day 2

109 12 7
                                    

𝘱𝘳𝘰𝘮𝘱𝘵: 𝘩𝘶𝘵𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘤𝘪𝘭

_____

Aku selalu ingin kembali ke Jjigbaggol. Menelusuri jalan yang jauh dari hiruk-pikuk manusia, namun akrab dengan sapaan burung yang bersuara indah; memanggil ayam dan kelinci di ladang dan memberi mereka makan; kemudian makan masakan terenak dari koki terhebat yang pernah ada di Jjigbaggol.

Dan ... di sinilah aku.

▓▒ day 2 ▒▓

"Paman, mau kuambilkan air?"

Aku kembali ke rumah setelah memberi pakan ternak dan juga kelinci. Paman Seo Jin yang sedang memandang ke arah hutan di dekat rumah, tepatnya pada rumah pohon dan juga ayunan tua, menoleh padaku. Pria tua itu tersenyum sampai lesung pipinya terlihat, kemudian mengangguk dari tempatnya duduk.

"Tolong ambilkan air hangat, ya."

"Siap."

Aku bergegas memasuki rumah. Meski sudah lama sekali tidak kemari, rumah ini tetap terasa akrab karena tidak pernah direnovasi. Maksudku, mungkin ada sedikit perubahan dan perbaikan seperti pada atap yang bocor atau cat tembok yang sudah pudar, atau perkakas di dalamnya. Namun, denah rumah ini masih tetap sama seperti dua puluh tahun yang lalu.

Sesampainya di dapur, kuambil gelas untuk diisi air hangat. Sebenarnya ini bukanlah dapur utama, karena dapur utama adalah dapur terbuka yang berada terpisah dari rumah dan paman sudah jarang ke sana. Ia sudah semakin tua, akan lebih mudah jika semuanya dapat dijangkau dengan jarak yang dekat. Dapur terbuka yang selalu penuh dengan bahan makanan dan suara penggorengan, sekarang benar-benar sepi karena bekunya aktivitas di sana.

"Ini dia." Kuberikan air hangat dalam gelas pada paman. Tangannya yang mulai keriput menggenggam gelas tersebut dengan erat. Sembari paman meneguk air, kuperhatikan keriput yang kian bertambah di wajah paman dan juga dominasi putih di rambutnya. Rupanya, sudah lama sekali sejak aku pergi dari sini.

"Sudah tidak ada blueberry lagi. Ya, kan?" tanya paman memangku gelas dalam genggaman dan memandang ke arah taman yang saat ini ditumbuhi sayur-mayur. Ia masih ingat betul buah favorit yang selalu kunantikan pertumbuhannya.

"Jangan khawatir. Aku bisa membelinya di swalayan, Paman. Ada banyak di sana," jawabku dan menambahkan dengan suara pelan. "Meski begitu, blueberry di rumah paman terasa sangat spesial dengan kenangannya. Prem-nya juga."

"Tidak boleh bergumam di hadapan orang tua. Kau membicarakanku, kan?" tanya paman.

Aku terkekeh. "Tidak, kok. Tidaaak."

"Awas, ya, kalau bohong."

Aku tertawa siang itu. Kami berbincang banyak mengenai Jjigbaggol. Dulu, paman selalu sibuk di dapur terbuka untuk memasak makanan enak. Sementara aku akan menunggu di meja makan bersama paman Seung Gi, bibi So Min, bibi Narae, Grace, kak Yi Han, dan lainnya dengan antusias. Paman sering memberiku bonus berupa potongan prem tanpa sepengetahuan yang lain. Ia juga memberikanku es krim, memasangkan jaket agar aku tidak kedinginan, mengelap mulutku yang belepotan makanan, dan banyak lagi. Jujur saja, aku menyayanginya lebih dari paman dan bibi lainnya.

"Rumah pohon dan ayunan sudah tidak pernah dikunjungi anak-anak. Mungkin ada banyak hantu yang bermain di rumah itu," kata paman, suaranya masih lembut dan hangat seperti dulu. Pendar matanya menggambarkan kerinduan. "Seung Gi akan sedih setiap kali datang berkunjung dan memeriksa rumah yang sudah rapuh itu. Yah, ia sering datang untuk membantuku."

"Ah ... benar. Kalian berusaha sangat keras untuk membangunnya. Hebat sekali! Keren!" pujiku. Aku tidak bohong saat mengatakannya. Bahkan, ada air yang hampir turun dari pelupuk mata.

Lalu, paman Seo Jin menghela napas dan berkata, "Anak-anak sudah besar sekarang. Kau akan sering ke sini, kan? Sekarang kau tinggal di Korea."

Aku mengangguk.

"Paman sudah tua. Orang yang menetap akan terus pergi dan datang sesekali sebagai pengunjung. Aku satu-satunya yang menetap untuk diriku," tambahnya.

Siang itu, mentari bersinar hangat. Seekor kucing mengintip dari balik pohon, burung-burung bersiul indah, dan paman Seo Jin tersenyum dalam rasa sepinya.

"Jangan bilang begitu, Paman. Aku bukan pengunjung. Aku keluargamu. Brooke keluargamu."

Aku memeluknya setelah dua puluh tahun berlalu. Melepas air mata yang gagal kutahan, aku mengerti jika paman Seo Jin dan Jjigbaggol adalah hutan kecilku--tempat pulang terbaik dengan kenangan yang enggan pudar.

 Melepas air mata yang gagal kutahan, aku mengerti jika paman Seo Jin dan Jjigbaggol adalah hutan kecilku--tempat pulang terbaik dengan kenangan yang enggan pudar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

___________
Kangen mereka banget. Sekian. T.T

#30HutanKata | Hutan KecilWhere stories live. Discover now