day 29

25 5 8
                                    

prompt: gara-gara kucing
____

“Libur apanya? Tugas segunung begini.”

Aku mengomel pada angin. Lantai kostan dipenuhi beragam buku statistika dan juga lembaran kertas folio yang sudah tergores tulisan berisi teori dan rumus yang semuanya harus ditulis tangan dan dihitung manual—tidak juga, sih. Untungnya ada kalkulator dan juga sedikit bantuan dari salah satu aplikasi hitung. T-tapi tetap saja. Hasilnya harus ditulis tangan!

“Sebentar. Istirahat dulu,” ucapku dan berbaring di atas karpet, menghadap langit-langit putih kecokelatan bekas noda bocor. Di luar, gerimis mulai berkembang menjadi hujan deras. Beruntung sekali aku sudah meminta tolong bapak kost untuk membetulkan atap dua hari yang lalu. Jadi, hari ini tidak perlu ada ember-ember untuk menampung tetes air hujan yang selalu mencuri celah untuk jatuh ke dalam kostan.

Lima belas menit beristirahat—atau lebih tepatnya bermain ponsel, kusentuh kembali pulpen yang mendingin dan mulai menggoreskan tinta di atas kertas. Sayang seribu sayang, melodi hujan yang cepat dan suasana sejuk membuat kelopak mataku beberapa kali bergerak turun karena mengantuk.

Aku berusaha menahannya. Mulai dari cuci muka, memukul kedua pipi, mencubit lengan, sampai dengan makan permen kopi. Namun ternyata, angin sepoi-sepoi memenangkan kesadaranku.

***

“YA AMPUN!”

Demi Voldemort yang hidungnya pesek, sepertinya suaraku mampu membangunkan tidur siang ibu kost yang tinggal di samping. Tapi itu wajar! Wajar jika aku terkejut setengah mati ketika mendapati kertas folio-ku kotor dan basah padahal hanya ditinggal tidur selama ... oh jam berapa ini? Pukul dua siang!

“Setengah jam tidur dan kertasku kotor begini? Kok bisa?”

Aku mendongak ke atas, mendapati langit-langit kering tak meneteskan apapun.

“BAGAIMANA BISA!”

Kuangkat tinggi-tinggi lembar kertas yang basah itu dengan dramatis. Empat halaman di sana sudah hampir penuh dengan tulisan, namun sekarang terancam tidak terpakai sia-sia. UAS-ku ... harus selesai nanti malam.

Hiks.

Tapi tunggu, aku kenal bentuk ini!

“Yo! Kiyo!”

Aku memanggil kucingku—kucing jalanan yang kebetulan suka datang kemari—yang biasanya segera datang jika kupanggil. Melihat ke arah lain, jendela yang terbuka dengan bekas jejak kaki kecil kecokelatan di lantai menjadi saksi bisu perbuatan Kiyo. “Mana dia? Jangan ngumpet, ya!”

Meow.”

Nah.

Si kucing abu-putih muncul dari arah dapur dengan polosnya, lalu segera menghampiriku dan menempelkan kepalanya yang basah ke bajuku.

“Nggak usah nempel-nempel. Kamu, kan, yang ngotorin kertas ini? Ngaku! Ini semua bentuk telapak kamu.”

Meow.”

Benar-benar. Aku sudah hampir selesai mengerjakan semua ini dan tadi mimpiku benar-benar indah, tapi sekarang?

“YO, KITA MUSUHHH—”

Meow.”

Niatanku berubah ketika Kiyo berbaring di karpet dan bertingkah imut dengan berguling ke kanan dan ke kiri. Aku mendesah berulang kali. Ya Tuhan ... aku tidak bisa marah.

“—oke. Aku tulis ulang, atau minta keringanan ke pak dosen.”

Meow.”

“O-oke.... Dimaafin untuk kali ini.”

Aku memejamkan mata untuk bersabar. Luar biasa, kucing jelek (kalau dia bandel, maka dia jelek) itu benar-benar tahu cara merujuk majikannya.

#30HutanKata | Hutan KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang