day 28

25 5 2
                                    

prompt: a word i didn't want to say/hear in Korean
____

Hyeong, tunggu aku! Ya ampun. Ikatan tali sepatumu lepas!”

“Lepas? Ah, benar! Benar! Tolong, tolong ikatkan. He he.”

Kumpulan bunga matahari yang merekah indah telah menarik hampir seluruh atensi kakak sejak langkah ke sepuluh. Kuning-cokelat-hijau itu membuat kakak yang akhir-akhir ini menggemari fotografi jadi semakin masa bodoh dengan dirinya sendiri. Aku serius! Kalau sudah fokus, kakak selalu sibuk sampai tidak bisa merawat dirinya sendiri.

Hari pertama bertemu dengan kameranya, kakak lupa memakai alas kaki keluar rumah. Hari kedua, dia lupa belum menyisir rambut. Hari ketiga, dengkulnya terluka karena jatuh. Hari keempat, dia hampir saja bertelanjang dada.

“Pulang saja, yuk!” pintaku meski diabaikan kakak. Alih-alih menurut, dia malah berlari mengejar kupu-kupu biru yang terbang di atas kepalanya.

Sembilan pagi di kompleks perumahan tentu masih cukup sepi karena ini hari Minggu. Mereka biasanya berolahraga di taman sekitar sungai Han, pergi berkemah ke hutan, atau sekadar bersantai di rumah bersama keluarga. Hanya orang-orang kurang kerjaan seperti aku dan kakak yang keluar sepagi ini untuk memotret bunga dan capung.

“Tidak bisa. Kupu-kupunya tidak bisa diam. Hasilnya jelek. Lihat.”

Kakak menghampiriku yang berjongkok memangku wajah bosan nan kesal dengan telapak tangan kiri di pinggir jalan. Melihat ke layar kamera, kakak menunjukkan semua hasil jepretannya hari ini yang buram semua. Ah, ada aku juga rupanya, sedang menahan bersin dengan tidak tampannya. Oh, tidak hanya satu! Ada dua ... tiga ... empat ... lima!

Aku di foto kedua sedang mengupil, di foto ketiga sedang membelakangi kamera, di foto ke empat sedang mengikat tali sepatu, dan di foto terakhir—

“Ey, hyeong, mana bisa kau memotretku seperti ini! Lihat, wajahku memenuhi kamera dengan jelek sekali! Lubang hidungku terlihat besar!” Aku protes, namun kakak malah tertawa kecil.

Memangjelek. Jelek.” sahutnya cepat seperti tanpa spasi dan segera berlari meninggalkanku.

“Astaga! Kau memang menyebalkan!” omelku seraya berkacak pinggang, namun juga tidak bisa marah lebih dari itu.

Kulihat jam hitam yang melingkar di pergelangan tangan. Kebetulan sekali, sepertinya cara ini akan berhasil. “Ayo pulang, Hyeong. Sudah jam 9:50,” ucapku seraya tersenyum.

Benar saja. Mendengar itu, kakak sontak berbalik dan menghampiri, kemudian mengalungkan tangannya yang basah berkeringat ke lengan kiriku. “Ayo, ayo. Film kartunnya sebentar lagi mul—”

“Hei, Baegchi! Film kartun apa yang sebentar lagi mulai? Tayo?”

Sebuah suara lain menginterupsi perbincangan. Dari belokan gang di depan kami, ada Chan Sung dengan rambut lepek dan napas tak beraturan. Di tangannya ada bola sepak yang kotor. Aku baru akan memarahi lelaki tidak sopan itu saat kakak tiba-tiba menjawab.

“Doraemon. Perdana di TV!” sahutnya membuatku memutar bola mata.

Jawaban kakak membuat Chan Sung berupaya menahan tawa. Dengan tatapan mengejek, lelaki itu menyapu penampilan kakak yang nyentrik dari atas kepala sampai kaki.

“Baju merah, celana pink, kaus kaki kuning, sepatu hijau. Baegchi, kau mau ke pesta ulang tahun anak kecil dengan pakaian secerah itu?” tanya Chan Sung.

Sumpah, aku ingin memukulnya.

“Memangnya ada yang ulang tahun hari ini?” sahut kakak polos dengan pandangan tidak fokus.

Aku mengomelinya di tempat. “Sudah kubilang berapa kali, abaikan semua orang yang memanggilmu baegchi!”

Tapi kakak tidak sehati denganku. “Aku-tidak-keberatan. Cuma panggilan.”

Alhasil, Chan Sung tertawa keras dan mulai cari ribut. “Baegchi. Baegchi baegchi baegchi baegchi!”

Tidak tahan lagi, aku bergerak maju untuk memberinya pelajaran. Tidak ada yang boleh memanggil kakakku dengan sebutan seperti itu. Sekalipun kakak tidak keberatan, aku tetap tidak setuju.

“Masih jam sepuluh, kau mau cari ribut?” tanyaku seraya mendorong tubuhnya. “Begitukah caranya memanggil seseorang? Kakakku punya nama! Dia Na Jae Rim! Brengs—”

“Jae No, pulang. Doraemon sudah mulai. Ayo. Cepat.”

Sebuah tangan menggenggam lenganku. Kakak berupaya menghentikan semuanya dengan kepala menunduk.

“—sek,” lanjutku dengan suara pelan pada Chan Sung yang tidak merasa bersalah sekalipun. Sementara itu, kakak terus menggumamkan ayo pulang ayo pulang ayo pulang dengan cepat. Tangannya semakin kencang meremas lenganku. Mau tidak mau, aku menyudahi keributan dan mengikuti kakak yang kini berlari kecil di depanku.

Tanpa diketahui siapapun, aku menitikkan air mata saking kesalnya dengan perbuatan orang-orang dan juga respon kakak yang terlalu baik. Baegchi. Idiot. Memang siapa yang sebenarnya idiot? Kakakku bahkan tidak pantas disebut begitu karena dia tidak bodoh.

 Memang siapa yang sebenarnya idiot? Kakakku bahkan tidak pantas disebut begitu karena dia tidak bodoh

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
#30HutanKata | Hutan KecilWhere stories live. Discover now