day 22

24 5 10
                                    

prompt: i want to say, (but) i'm not allow
_____


Gara-gara aku, ibu jadi kelabakan. Kakinya bergerak tergesa dari pintu ke pintu untuk meminjam ponsel, namun tidak menemukan satu pun yang bersedia meminjami alat komunikasi itu. Orang-orang ramah yang selalu menyapa, mendadak cuek dalam semalam. Lebih dari itu, aku bisa mendengar mereka membentak ibu di depan pintu masing-masing. Seandainya kakak ada di rumah, sudah pasti dia akan melindungi ibu mati-matian.

****

"Mengapa mereka memarahi ibu?" tanyaku begitu ibu sampai dan duduk di atas tikar, di sebelahku yang tengah berbaring. Rambutnya agak basah karena keringat dan napasnya pun tergesa-gesa.

Ibu menggeleng cepat. Dari bibirnya yang pucat dan pecah-pecah, dua kalimat meluncur dengan mulus. "Tidak ada yang memarahi ibu. Kamu salah dengar," ucap ibu dengan senyum yang biasa melengkung di wajahnya.

"Bohong," jawabku.

"Bagas tidak bangun dari tempat tidur, kan?"

"Aku menuruti perintah ibu untuk tidak mengintip. Tapi, kan, aku punya telinga, Bu. Aku dengar orang-orang berteriak menyumpahi kakak."

Telapak tangan ibu membelai rambutku dengan lembut. Rengut di wajahku pun berangsur hilang karenanya. "Apapun yang kamu dengar, jangan pernah menganggap kakakmu jahat, ya?" pinta ibu.

"Mengapa kakak dianggap jahat oleh orang-orang? Kakak salah apa? Memang kakak ke mana, sih? Kok belum pulang? Apa kakak dapat banyak penumpang? Apa aku bisa telepon kakak sekarang?"

Gerak tangan ibu di puncak kepalaku terhenti seketika. Ibu menarik tangannya dari sana, kemudian terlihat agak gugup untuk menjawab. "Itu..., lain kali saja, ya, telepon kakaknya? Ponsel orang-orang sedang dipakai saat ini."

"Pakai ponsel ibu, tidak bisa, ya?"

"Ponsel ibu tidak bisa untuk panggilan video, Gas."

"Panggilan video?"

Ibu gugup lagi. Mungkin sedang mencari-cari kalimat yang tepat untuk menjelaskannya padaku. Sebelum menjawab, ibu menuangkan air hangat dari teko ke dalam mangkuk plastik, lalu mencelupkan lap ke dalamnya. "Nanti kalau sudah dapat pinjaman ponsel, kamu akan tahu. Kamu bisa menelepon sekaligus melihat wajah kakakmu," ucap ibu kemudian menempelkan lap basah hangat yang telah diperas ke atas keningku yang masih sedikit hangat. Aku sedang demam saat ini. Hanya demam biasa, kok. Bukan karena virus yang sedang popular saat ini.

****

"Jangan bilang-bilang Bagas, ya, Bu."

Esok paginya, kondisiku lebih baik. Aku menguap begitu terbangun, lalu samar-samar kudengar ibu berbincang dengan seseorang di dapur membicarakan kakak, motor ojeknya, dan seorang anak yang meninggal. Bahkan lawan bicara ibu sempat meminta maaf perihal hutang ayah yang belum bisa dilunaskan. Ketika suara tangis terdengar, aku yang masih lemas karena baru saja sembuh, segera bangun dari atas tikar dan menghampiri ibu yang duduk di sebuah kursi kayu; kursi yang biasa dipakai untuk membetulkan lampu.

"Bu, ada apa?" tanyaku lalu melihat ke arah ponsel bagus di tangan ibu. Ada wajah kakak di sana. Aku juga bisa melihat baju yang dikenakannya; kaus oranye dengan nomor 71 di sebelah kanan, belum pernah kulihat sebelumnya. Wajah kakak pucat seperti orang sakit. Aku kira itu foto, tapi ternyata kakak bergerak dan dia bisa merespon suaraku.

"Bagas...."

Ibu bersikeras mengelap air matanya dan kemudian memangku tubuh kurusku. "Kakak di mana dua hari ini? Jangan buat ibu menangis. Cepat pulang, Kak," pintaku.

Aku melihat kakak menangis dan menunduk, menutupi wajahnya dengan dua telapak tangan yang bergetar. Sebelum mendapatkan jawaban, seorang tetangga yang kupanggil sebagai Bibi Kaya Galak masuk dan merebut ponsel di tangan ibu. Bibir merah menyala dan buntalan rambut mirip punuk unta di kepalanya semakin membuatku kesal.

"Sudah sepuluh menit. Jangan pernah memintaku meminjamkanmu untuk menelepon si pembunuh ini," ucap Bibi Kaya Galak dengan tegas dan segera pergi.

"Kok diambil!" omelku.

Sejak kemarin, kan, aku ingin sekali menelepon kakak! Aku harus tanyakan kakak ada di mana karena ibu tidak mau bilang!

"Bibi Kaya Galak, aku akan mengejarmu!" seruku mantap.

Namun begitu hendak turun dari pangkuan, ibu memelukku dan lagi-lagi, emosiku reda. Tubuhku diam, meski pikiran terus bertanya-tanya.

_____
Di tengah pandemi begini, mau besuk juga susah, ya. :(

Oh iya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Oh iya. Jangan sungkan-sungkan buat kasih antologi ini krisar, ya. ❤️

#30HutanKata | Hutan KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang