day 17

24 5 5
                                    

𝘱𝘳𝘰𝘮𝘱𝘵: 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘴𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘬𝘦𝘳𝘦𝘵𝘢.
______

Saat kalian membaca ini, aku sudah turun dari kereta dan sedang mengangkat cangkir berisi jus jeruk setinggi bibir di rumah nenek, kemudian menyesapnya saat kepulan asap dingin jus tersebut masih tergambar jelas di udara. Meja kayu setinggi enam puluh sentimeter menjadi pijakan bagi kedua siku tanganku yang terbalut kaus cokelat muda. Selembar kertas foto di atas meja ini telah selesai kupandangi selama belasan menit.

Aku menatap tepat ke arah jam dua belas. Bayang hamparan bukit tersaji tepat di hadapan mata. Kunikmati suasana semi yang tercipta meski pikiranku berkelana pada hari kemarin, ketika aku menemukan orang asing di dalam kereta,

dan orang asing tersebut adalah aku.

dan orang asing tersebut adalah aku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tokyo, satu hari sebelumnya.

Bukan masalah berat bagiku untuk membawa satu tas ransel penuh di pagi hari seperti ini. Alih-alih melelahkan, berjalan dari pintu masuk sampai ke peron yang kutuju justru terasa sangat menyenangkan, dengan antusias tinggi dan bayang-bayang pedesaan yang selalu kurindukan.

Shinkansen* yang kutunggu pun datang tidak lama kemudian; berwarna putih dengan hidung mirip seperti bekantan--hewan endemik Indonesia--yang pernah kulihat di buku biologi saat SMP. Pengumuman pun mulai menggema dari pengeras suara. Begitu pintu kereta dan pagar pembatas terbuka, dua kaki yang membawa tubuhku segera melangkah masuk untuk membantuku mencari nomor tempat duduk. Itu juga yang dilakukan penumpang lainnya.

Gerbong tidak terisi penuh, hanya setengahnya saja yang terisi. Pandanganku beberapa kali bertubrukan dengan manik milik orang asing di gerbong yang sama. Ada yang segera melempar ke arah lain karena tidak acuh, namun ada juga yang mengubahnya menjadi senyum seraya membungkuk meski kami tidak saling kenal.

Kami adalah orang asing yang ditakdirkan bertemu hari ini.

Pada akhirnya, kutemukan kursiku; nomor delapan dari pintu masuk tadi. Dua kursi di sebelahku dan tiga kursi di hadapanku telah diisi oleh para remaja--tiga perempuan dan dua laki-laki--yang tengah mengobrol seru sambil meledek salah satu dari mereka yang berada di dekat jendela. Aku sudah duduk di samping mereka pun, tidak ada yang menyadari.

"Tomo, pipimu merah! Ayolah, akui saja kalau kau menyukai adikku!"

"Eyyy, mana ada. Sudah, sudah. Aku mau tidur. Bangunkan kalau sudah sampai, ya!"

"Tidur? Maksudmu lari, kan?"

Tomo, lelaki yang duduk di arah jam sebelas, dekat jendela, tidak menyahuti ledekan teman-temannya. Dia justru membuat suara ngorok buatan yang malah terdengar seperti suara nguap karena terlalu halus.

"Ya ampun, teman-teman. Jangan mulai, deh," sahut remaja perempuan di sebelahku. Tangan kanannya yang merapikan rambut ke belakang telinga menyenggol lenganku. Saat itulah, aku mulai terlihat.

"Oh, g-gomennasai*," ucapnya gugup seraya membungkuk. "Maafkan aku."

Aku buru-buru berkata diiringi senyum yang membuat mataku semakin menyipit, "A..., tidak apa-apa, kok. Santai saja."

"Tuh, makanya jangan ribut. Mengganggu penumpang lain, tahu!" seru lelaki bernama Tomo dengan ekspresi apa-kubilang-nya.

Aku tertawa kecil. Selanjutnya, kami memperkenalkan diri dengan ramah. Di samping kiriku ada Yumi dan Haru, kakak-beradik yang terpaut dua tahun, dengan Haru sebagai kakak. Tiga orang di depanku diurutkan dari jendela adalah Tomo yang terlihat paling tenang, Sakura yang memiliki senyum manis, dan Sonya yang berambut pendek sebahu serta memiliki sedikit wajah campuran. Mereka berlima hendak pergi berlibur ke Osaka, sama sepertiku.

Kereta berangkat pukul 10:15 pagi.
Setelah melakukan percakapan kecil, kami akhirnya larut dalam kegiatan masing-masing: Yumi, Haru, dan Sakura sudah terlelap. Sonya sibuk memainkan ponsel, sementara Tomo hanya memandang keluar jendela yang dihiasi aliran hujan ringan.

Aku? Aku tertidur sepuluh menit kemudian setelah mengecek pesan di ponsel, hingga akhirnya terbangun satu jam kemudian. Saat itu, kelima remaja tengah bertukar cerita dan akhirnya, aku pun ikut bergabung.

"Umur kalian berapa?" tanyaku ketika mereka membicarakan tentang sekolah.

"Selain kak Haru, kami semua tujuh belas tahun, Kak," sahut Sonya. Selain Haru, rupanya kami terpaut tujuh tahun.

"Ah, begitu. Haru kaptennya, ya," ucapku.

Haru mengangguk-angguk mantap sambil terpejam. Ekspresinya sungguh dramatis. "Benar. Aku kapten yang harus mengurus empat bocah nakal yang kerjaannya hanya ribut setiap hari."

Bicara begitu, Haru segera diserang bantal kereta oleh sang adik dan juga teman-temannya, sementara aku spontan melepas tawa dengan ringan. Perbincangan kami sungguh hangat dan ramah. Tiga per empat perjalanan pun terasa sangat cepat.

"Kak, boleh minta tolong?" tanya Yumi dengan memasang senyum unjuk gigi.

Aku menaikkan kedua alis dan membulatkan bola mata. "Apa itu? Jangan yang aneh-aneh, ya," ucapku dengan sedikit gurauan.

"Tentu saja tidak. Kami mungkin terlihat nakal, tapi kami anak baik-baik, kok. Kami tidak suka merepotkan orang lain dengan sesuatu yang berat. He he," jawab Sakura dengan senyum seindah namanya.

"Baiklah. Mau minta tolong apa?"

****

Sebuah polaroid di tangan Tomo berpindah ke tanganku. Lima anak yang paling rusuh di gerbong ini tersebut sudah berpose di depanku, dengan Haru dan Yumi berjongkok di depan yang lain.


Mereka tampak bahagia dan yang paling penting adalah, kebahagiaan itu tersimpan dalam lembaran kertas foto yang mulai berubah menjadi potret kelimanya. Aku tersenyum menatap hasil jepretanku. Antara senang dan iri, keduanya ada di posisi yang sama. Itu karena aku tidak punya banyak foto bersama temanku. Jadi, terkadang aku merasa jauh dan asing.

Dan di sini, saat ini, walaupun aku dan lima remaja ini sudah berkenalan serta membicarakan beberapa hal bersama, namun posisiku tetaplah terasa sama; orang asing. Mungkin karena aku merasa, kami mengenal untuk berpisah dalam jarak waktu yang dekat.

Namun tiba-tiba, Haru mengajak orang asing ini untuk berfoto bersama.

"Tidak apa-apa jika aku ikut berfoto?" tanyaku memastikan.

"Tentu saja tidak apa-apa!" jawab mereka hampir bersamaan, membuat senyumku tercetak dengan jelas.

Perasaan hangat di musim semi menjalar sampai ke lubuk hati. Sisa hujan di luar sana berubah menjadi teman yang ramah. Tepat dua puluh menit sebelum kereta sampai, aku mencetak selembar kebahagiaanku hari ini. Selembar yang entah mengapa membuatku merasa dekat meski asing.

 Selembar yang entah mengapa membuatku merasa dekat meski asing

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


*Shinkansen: kereta cepat di Jepang.
*Gomennasai: maafkan aku.
______
Hai. Apa kabar?

#30HutanKata | Hutan KecilWhere stories live. Discover now