day 16

34 6 11
                                    

𝘱𝘳𝘰𝘮𝘱𝘵: 𝘴𝘦𝘯𝘫𝘢 𝘣𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨, 𝘥𝘪𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘯𝘵𝘢𝘳 𝘭𝘢𝘨𝘪. 𝘧𝘢𝘫𝘢𝘳 𝘣𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨, 𝘥𝘪𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘦𝘴𝘰𝘬 𝘩𝘢𝘳𝘪.
______

"Wira Sableng!"

Wira berjengit kaget begitu sesosok gadis kecil membuka pintu kamarnya dan berteriak kencang seolah menggunakan toa. Seluruh rasa kantuk menguap di udara dalam waktu sedetik. Sedikit mengeluh, bocah lelaki itu melempar bantal yang ada di atas kasurnya ke arah anak perempuan tersebut.

"Ketuk pintu dulu!" seru Wira sebagai bentuk protes. Dia jelas tidak terima pintu kamarnya didobrak begitu saja, apalagi oleh Disa. Bagaimana kalau tadi dia sedang mendengkur dan ada air liur keluar dari sudut bibirnya?

Hilang sudah harga diri seorang Wira Pratama di depan seseorang yang dia sukai.

"Dari tadi udah ketuk, tapi kamu nggak nyahut! Mimpi apa, sih?" omel Disa, gadis sepuluh tahun seumuran Wira, setelah mundur dua langkah dari depan pintu untuk menghindari bantal terbang. "Buruan makan. Mamah pesan ayam bakar kesukaan kamu. Aku susah payah bujuk mamah buat pesan itu kali ini."

Setelah memberi komando, Disa pun meninggalkan pintu kamar itu dan menghampiri ibunya di dapur panti. Sementara Wira, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas sembari melihat ke arah pintu yang terbuka.

Kunjungan keluarga Disa ke panti asuhan merupakan hal yang sangat dinanti-nanti oleh Wira setiap minggu. Tante Mira yang super duper baik, hujan pelukan dari Dodo yang berusia enam tahun, dan juga Disa yang selalu berdebat dengannya, selalu membuat Wira merasa spesial dibanding hari-hari biasa. Selain itu, menu makan sore yang bertambah dua kali lipat dari biasanya membuat porsi makan Wira pun bertambah tanpa perlu khawatir anak-anak lainnya kelaparan.

Dapur menjadi jauh lebih ramai. Anak-anak sibuk menyendok lauk di prasmanan ke atas piring mereka. Wira yang baru saja selesai mencuci muka dan tangan pun ikut mengantre untuk mengambil lauk-pauk. Setelah selesai, bocah itu pergi menuju meja makan dan duduk di sebelah Disa.

"Wir, kalo gendut nanti jelek, loh," komentar Disa mengenai menu di piring Wira yang menggunung.

"Jangan ngiri gitu sama anak yatim piatu," jawab Wira ceplas-ceplos. Alhasil, sebuah pukulan mendarat di pahanya.

"Kalo ngomong disaring! Kamu bersyukur punya banyak teman di sini!"

Bukannya kapok, Wira yang mulutnya penuh hampir saja tertawa mendengar respon Disa. Dalam hati, lelaki itu senang setiap kali berhasil membuat Disa emosi.

Menggemaskan, pikirnya.

"Nanti pulang jam berapa?" tanya Wira setelah menelan makanan di mulut. "Tante mau ngedongeng lagi, nggak?"

Disa memindahkan potongan tomat di piringnya ke atas piring Wira. "Nggak bisa. Nanti pulang jam enam, kayak biasanya. Oh iya, minggu depan kamu masih di sini, kan? Kasih tau aku kalo kamu mau pergi, biar aku bisa siap-siap."

"Masih, kok," jawab Wira dengan yakin.

Namun setelah senja pergi bersama Disa dan keluarganya, ibu panti mengenalkan Wira pada dua orang yang hendak mengadopsinya. Dua sosok yang selalu diimpikannya; seorang ayah dan ibu.

Suasana hati Wira langsung bercampur aduk saat itu juga.

****

Sepuluh tahun berlalu. Wira ingat betul ketika dia menangis semalaman di hari pertamanya bersama keluarga baru. Membayangkan adik-adik di panti asuhan yang tidak bisa dilihatnya setiap hari dan juga kesempatan untuk bertemu dengan Disa yang semakin mengecil membuatnya tidak bisa menghentikan air mata.

Pagi hari pertamanya di rumah, Wira melihat ke arah langit kemerahan di sebelah timur dari jendela kamar yang terbuka. Gradasi warna yang indah dan cerah itu seolah berkata bahwa kebahagiaan akan datang menghampirinya.

"Wira, sarapan, yuk. Ibu bikin bubur kacang hijau, tuh."

"Hmm, nanti aja, Bu. Wira kenyang."

"Loh, kenyang makan apa? Ayo, ke bawah. Ada yang nunggu kamu, loh."

"Siapa?"

"Disa."

"Disa?"

"Iya."

Wira segera bangkit dan berlari menuju dapur untuk memastikan. Dia hampir salah jalan karena rumah yang cukup luas dan bocah itu masih belum terbiasa. Langkahnya terhenti begitu melihat Disa berada di meja makan, tampak akrab dengan dua kakak perempuannya seolah sudah saling mengenal sejak lama. Pandangan mata mereka bertubrukan. Gadis sepuluh tahun yang menjadi atensi Wira terlihat semangat seraya melambaikan tangan.

"Kok kam--"

"Wira! Kok rambut kamu kayak habis kesetrum?"

Suara Disa memotong ucapan Wira. Bukannya sebal, Wira malah melongo sejenak dan segera merapikan rambutnya dengan jemari tangan, lalu duduk di meja makan tanpa berhenti tersenyum.

"Sebenernya, aku udah tau semuanya dari hari Jum'at," aku Disa memamerkan senyum unjuk giginya. "Jangan nangis lagi, ya. Rumahku di depan rumah ini, kok. Warnanya abu-abu."

Wira hanya mengangguk tanpa membela diri karena ketahuan menangis. Dia senang sekali, langit yang kemerahan berkata jujur perihal kebahagiaan yang akan datang hari ini.

____
Siapa, sih, yang bikin prompt ini?
Aku buntu ㅜ.ㅜ

#30HutanKata | Hutan KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang