- The Only Exception -

268 27 18
                                    

"Because none of it was ever worth the risk. But, you are, the only exception." Paramore.

2009

Dari luar gadis itu berdiri mematung ketakutan. Sebelumnya wanita yang berada di dalam ruangan melihatnya, memberi isyarat untuk tetap diam dan bersembunyi. Gadis dengan kulit sawo matang dengan rambut dikuncir satu itu membekap mulutnya sendiri. Berusaha dan bertahan untuk tidak bersuara sesuai dengan instruksi wanita yang ada di dalam. Wanita itu, Ibunya yang berharga.

"Semua pria sama aja!" rutuk gadis yang masih mengenakan seragam putih abu-abunya seraya mengobati luka pada wajah Ibunya.

"Ayah, kamu nggak jahat. Kalau dia jahat dia udah ninggalin Ibu sejak lama," bela sang Ibu mendengar omelan putrinya.

"Bu, seribu kali lebih baik jika dia ninggalin kita bertiga!" cecarnya geram.

"Nak, Ibu nggak akan sanggup kalau Ayah sampai ninggalin Ibu, ninggalin kita bertiga," ucap wanita dengan memar di wajahnya sisa pukulan sang suami beberapa hari yang lalu dengan nada yang sangat menyedihkan. Anak gadisnya itu kemudian tidak lagi ingin berdebat dengan wanita yang sangat dia cintainya itu. Dia merangkul sang ibu erat.

Ibu mengusap lembut wajah putri pertamanya itu. Kasih sayang yang dia berikan cukup membuat gadis itu bertahan dengan kehidupan bersama sang Ayah yang keras dan otoriter. Dia sudah lupa, entah sejak kapan sang ayah menjadi begitu kasar dan kejam terhadap mereka terutama kepada Ibu. Mungkin, karena ibu selalu berusaha melindungi kedua putrinya.

"Pria itu juga pasti berbeda, siapa namanya?" tanya Ibu dengan senyum kecil menghiasi.

"Bang, Arman? Entahlah, Bu kadang aku merasa dia tidak sebaik yang aku harapkan." Sorot matanya menjadi hampa.

"Kamu bahkan belum mencoba." Senyum wanita itu membuat sang anak menjadi hangat dan tenang kembali.

"Aku sayang, Ibu. Sayang Sela juga!" ucapnya kemudian disambut pelukan hangat sang ibu.

"Ibu, juga sayang kalian berdua."

***

2019

Pria dengan postur tinggi tegap dengan rahang yang tegas itu masih mengenakan kemeja hitam lengan panjang. Mondar-mandir di ruang tengah rumahnya. Ruang tengah yang memiliki pintu kaca  raksasa yang langsung terhubung dengan kolam renang mereka. Kolam renang yang tidak terlalu besar. Tampak dia sedang berbicara dengan seseorang melalui saluran telepon. Wajahnya cemas. Sorot matanya sarat akan kekhawatiran.

"Kalau begitu, besok bawa Utari kemari!"

"Baik, terima kasih Dok saya sangat menghargainya." Arion menghempaskan dirinya duduk di salah satu sofa panjang berwarna abu-abu muda. Banyak yang terlintas dalam benaknya. Kemudian dia beranjak dari tempatnya duduk dan masuk ke dalam kamar tidur. Memperhatikan sang istri yang terlihat lelah dan masih pucat. Dia mengusap pelan kepala sang istri takut membuatnya terbangun. Dia mengulas senyum tipis.

"Maaf ya, Dok. Saya mengganggu hari libur anda," ucap Arion sopan ketika Dokter Syifa mempersilakan mereka masuk ke kediamannya.

"It's ok, jadi gimana perasaan kamu, Tari?" tanya Dokter Syifa kemudian.

"Much better, Dok," ucapnya singkat.

"Ayo kita mulai, kamu tunggu di sini ya Arion, kami tinggal," ujar sang Dokter masuk bersama Utari menuju ruangan lain yang merupakan ruang prakteknya. Utari melirik ke arah Arion yang mengangguk pelan sambil tersenyum kecil.

Arion mencoba menyibukkan dirinya dengan ponsel di tangan membuka beberapa situs web dan menjelajahinya. Sesekali dia menyunggingkan senyuman, ketika membaca beberapa artikel yang memuat berita serial killer di Jakarta. Dingin. Kemudian fokus kembali pada hal lainnya. Sudah hampir dua jam ketika dia melihat jam yang terpasang di ruang serba putih itu. Wanita paruh baya dan seorang wanita dengan kuncir satu itu keluar dari ruangan lain di rumah itu.

Psikopat Analog [TAMAT]Where stories live. Discover now