Short Trip -- Healing

128 20 15
                                    

"The most effective medicine for me is your presence."

Masih dalam pelukan, Utari menatap kosong pemandangan pagi melalui jendela kamar apartemen sang adik. Semalaman dia menyiksa Arion yang khawatir dengan kondisinya. Tapi, dia tahu pria itu tidak akan protes atau memaksa apa pun yang tidak membuatnya nyaman. Saat itu dia menyadari betapa Arion sangat memahami dirinya dan betapa dia merasa beruntung memiliki pria itu sebagai suaminya.

"Aku capek, Raf," ucapnya masih dalam pelukan pria itu.

Arion membenarkan posisi duduk mereka berdua hingga kini saling berhadapan.

"Pertimbangkan lagi permintaan aku waktu itu. Dengan kamu berhenti bekerja kita nggak akan kekurangan apapun, sorry to say tapi kamu tau aku bahkan bisa ngasih lebih dari apa yang perusahaan kamu beri, Tar," ucap Arion memohon.

Utari melepaskan napas, "Kali ini aku nurut, aku akan ajukan permohonan berhenti bekerja secepatnya, senang?" tanya wanita itu mengusap dengan lembut wajah suaminya itu.

"Ya, thanks sayang." Arion memberinya kecupan kecil.

Arion keluar kamar dan membiarkan sang istri berkemas. Dia melihat Sela yang tampak sibuk menyiapkan sarapan di dapur kecilnya.

"Nggak usah repot-repot, Sel," ucapnya seraya mengambil tempat di depan layar televisi.

"Nggak kok, Mas. Bentar lagi beres," ucapnya tanpa melihat Arion.

"Tadi Kakakmu bilang semalam kamu kepergok keluar malam-malam. Ke mana sih memangnya?" tanya Arion kemudian kepada adik ipar yang masih sibuk menyiapkan sarapan.

"Ke supermarket aja kok, Mas, beli teh. Sela nggak punya persediaan teh di rumah, makanya ..." ucapnya menghampiri Arion dan meletakkan tiga mangkuk bubur di atas meja.

"Iya ni anak, malam-malam tuh bahaya. Belum lagi kasus pembunuhan berantai itu selesai." Utari terlihat kesal sewaktu keluar kamar, mengingat apa yang adiknya lakukan tadi malam.

"Duh, iya-iya maaf. Makan dulu biar ada tenaga buat ngomel lagi," ucap Sela santai. Utari tidak habis pikir akan kecerobohan sang adik.

Terdengar suara bel dari apartemen Sela, wanita itu bergegas membuka pintu dan menyambut siapa yang datang.

"Bisa bicara sebentar?" ucap Eros tergopoh kepada Arion. Wajahnya terlihat cemas. Arion bergegas menghampiri Eros, sebelumnya dia meminta izin kepada Utari.

Eros dan Arion tampak berbincang-bincang di area tangga darurat.

"Pria bernama Baim yang tadi malam menyerang Utari dinyatakan hilang. Menurut saksi yang mengantar pria itu, Baim langsung masuk ke dalam rumah dan tidak ada tanda dia keluar dari rumah. Tapi, tadi pagi ketika Ibu pria itu mengunjunginya, dia tidak di temukan. Semua pintu terkunci, ponsel, kunci mobil dan dompet ada di dalam rumah. Harusnya prosedur pelaporan orang hilang adalah 2 x 24 jam, tapi kau tau sendiri mereka punya koneksi. Aku sangat kesal harus memberi tahu bagian itu." Eros terlihat tidak senang.

"Hilang? Apa yang mengantar yakin dia sempat masuk ke dalam rumah?" tanya Arion.

"Ya, dia yakin. Lagi pula Ponselnya ditemukan di dalam rumah artinya dia sempat berada di sana tadi malam," balas Eros.

"Apa sebaiknya Utari diberi tahu?" tanya Eros kembali.

"Jangan. Aku akan mengajaknya keluar kota beberapa hari sehingga dia tidak perlu memikirkan hal itu untuk sementara. Hari-harinya sudah cukup berat belakangan ini."

"Kapan? Ke mana kalau boleh tahu?" tanya Eros.

"Ke Malang, kebetulan ibuku ingin bertemu menantunya. Beliau sedang ada sedikit urusan di Surabaya. Ros, selama aku pergi tolong jaga Sela dan terus kabari aku informasi terbaru, nggak keberatan, kan?" pinta Arion.

"Tentu, aku rasa itu ide yang cukup baik menimbang kondisi Utari yang belum stabil."

Kemudian keduanya terdiam memandangi langit kota Jakarta yang kelabu tertutup polusi.

***

Hawa dingin dan udara yang lebih bersih membuat wanita itu terlihat segar. Dia asyik menikmati pemandangan hijau dari villa tepat mereka menginap. Sudah lama dia tidak menikmati semua ini sejak pindah kembali ke Jakarta.

Arion memeluknya dari belakang. Memeluk dengan erat. Keduanya saling diam, cukup lama.

"Makasih ya, sudah ngajak ke sini."

"Hmm hitung-hitung bulan madu, kita belum melewati masa itu, kan," goda Arion. Utari mencubit lengan Arion.

"Kenapa, Raf? Kenapa aku yang kamu pilih untuk mendampingimu?" tanya Utari.

"Bisa dikatakan, aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Tidak menyangka dapat berjumpa lagi hari itu. Yah walaupun aku memang mencari tahu tentang kamu sebelumnya," ujar Arion. Utari berbalik memandangnya.

Dering telepon membuat mereka menghentikan percakapan mereka saat itu. Arion mengangkat telepon dengan segera setelah membaca nama pemanggilnya.

"Mami," sapanya setela tersambung.

"Nak, Mami sudah di depan Villa. Kita makan siang di luar, ya. Kamu sama Tari siap-siap," ucap seorang wanita di seberang saluran telepon.

"Sepertinya kamu sudah jauh lebih dari terakhir kita bertemu ya, Tar?" tanya wanita dengan potongan rambut pendek yang masih terlihat sangat cantik di usia menjelang senjanya.

"Iya, Mih, semua berkat kesabaran Rafa." Utari tersenyum dibalas senyum tak kalah sumringah dari sang ibu mertua. Wanita dengan mata bulat besar itu, menggenggam tangan Utari dengan erat.

"Kalian harus bahagia," ucapnya tenang. Arion hanya diam menikmati makan siangnya.

"Berapa lama Mami di Malang?" tanya Utari.

"Hanya hari ini, sayang. Mami harus kembali segera ke Surabaya masih ada beberapa urusan penting di sana yang sulit untuk ditinggalkan."

"Maafkan Mami, ya. Mami janji kita akan meluangkan banyak waktu lain kali."

Saat itu Arion tidak bersama dengan mereka karena menerima telepon dari Eros. Tentu saa dia tidak ingin Utari mendengar percakapan mengenai perkembangan kasus terahkir.

"Utari, boleh Mami tanya sesuatu?" raut wajah wanita itu tampak berubah.

"Bagaimana hubungan kamu dengan Rafa, maksud Mami apakah Rafa perna melakukan hal yang tidak kamu sukai ... kekerasan misalnya," tanyanya serius.

"Nggak pernah, Mih. Rafa itu pria terbaik dalam hidup Tari. Bahkan dia lebih mengerti tentang Tari melebihi diri Tari sendiri. Kadang Tari merasa cemas, selama ini selalu Tari yang lebih keras kepadanya. Kenapa Mami bertanya seperti itu?" Utari balik bertanya. Wanita itu tersenyum lega.

"Rafa hampir tidak pernah menunjukan emosinya, baik itu senang, sedih, bahagia, atau marah. Hal yang selalu mengusik dan membuat khawatir Mami terlebih Alfi. Untungnya dia anak yang sangat pintar, menemukan hal yang dia gemari membuatnya terlihat lebih hidup. Rafa itu unik, dia berbeda, dan sulit dikendalikan. Mami senang dia bertemu dengan kamu, Nak. Seseorang yang sangat dia inginkan untuk menemani hidupnya." Utari mendengarkan dengan seksama setiap kata-kata yang keluar dari wanita yang sangat dia hormati itu.

"Terus dampingi dia, jangan pernah tinggalkan dia. Janji?" wanita itu mengusap wajah menantunya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Utari mengangguk yakin.

"Terima kasih, sayang. Mami akan selalu ada buat kalian."

***

"Baim, pria yang hilang itu, tewas mengenaskan. Tubuhnya terpotong-potong dan terpencar di beberapa area. Aku rasa kalian harus lebih waspada juga. Aku lanjut lagi."

"Oke, thanks Ros info-nya."

=====================================

Wuidih, kalau begini ceritanya bisa cepat kelar yak.

Yah, mudah-mudahan yang begini bukan di awal-awal aja ya, aamiin.

chuu,

Bii

Psikopat Analog [TAMAT]Where stories live. Discover now