day 25

28 4 9
                                    

prompt: thanks, hacker!
____

Malam ini, seorang wanita duduk di depan layar komputerku. Kacamata bulat kebesaran yang melorot di hidungnya buru-buru dinaikkan hingga menyentuh posisi ideal untuk menatap tulisan di layar persegi panjang yang menyala di hadapan wanita tersebut.

Tidak banyak gambar dan kata yang terpampang di layar. Hanya fotoku berseragam sekolah dan tersenyum lebar dalam frame lingkaran, disertai nama Jung Min Hee di bawah foto, dan juga bagian kosong untuk menuliskan kata sandi komputer.

Sepuluh jari tangan kurus milik wanita yang duduk di kursi kayu favoritku itu bergerak lincah di atas papan ketik. Sesekali jemari tersebut terdiam, diikuti desahan yang keluar dari mulut wanita yang kukenal baik selama enam belas tahun tersebut. Kedua matanya terpejam erat bukan karena mengantuk, melainkan karena sudah pusing memperkirakan kata sandi yang cocok untuk meretas komputerku.

Aku menatap sticky notes di lemari buku, bertuliskan delapan angka yang merupakan kata sandi komputer. Ingin sekali aku berbisik, “Kata sandinya adalah tanggal putusku dengan Soo Ah si psikopat.” pada wanita itu, namun urung. Kalau berhasil mengganggunya, sudah pasti ia akan kabur dari kamar ini. Jadi, aku pun membiarkannya supaya semua berjalan lancar, kemudian memilih untuk berbaring di kasur.

Kalau kau anggap aku aneh karena mendukung seorang peretas, maka sebenarnya kau lebih aneh karena menyimpulkan tanpa mencari tahu lebih jauh apa yang terjadi.

Jung Min Hee bodoh.”

Demi Tuhan, aku mendengar umpatan dari mulut wanita berkacamata yang membelakangiku itu. Aku kembali turun dari atas kasur dan segera berdiri di sampingnya. Dengan kedua mata yang membola, kutatap bibi—ya, ia bibiku. Bibi yang menyebalkan—yang malah menatap fotoku di layar dengan penuh emosi.

“Jangan sembarangan, ya! Aku memang sedikit gaptek, tapi aku peringkat dua di sekolah!” omelku, tentu tidak akan digubris olehnya. “Jangan marah-marah, Bi. Cepat retas saja komputerku, lalu cari bukti yang kau butuhkan.”

“Tahu mengapa kau bodoh?” lanjutnya yang kini menunjuk-nunjuk fotoku. “orang-orang tidak akan menyimpan barang bukti di komputer!”

“Memang harus kusimpan di mana, eoh? Kau tidak lihat ponselku ikut rusak di TKP? Kalau saja aku tidak menyimpannya di komputer, maka aku bisa dianggap bunuh diri, tahu!” ucapku menantang. “Ah, sudahlah, Jung Min Hee. Percuma bertengkar dengannya saat ini.”

Kutiup lembar sticky notes biru yang menempel di lemari buku dan kertas itu pun jatuh dari tempatnya ke atas meja tepat di samping layar komputerku berada.

“Angin?” tanya bibi polos. Ia segera mengitari pandangan ke seluruh sudut kamar, lalu melihat kertas itu lagi. “Angka apa ini?”

Setelah bertahun-tahun mengenalnya, baru kali ini aku yakin kalau bibi benar-benar tidak peka. Pantas saja Tae Eun hyeong mundur.

“OH!”

Nah, akhirnya.

Bibi mengangkat tinggi-tinggi kertas tersebut dengan binar di mata seolah baru saja memenangkan undian senilai seribu juta, lalu mulai menggerakkan jemarinya lagi di atas papan ketik dan layar desktop pun muncul.

Jantungku berdegup semakin cepat saat itu juga.

Sekarang hampir pukul sepuluh malam. Setelah tiga menit mencari-cari folder penting yang menjadi tujuan, akhirnya bibi menemukannya. Ratusan gambar tangkapan layar dari aplikasi ApaKabar mengisi folder itu. Bibi tidak membukanya satu-per satu melainkan langsung mencari tangkapan layar terbaru dan membaca isinya. Di saat gambar tangkapan layar itu muncul, seluruh tubuhku kembali merasa nyeri luar biasa dan aku menjerit kesakitan.

Akh-yo-lahh!” ucapku berharap rasa sakit ini hilang.

Aku tidak melihat reaksi bibi selama rasa sakit itu menyerang. Namun begitu rasa sakitnya menghilang, bibi sudah memasukkan flashdisk ke dalam tas selempang kecil yang ia kenakan dan melangkah keluar kamar tanpa mematikan komputer. Langkahnya tidak lancar. Sesekali harus memegang dinding untuk menopang tubuhnya yang tampak lemas.

Tidak tinggal diam, aku mengikutinya sampai ke kantor polisi. Bibi tidak lagi menjaga image. Melihat wajahnya yang merah dipenuhi air mata dan juga mendengar suara seraknya saat menelepon ibu di rumah sakit, sungguh membuatku hancur. Kacamatanya bahkan tidak jelas lagi karena dibasahi air mata.

Bibi kecil—kami hanya berbeda empat tahun—yang terlihat selalu mengabaikanku saat bercerita, justru sangat mengingat tiap kata yang kuucapkan padanya. Bibi bahkan ingat jika aku selalu menyimpan isi percakapanku dengan Soo Ah di komputer sejak awal gadis itu bersikap aneh padaku, padahal aku hanya mengatakannya sekali.

Tuhan, tolong aku. Bangunkan aku dari koma dan hukum Soo Ah atas perbuatannya di atap sekolah siang tadi.

_____
28 Mei 2020, sedang kabur dari tugas UAS.

#30HutanKata | Hutan KecilOù les histoires vivent. Découvrez maintenant