day 24

30 5 2
                                    

prompt: jalja!
_____

Tumpukan piring kotor kini telah bersih dan berpindah tempat dari wastafel ke dalam rak piring. Usai mengeringkan tangan dengan kitchen cloth, aku berpikiran untuk segera masuk ke dalam kamar dan mengerjakan tugas kuliah yang tiada habisnya. Kalau saja mereka bisa dimakan, mungkin aku sudah kekenyangan. Kalau saja mereka makanan, membagikannya kepada orang lain tentu menjadi hal terpuji.

"Disa."

Rumah keluargaku memang tidak pernah menjadi tempat asing bagi Wira. Begitu selesai tarawih di rumahnya, pria itu datang dengan wajah serius. Anak tangga terbawah sepertinya bersyukur karena aku menjeda langkah untuk menginjaknya.

"Hm?" sahutku setelah menoleh ke kiri, dengan kedua alis terangkat.

"Lo ... tau arti jalja, nggak?" tanya pria tersebut, sempat memandang layar ponsel yang menyala di atas telapak tangannya.

Kedua alisku yang terangkat, bergerak turun ketika mendengarnya. Kupasang wajah sedatar mungkin, supaya niat Wira untuk gombal--kalau dugaanku benar--segera luntur. "Kenapa?"

Dodo terlihat asik memperhatikan kami berdua dari atas karpet. Dia sudah siap di depan meja yang memamerkan buku Matematika, buku tulis, dan kotak pensil. Sebenarnya, alasan utama Wira datang ke rumah adalah untuk membantunya mengerjakan tugas harian dari sekolah yang kalau dipikir-pikir, tentunya belum seberapa sulit jika dibandingkan tugasku yang semuanya berbahasa Inggris dan harus melakukan riset.

"Jalja itu bahasa Korea, ya, Teh?" tanya bocah itu sembari mengunyah biji ketapang. "Teteh suka nonton drama Korea. Pasti tau artinya."

Aku menjawab pertanyaan Dodo dengan anggukan, sebelum kembali menatap Wira yang masih terlihat serius dan bingung. Sepertinya, dia tidak sedang ingin menggombal.

"Artinya selamat malam. Kenapa?" jawab ditambah pertanyaan ulang.

Pria itu mengangguk-angguk kecil. Dia berjalan ke arah Dodo dan duduk di sampingnya, kemudian berkata. "Ada ... yang ngucapin jalja ke gue," katanya gugup dengan menghadapkan layar ponsel ke arahku. Percuma, sih. Aku tidak bisa membaca apa-apa dari jarak dua meter ini selain mengetahui kalau layar itu menunjukkan tampilan dari aplikasi ApaKabar.

"Terus?" tanyaku mengerutkan kening. Aneh sekali melihat seorang Wira gugup saat menerima pesan seperti itu.

"Menurut lo," ucapnya dengan jeda. "gue harus bales chat ini nggak?"

Hah?

Aku bingung menjawab pertanyaannya. Pikirku, apa dia harus menanyakan itu pada orang lain? Bukankah ... keputusan menjawab atau tidak ada di tangannya?

Membuka mulut, aku menjawab dengan ragu. "Ya ... bales aja. Emang ken--"

"Nggak."

Ucapanku terpotong. Baik aku dan Wira, kami segera menoleh ke arah Dodo yang berbicara. "Nggak, Teh. Bilang gitu. Buruan," ucapnya ngotot.

"Hah?"

Aku semakin bingung, sementara Wira tampak serius menunggu jawabanku. Di tengah kebingungan yang melanda, sorot mata pria itu memberitahuku segalanya. Lewat tatapannya yang serius..., aku menyadari peranku yang penting.

Deg.

Kalau saja degup jantung seseorang bisa terdengar oleh orang lain, pasti rumah ini sudah berisik oleh degupanku.

Siapapun, tolong aku.

Buru-buru kuturunkan pandangan pada sebuah penghapus yang tergeletak di lantai. Beberapa waktu terbuang untuk memikirkan jawaban yang sebenarnya sudah kuketahui sejak awal. Berhati-hati dengan itu, aku pun akhirnya menjawab,

"Jangan tanya gue. It's your own decision, Wir."

Wira menurunkan pandangannya seraya mengangguk. "Oh, oke. Oke. Thank you, ya, Sa," jawabnya begitu menaikkan pandangan dan tersenyum seadanya. Sementara itu, aku berusaha tidak menampilkan ekspresi mencurigakan dan bergegas naik ke dalam kamar.




Mengenai jawaban dan perasaanku, aku sedang berpura-pura netral.

#30HutanKata | Hutan KecilWhere stories live. Discover now