day 9

38 7 7
                                    

𝘱𝘳o𝘮𝘱𝘵: 𝘢𝘩, 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯𝘬𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘳𝘮𝘦𝘯 𝘬𝘢𝘱𝘢𝘴 𝘪𝘵𝘶 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘮𝘢𝘯𝘪𝘴?
_____

"Mate, lo mau permen kapas, nggak?" tanya Wira selepas lari pagi bersama. Eh, pengecualian buat Dodo. Bungsu bongsor itu sudah kelelahan di seperempat waktu dan alih-alih berlari, dia malah berjalan santai.

"Gue nggak. Dodo, tuh."

"Lo nggak liat Dodo udah nungguin di depan gerobak abangnya?"

"Nggak," jawabku cepat dan mendongak. Terlihat Wira berkacak pinggang di hadapanku dengan salah satu tangan menggenggam plastik isi siomay. Sebuah senyum tipis yang terpaksa, terukir di wajahnya.

"Sabar, Wira. Sabar. Lo makin ganteng kalo sabar," ucap pria dengan kaus bertuliskan SOUL tersebut pada diri sendiri. "Emang kenapa lo nggak mau permen kapas?"

"Terlalu manis." Pernyataanku itu serius (aku tidak begitu suka sesuatu yang manis. Bahaya kalau nanti diabetes), tapi rupanya Wira menganggap itu sebagai bahan gombalan.

"Oh. Iya juga, sih. Apalagi yang makan elo," ucapnya namun segera bertanya hal lain sebelum aku mengomel. "Hmm, terus lo mau jajan apa? Gue traktir, nih!"

Aku menaikkan kedua alis. "Emang lo punya duit?"

"Punya, dong. Gue udah nabung banyak, nih, buat masa depan kit--oke. Gue diem. Maaf."

Aku hendak tertawa begitu Wira menghentikan ucapannya dan segera pergi menyusul Dodo, kemudian merangkulnya dengan akrab seolah adiknya sendiri. Namun, aku menahan tawaku itu karena gengsi. Ternyata, jurus melotot ampuh juga.

Dari bawah pohon ceri--tempatku duduk, aku yakin mereka sedang membicarakanku. Bahkan hal itu semakin jelas ketika mereka datang dengan setangkai permen kapas berbentuk pokemon milik Dodo, karena Wira terus berbicara sesuatu sambil menatapku sebal.

"Ngomongin teteh, kan, kamu? Jangan keseringan main sama Wira, deh. Dia tukang gosip," ucapku pada Dodo begitu dia duduk di sebelah kiriku, sementara Wira duduk di sebelah kiri Dodo.

"Teteh kayaknya perlu tensi, deh. Sensitif banget soalnya. Aku takut teteh darah tinggi," kata Dodo menyebalkan kemudian menyodorkan pokemon kapas  yang telinga kanannya sudah hilang kepadaku. Aku menggeleng sebagai bentuk penolakan.

"Jangan ditawarin lagi, Do. Dia udah manis. Kalo kemanisan, jantung gue yang repot," celetuk Wira masih belum menyerah dari ujung kiri dengan mulut penuh siomay. Tangannya yang menggenggam siomay kemudian terulur melewati Dodo. "Siomay aja, nih. Hehe."

Aku memejamkan mata dan membuang napas untuk mengatur emosi. Ya Tuhan, kalau begini, aku bisa benar-benar darah tinggi. Huhu.

#30HutanKata | Hutan KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang