku hanya ingin tahu siapa dia. Apakah ada kemungkinan dia juga dapat membahayakan kamu. Aku harus memastikan kamu aman." Arion mencoba menjelaskan dan dibenarkan oleh Eros yang masih menyaksikan pertengkaran kecil yang ada di hadapannya itu. Menurut Eros hal itu sangat manis. Ya, pertengkaran kecil yang manis.

***

Pria itu berdiri mematung menatap nanar lurus ke depan. Matanya bergetar hebat. Tubuhnya seakan segera runtuh. Wajah pucat dari sebelumnya. Beberapa kali panggilan dari ponsel tidak dia gubris. Ponsel yang tergeletak begitu saja di lantai apartemennya terus saja berdering. Sekali lagi dering itu terdengar. Dia berusaha menatap dan membaca nama yang tertera di layar depan ponsel yang tengah berdering itu tanpa merubah posisi dia berdiri.

"Desta." Suaranya ikut bergetar.

"Aku hanya mengikuti mereka semua. Arman dan Desta memaksa aku saat itu. Yah, aku nggak sepenuhnya salah. Aku juga korban mereka. Mereka memaksaku melakukan perbuatan keji itu." Kembali dia menatap lurus. Bibirnya kering.

"Aku pantas dihukum."

"Maafkan aku!!"

Pria itu naik ke atas kursi kayu yang berada tidak jauh dari dirinya. Sebuah tali menggantung di antara pintu besar itu. Dia masih ketakutan setengah mati.

"Berhenti menghantuiku!!"

"Berhenti mengikutiku!" air matanya tumpah. Wajahnya menjijikkan. Tangisannya terdengar memilukan.

Dengan satu dorongan pada kursi kayu, tubuh itu tergantung tanpa penyangga. Tali yang membelit leher membuatnya sulit meraup udara. Tubuhnya seketika kejang. Kedua bola matanya membulat seakan ingin keluar dari tempatnya. Wajahnya yang basah karena air mata memerah. Kakinya meronta-ronta mencari tumpuan. Dan tidak lama tubuh itu berhenti bergerak, dengan mata yang masih terbuka.

Ada senyum tersirat di antara kegelapan. Sebuah tubuh tanpa nyawa tergantung di antara pintu kaca besar apartemen itu. Membagi pemandangan langit malam kota Jakarta menjadi dua.

"Kau memilih sendiri bagaimana caramu di hukum, anak baik. Tetapi aku bukanlah seorang pemurah, kau menyentuh milikku yang berharga, kau harus di hukum. Tidak peduli itu masa lalu atau masa kini. Kalian harus di hukum, anak nakal harus di hukum." Suara rendah dengan sosok yang dilindungi malam masih menatap dengan kernyih ke arah tubuh tanpa nyawa itu.

==================

Hai,

Karena Bii sayang sama Kakak-Kakak telorist kita update dua part sekaligus yak.

Ditunggu komentar dan votenya.

Chuu,

Bii

Psikopat Analog [TAMAT]Where stories live. Discover now