-- Still Alive

142 21 6
                                    

"Hiduplah seperti tidak akan datang hari esok. "

Utari mengelilingi rumah yang sudah dia tempati hampir satu tahun bersama Arion. Rumah yang dibeli Arion, suaminya, untuk mereka memulai hidup baru. Rumah yang jauh dari keramaian karena Utari tidak menyukainya. Rumah yang memiliki halaman yang luas karena Utari menyukainya. Cat dengan warna-warna kegemaran Utari. Semua perabotan pilihan Utari. Semuanya karena Utari menyukainya.

Lama dia berdiri memandang kosong kolam renang yang tidak terlalu besar yang selalu Arion gunakan untuk renang di pagi hari. Lalu Utari akan duduk di tepian-nya untuk melukis. Semua kenangan silih berganti. Setiap hari yang dia lewati bersama pria itu membuat hidupnya kembali berwarna. Satu-satunya yang membuat dirinya merasa utuh.

Mereka bukanlah seperti pasangan suami istri pada umumnya hubungan mereka memang unik dari awal. Utari membiarkan Arion mendekatinya karena dia tahu bahwa pria itu akan membuatnya dekat dengan Desta dan kawan-kawannya. Sampai akhirnya dia mengambil langkah besar di hidupnya, menikah tanpa dasar cinta sedikit pun. Walau pada akhirnya, kasih sayang dan cinta meleburkan segalanya.

Air matanya jatuh melalui sudut mata membasahi pipi. Berkali-kali ida meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Semua akan berlalu dan kembali seperti biasa. Kali ini dia tidak bertumpu pada Arion. Dia sendiri harus kuat melewati proses ini. sebuah perjalanan yang menentukan kehidupannya mendatang.

"Kak?" sapa Sela membuyarkan lamunan Utari. Cepat dia menghapus air matanya.

"Ya?" sahut Utari.

"Kenapa nggak tinggal dengan Sela aja? Sela kurang setuju kalau kak Tari tinggal bersama Orang tuanya Mas Arion," ucap Sela hati-hati.

"Ini permintaan Rafa, Kakak harus tinggal dengan Mami hingga sidang selesai."

"Kak Tari masih nurutin dia? Kak Tari akan pisah kan dengan Mas Arion? Iya kan Kak?" tanya Sela gugup menunggu jawaban dari Utari. Utari mendekatinya dan memegang lembut kepala sang adik.

"Maaf ya Sel, selama Kakak hidup, kakak belum bisa jadi panutan dan pelindung buat kamu."

Helena sudah tiba. Orang-orang suruhannya sudah mulai membawa barang-barang Utari ke dalam mobil. Hingga sidang putusan Utari akan tinggal dengan Helena sementara di Bandung. Jika hasil sidang tidak terlalu baik, Utari akan ikut pindah ke Selandia Baru bersama Ibu mertuanya itu. Semua sesuai dengan permintaan Arion yang disampaikan kepada Alfi yang berperan sebagai pengacaranya.

Hingga hari ini, Arion masih menolak bertemu dengan Utari. Arion beralasan Utari mungkin tidak akan kuat dan memutuskan meninggalkannya ketika dia sedang terkurung dan tak bisa berbuat apa-apa.

"Tari harus bertemu Rafa, Mi, ada yang harus Tari sampaikan sendiri," ucap Utari sedikit memaksa kepada Helena.

"Apa tidak bisa disampaikan lewat Alfi saja? sayang, kondisi psikologis Arion masih tidak stabil. Mami hanya takut dia akan melukai kamu." Helena menggenggam tangan anak menantunya itu.

"Nggak bisa Mi. Rafa nggak akan pernah nyakitin Tari. Dia nggak bisa!" Utari yakin. Helana hanya mampu menghembuskan napasnya kuat-kuat.

"Dari mana semua keyakinan itu, sayang," ucap Helena lembut mengusap wajah menantu yang sudah seperti anak kandungnya itu.

"Tidak ada yang bisa membaca pikiran Rafa. Dokter yang menanganinya selalu memberi hasil yang sama. Dia baik-baik saja. Rafa itu manipulatif yang jenius. Dia menyembunyikan emosi dengan baik. Dia ..." ucapannya terhenti ketika melihat Utari mulai menitikkan air mata. cepat Helena memeluknya erat.

"Tari mau Rafa, Mi," ucapnya lirih dalam pelukan wanita yang tidak lagi muda itu.

Helena sempat bingung dengan sikap Utari yang masih menerima Arion seolah tidak ada yang terjadi. dia sangat menyayangi menantunya itu seperti dia menyayangi kedua putranya.

Setelah perdebatan panjang dan melelahkan akhirnya Helena memberi izin kepada Utari untuk bertemu dengan Rafa yang kini berada di rumah tahanan khusus.

Utari bertemu dengan Eros sebagai salah satu petugas yang mengawasi Arion hingga sidang selesai. Hari itu Arion memiliki jadwal interogasi bersama seorang psikolog. Hasilnya tidak terlalu baik atau mungkin malah tidak baik. Arion sudah pasti akan dihukum atas tindak pembunuhan terhadap Arman dan melukai Desta. namun, pihak kepolisian juga menginginkan Arion mengakui kejahatannya yang lain sesuai dengan kesaksian Desta. hal yang tentu membuat Alfi sedikit gerah. Desta adalah tersangka tetapi ucapannya sangat dipercaya hanya karena koneksi yang dimiliki ayahnya.

Tetap saja mereka tidak akan bisa melakukan sesukanya. Bukti yang ada cukup untuk menjerat ketujuh pelaku pembunuhan yang terjadi di daerah jakarta. Pelaku yang awalnya tidak bekerja sama dengan baik dan tidak mengaku secara misterius mengakui perbuatan mereka. Membuat para aparat kepolisian bingung. Mereka senang akhirnya kasus akan selesai tetapi dengan pernyataan Desta mereka kembali ragu. Belum lagi masalah situs website yang mencurigakan itu belum terpecahkan juga. Mereka yakin ada penggerak yang bersembunyi di baliknya namun mereka kekurangan waktu.

Eros menjumpai Utari dengan gugup.

"Gimana kabar Sela?" tanya Utari.

"Baik. Kemarin dia pulang ke Yogyakarta karena Pakde-nya mendadak sakit. kamu nggak ke sana juga?" tanya Eros canggung.

"Dari awal aku tidak terlalu dekat dengan keluarga Ayah. Eros, aku harap masalah ini tidak membuat perasaanmu sama Sela berubah. Yah, walau aku tidak ingin memaksakan apa pun kamu bebas memilih tapi tegas dan bijaklah agar tidak ada yang terluka."

Utari masuk ke sebuah ruangan tanpa ventilasi atau jendela. Hanya meja berbentuk kotak dengan empat buah kursi mengelilinginya. Salah satu dinding terdapat kaca besar yang gelap. Di balik kaca tersebut pasti ada beberapa petugas yang mengamati.

"Sebaiknya salah satu dari petugas tetap di sini," ucap Arion dingin.

"Tidak percaya diri menghadapiku?" tantang Utari. Anehnya, dengan satu kalimat dari wanita yang sudah beberapa minggu tidak dia jumpai itu. Raut wajahnya langsung kembali cerah. Dia tersenyum dan segera duduk.

"Jadi bagaimana kabarmu?" tanya Arion tenang. Raut wajahnya sudah kembali lembut seperti biasa. Beberapa petugas termasuk Alfi dan Psikolog yang menangani Arion berdiri diam di balik kaca memperhatikan perubahan sikap dan sifat Arion yang drastis setelah bertemu Utari, pria itu seperti dua orang yang berbeda.

"Tidak terlalu baik. Aku sulit tidur di malam hari. Kenapa wajahmu tirus? Gimana luka-lukamu?" tanya Utari kemudian. Nada bicaranya seperti biasa lembut dan sedih.

"Tidak ingin menanyakan sesuatu yang lain? seperti yang mereka tanyakan kepadaku? Tidak tertarik ... penasaran?" Arion menatapnya penuh makna dengan senyum tersungging yang khas.

"Kau tahu? Aku tidak bermaksud menyakiti ..." ucapan Arion terhenti saat Utari menggenggam tangannya kuat.

"Jangan! Jangan menggunakan perasaan yang tidak pernah kamu miliki. Itu menjijikkan. Cukup tunjukan kepadaku saja. Dan itu cukup. Aku ..." Utari mulai berkaca-kaca.

"Aku butuh kamu Raf. Aku nggak butuh hal lainnya. Aku tidak peduli apa pun. Aku hanya butuh kamu lebih dari aku membutuhkan kamu sebelumnya," ucap Utari lirih. Wajahnya tertunduk. Dia menangis terisak pelan. Pria itu hanya memandanginya dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan.

"Jangan nangis, aku ...,"

"Aku ingin kamu hidup. Aku ingin kamu berumur panjang. Kita baik-baik saja kan?" wajah Utari basah dengan air mata.

"Aku ... dan calon anak dalam kandunganku membutuhkan kamu. Aku hamil!"

Psikopat Analog [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang