day 7

58 7 6
                                    

𝘱𝘳𝘰𝘮𝘱𝘵: 𝘭𝘰𝘷𝘦 𝘮𝘦𝘢𝘯𝘴 𝘯𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘩𝘢𝘷𝘪𝘯𝘨 𝘵𝘰 𝘴𝘢𝘺 𝘺𝘰𝘶'𝘳𝘦 𝘴𝘰𝘳𝘳𝘺.

_____

Esa kehilangan fokus hampir setengah hari ini. Biasanya, dia akan berkendara dengan sangat baik, apalagi saat membonceng seseorang. Polisi tidur yang seringkali muncul dalam perjalanan pun dilewati dengan sangat halus. Kemampuannya itu mendadak hilang ketika hari ini kami berdua pulang bersama, seperti biasanya. Dia bahkan hampir menerobos lampu merah.

"Sa, lo nggak apa-apa? Nyetirnya yang bener, dong," ucapku dari jok belakang. Aku tidak marah. Sama sekali tidak. Aku hanya khawatir.

"Hah? N-nggak apa-apa. Maaf, ya. Bentar lagi nyampe, kok."

Mana mungkin tidak apa-apa.

Lampu berubah hijau dan motor kami kembali melaju. Dengan penuh konsentrasi, aku berjaga-jaga seandainya Esa mulai tidak fokus lagi. "Kalo ada apa-apa bilang, ya, Sa," ucapku dan berpegangan pada kedua sisi jaketnya.

Esa mengangguk dalam balutan helm. Kubayangkan, sebuah senyum manis melengkung di bibirnya seperti yang sering kulihat sehari-hari. Namun, aku tidak bisa memastikan itu yang terjadi saat ini.

"Nanti gue ceritain di rumah," jawabnya.

Kondisi di rumah tidak juga membaik. Alih-alih cerita, Esa malah menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Matahari yang sempat berharap bisa mendengar ceritanya pun memilih pergi dan memanggil bulan untuk berjaga.

Aku bad mood. Komedian selucu apapun di televisi menjadi garing di pendengaran dan penglihatanku. Beberapa kali kulirik pintu yang belum juga terbuka. Dalam lirikan ke sembilan belas, akhirnya Esa muncul di daun pintu.

"Makan buah dulu, sini, Sa. Jangan jadi pendiem gini, dong. Kita, kan, biasanya ribut."

Esa menghampiri dengan wajah sembab yang bisa membuat seantero Surabaya menjadi mendung. Dia langsung menjatuhkan kepalanya ke bahuku begitu duduk melipat kaki di sampingku.

"Gue kangen ibu," ucapnya hampir tidak terdengar oleh rungu.

Aku mendadak bisu. Tujuh belas tahun tinggal bersama, baru kali ini ucapan Esa mampu membuat mataku panas dan berkaca-kaca.

"Maaf, ya. Hari ini, gue hampir buat lo celaka. Maafin gue," akunya. Dia lalu menggenggam tangan kananku. "Biarin gue nenangin diri gue dulu."

Aku membiarkannya menggenggam tanganku dengan erat. "Kalo mau nangis di depan gue, nangis aja, Mas. Jangan ditahan. Biar lega," ucapku dengan tidak sadar diri karena nyatanya, aku sedang mati-matian menahan air mata. "Lo nggak usah minta maaf. Gue nggak marah sama lo."

Esa mendongak untuk menatapku, lalu tersenyum dengan mata sembab yang kering. Mungkin, dia sudah kelelahan menangis di dalam kamarnya. "Thanks," jawabnya. "Lo juga boleh nangis. Jangan ditahan, Dek."

Seolah menunggu diijinkan, saat itu aku langsung menangis, menyetujui kerinduan yang dirasakan oleh Esa--kakak lelaki yang hanya berjarak sepuluh menit dariku--terhadap sosok yang tidak pernah bisa kembali lagi sejak lima tahun yang lalu.

#30HutanKata | Hutan KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang