Chapter 6

4.4K 482 72
                                    

Happy Reading ❤

-💃-

"Lagi di jalan mungkin. Ren, lo ngerasa ada yang aneh nggak di diri lo?"

Seren menyipitkan kedua matanya. Ia menatap Delvin cukup lama, namun tidak ada tawa di sana. Apa pertanyaan Delvin serius? Mengapa tiba-tiba?

Dengan lo ngomong gitu justru bikin gue down, Vin. Gue tambah takut.

Suara pintu yang terbuka membuat keduanya menoleh. Nia tersenyum tipis lalu kembali mempercepat langkahnya. Tangan kanannya membawa plastik berwarna putih dengan ukuran sedang dan tangan kirinya membawa tas berwarna hitam.

Seren balas tersenyum, muncul ide-ide jahil di dalam pikirannya. Nia memang ada-ada saja, di saat anaknya masuk rumah sakit mengapa dia sempat membeli buah-buahan? Sebenarnya Nia ini Mama Seren atau orang lain yang datang sekadar menjenguk Seren hingga repot membawa buah-buahan.

Nia berdiri di samping kiri Seren. Tangannya bergerak memeriksa kening Seren. Raut wajahnya langsung berubah panik saat suhu hangat dari kening Seren terasa di tangan kanan Nia. Seren terkekeh melihat aksi Mamanya yang selalu penuh drama.

"Kamu istirahat aja, Ren. Rebahan aja, biasanya juga di rumah rebahan mulu. Kenapa di rumah sakit malah sungkan segala? Udah tenang aja, biaya rumah sakit Mama yang bayar."

Nia mendorong pelan kedua bahu Seren agar gadis itu mengubah posisinya menjadi berbaring. Gadis yang masih menggunakan baju putih abu-abu itu menurut tanpa mengeluarkan satu patah kata pun. Nia tersenyum puas melihat Seren mengikuti arahannya.

Kini kedua tangan Delvin ikut bergerak. Delvin menarik selimut hingga ke leher Seren. Gadis itu menatap dua orang yang ada di sampingnya sambil cemberut. Sekarang ia paham, mereka meminta Seren untuk tidur. Baiklah, mengapa tidak tidur di rumah saja? Ini sama saja menghabiskan uang.

"Nggak usah protes. Tidur aja di sini," ujar Nia dengan penekanan di setiap katanya.

Seren mengembuskan napasnya kasar, sudah tidak ada pilihan lain. Bukankah ini sama saja dengan tidur di rumah? Seren berusaha berhalusinasi agar cepat masuk ke alam mimpinya. Ia menutup kedua matanya, tidak berniat membalas perkataan Mamanya.

Nia menarik tangan Delvin keluar dari ruangan Seren agar gadis itu tidak mendengar perbincangan keduanya. Nia tidak ingin Seren mendengar sesuatu yang seharusnya tidak dia dengar. Delvin mengikuti Nia dari belakang. Delvin paham sekali dengan perbuatan Nia.

"Jadi, tadi dokter bilang apa, Vin?" tanya Nia yang sudah duduk di tempat yang sudah disediakan pada setiap koridor. Delvin juga melakukan hal yang sama, Delvin duduk di samping kanan Nia dengan posisi yang saling berhadapan.

"Seren harus dirawat inap. Kalau sekarang Seren cuma kecapekan, Tan. Nah, Delvin juga bingung katanya kulit Seren itu berubah warna jadi kuning, Tan. Menurut Tante gimana? Dokter juga belum tau pasti, intinya Seren harus diperiksa lagi, Tan."

Nia terdiam sejenak, Nia tidak terlalu memperhatikan warna kulit Seren. Kulit Seren biasanya berwarna putih, tapi dokter bilang berwarna kuning. Nia tidak bisa berbuat apa-apa, lagipula dokter lebih tahu segalanya daripada Nia.

Delvin menatap Nia cukup lama, Delvin juga tidak kalah bingungnya. Biarkan saja dokter yang menjawab pertanyaan mereka daripada menduga-duga seperti saat ini.

Keduanya memilih diam sampai seorang Dokter menghampirinya. Dokter yang sebelumnya memeriksa keadaan Seren. Delvin dan Nia berdiri berniat meminta penjelasan lebih lanjut tentang Seren.

"Jadi, apa yang harus dilakukan, Dok? Lakukan apa pun, yang terpenting anak saya pulang dengan kondisi baik-baik saja."

Nia meraih kedua tangan orang yang memakai setelan jas berwarna putih itu. Hanya Dokter itu yang dapat membantu Seren. Perasaan Nia sudah tidak enak sejak Delvin mengatakan Seren harus dirawat inap. Dokter itu tersenyum dan mengangguk. Tanpa diminta pun, dia akan tetap melakukan tugasnya sebaik mungkin. Bukan karena mengharapkan nominal, tapi nyawa orang lebih penting di atas segalanya. Rasanya lega sekali dapat membantu sesama, tapi jika tidak dapat menolong kesedihan pun turut hadir menyelimuti ruang pikirannya.

"Jadi gimana, Dok? Kapan Seren diperiksa? Secepatnya aja, Dok," pinta Delvin. Delvin menatap Dokter muda itu penuh harap karena harapan terbesarnya memang berada di tangan Dokter itu.

"Pasien sedang apa?"

"Tidur," jawab Delvin dan Nia serentak.

Dokter muda itu tersenyum tipis kemudian mengulurkan tangan kanannya. Nia balas mengulurkannya dengan senyuman.

"Hallo, Tante. Nama saya Galen. Umur saya masih 23 tahun, jadi anggap anak sendiri aja biar gak kaku."

Dokter itu terkekeh, sama halnya dengan Nia. Bukan hanya terkekeh, Nia juga ingin memukul keningnya pelan karena gemas melihat tingkah Dokter yang bernama Galen itu. Apa tadi katanya? Kaku? Bukannya dia yang kaku karena berjumpa dengan calon mertua. Nia memiliki sifat yang friendly, siapa saja yang mengenalkan dirinya kepada Nia, sudah Nia anggap seperti calon menantu jika orang itu masih muda. Itu tidak hanya berlaku bagi Seren, namun abang Seren juga begitu.

Galen juga mengulurkan tangannya kepada Delvin. Jika diminta jujur, Galen ingin sekali terbahak melihat perubahan raut wajah Delvin. Terkadang cemas, bahagia, sedih, kesal, atau kadang ingin mengeluarkan segala umpatan. Galen cukup senang melihat perbuatan Delvin yang terlihat sangat ikhlas dalam melakukan apa pun. Galen sempat melihatnya menggendong gadis yang Galen ingat bernama Seren itu dari parkiran hingga Seren mendapatkan ruangan. Galen tahu jika Delvin melakukannya tulus karena sebelumnya tidak ada Mama Seren di sampingnya.

"Seren akan diperiksa lebih lanjut besok. Untuk sekarang biarkan saja istirahat terlebih dahulu, tidak perlu buru-buru. Saya permisi dulu." Galen tersenyum tipis lalu melangkahkan kakinya meninggalkan Delvin dan Nia. Pikiran keduanya sempat memikirkan yang aneh-aneh, namun mereka mencoba menepisnya karena semuanya belum ada titik temu.

-💃-

Pagi ini Delvin dan Nia sudah harus melihat raut wajah Seren yang kesal. Gadis itu menolak untuk diperiksa dengan alasan ia tidak mengalami apa-apa dan kondisinya baik-baik saja. Memangnya Seren ini siapa? Perasaan Seren bukan dokter. Nia tahu Seren tidak mungkin ingin berlama-lama di sini, sama halnya dengan Delvin dan Nia yang juga menginginkan hal itu.

Pemeriksaan sudah dilakukan beberapa jam yang lalu, saat ini Delvin dan Nia sedang berada di ruangan Galen. Keduanya menatap takut amplop berwarna putih yang berisi hasil pemeriksaan. Mereka hanya dapat berdoa agar semua hal buruk itu tidak benar-benar terjadi. Bukan hanya amplop itu yang membuat keduanya cemas, namun raut wajah Galen juga semakin membuatnya cemas. Jika tidak terjadi apa-apa, mengapa mereka harus dibawa ke ruangannya?

"Seren terkena kanker liver stadium B. Masih tergolong stadium awal dan hatinya masih dapat berfungsi dengan baik, tapi lama-kelamaan juga akan menunjukkan perubahan yang lebih spesifik."

-💃-

Akhirnya update lagi hehe. Semoga gak bosen sama cerita ini, ya. Jangan tanya kenapa aku suka bikin latar tempat di rumah sakit, itu semua juga bukan aku yang mau:"

Vote & komen ditunggu ❤
Saran & kritik lebih ditunggu ❤

Serendipity [Completed]Onde histórias criam vida. Descubra agora