day 30

24 5 8
                                    

prompt: Spiderman
___

“Gimana, nih?”

“Kamu punya kok lagi nggak?”

“Nggak.”

“Ya udah. Berarti nggak bisa main lagi.”

“Tapi itu keliatan, Wir, dari sini. Nggak jauh-jauh banget. Kamu nggak bisa manjat pohon terus naik ke atap?”

“Takut ketahuan ibu, Sa. Bulan lalu, kan, aku jatuh, lalu diomelin.”

“Yah.... Ya udah, kalo gitu jangan. Nanti malah jatuh lagi.”

Matahari semakin condong ke barat ketika Wira dan Disa duduk berdampingan di depan pagar rumah Disa. Mereka terus-menerus mendongak, menatap shuttlecock berharga yang kini berada di atap rumah Wira. Letaknya masih di ujung atap sehingga mereka berdua bisa menyaksikan kok tersebut bergerak tertiup semilir angin, namun tidak juga jatuh.

Keringat yang sebelumnya membasahi tubuh berangsur hilang karena sudah tujuh menit permainan bulutangkis mereka terhenti. Dua anak sepuluh tahun itu mendesah pasrah karena tidak bisa berbuat apa-apa. Uang jajan pun sudah habis untuk beli kue ketawa yang menjadi favorit keduanya.

“Kalian ngapain?”

Suara bapak-bapak mengalihkan atensi mereka dari kok di atas atap. Wira dan Disa menoleh ke belakang, mendapati ayah Disa sudah berjongkok di sana.

“Pah!” seru Disa semangat seolah baru saja melihat masa depan yang cerah. “Kok teteh nyangkut di atapnya Wira. Boleh minta tolong ambilin, nggak?”

Sang Ayah pura-pura berpikir. Suara hmm panjang terdengar menegangkan bagi dua anak di hadapannya. “Oke.”

“YESSSS! Tos, Wir!” Disa mengangkat telapak tangannya yang kemudian disambut oleh telapak tangan Wira. Keduanya tersenyum lebar sampai gigi-gigi mereka yang terlihat mungkin akan kering karena tiupan angin.

“Tunggu, ya,” ucap ayah Disa yang ikut tersenyum, kemudian bangkit untuk melangkah mendekati pohon jambu di depan rumah Wira.

Wira mengambil raket yang sudah cukup lama terbaring di sampingnya. Tidak sabar untuk mulai bermain lagi dan mengalahkan Disa. “Hati-hati, Om!” serunya dari bawah ketika ayah Disa mulai memanjat pohon. Pandangannya tidak terlepas dari sosok pria dewasa yang menjadi sahabat ayahnya tersebut.

“Papah kamu kayak Spiderman, Sa.”

“Bukannya mirip kera?”

“Hah? Masa kera? Spiderman, dong, yang lebih keren!”

“Eh, iya, iya. Maaf. Habis waktu itu papah sendiri yang bilang kalau dulu di sekolah panggilannya kera ganteng.

Tidak lama kemudian, satu kok yang mereka nanti-nantikan pun jatuh, menimbulkan bunyi tuk pelan ketika menyentuh conblock. Wira mengambilnya, sementara Disa menunggu ayahnya di bawah.

Thank you, Pah,” ucapnya senang, kemudian diikuti ucapan terima kasih dari Wira.

“Sama-sama. Kalau nanti nyangkut lagi, itu tandanya kalian harus pulang buat mandi dan makan sore. Oke?” ujar ayah Disa. Sosok Spiderman ala Disa dan Wira itu pun kembali masuk ke dalam rumah setelah mengacak-acak rambut keduanya.

Sementara itu, Wira langsung menyikut lengan Disa dan berbisik, “Ssstt! Tapi kalo nyangkut lagi, om bakal ambilin, kan?”

Disa yang mendengarnya segera tersenyum. “Itu, sih, gampang. Selama papah nggak ke luar kota, pasti mau, kok, nolongin kita. Yuk! Pasang posisi, Simon Santoso!”

Gumpalan awan yang terus bergerak memunculkan matahari yang sempat bersembunyi sebentar di baliknya. Satu masalah terselesaikan. Senyuman Wira pun bertambah lebar begitu Disa memanggilnya dengan nama atlet tunggal putra favoritnya kala itu.

#30HutanKata | Hutan KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang