Chapter 14

2.4K 290 132
                                    

Happy Reading ❤

-💃-

Ado menatap bubur ayam yang berada di dalam plastik yang baru saja Seren letakkan di atas nakas. Ado pamit kepada Seren sebentar. Bukan bermaksud tidak menjawab pertanyaan Seren apalagi meninggalkannya, tapi Ado ingin meminta izin kepada Nia. Ado tahu, tidak semua makanan boleh dikonsumsi Seren.

Ado menatap wanita yang sedang duduk di kursi tunggu. Tanpa banyak bertanya, Ado sudah yakin itu adalah Mama Seren. Dengan sopan Ado tersenyum tipis seraya mencium punggung tangan Nia.

"Tan, saya Ado temannya Seren. Tadi teman satu sekolah Seren bawain bubur ayam. Seren boleh makan itu nggak, Tan? Seren kayaknya pengen banget makan bubur itu, bosan juga Tan makan makanan yang sama tiap hari."

Nia tersenyum tipis. Laki-laki yang sepertinya seumuran dengan Seren ini sangat pengertian. Dari caranya datang, memperkenalkan diri, dan menjelaskan tujuannya sangat sopan sekali.

"Boleh, kok. Jagain anak Tante, ya. Tante percaya sama kamu." Nia menepuk pelan punggung Ado yang berada di sampingnya.

"Selagi saya masih punya waktu, pasti saya jagain, Tan. Saya pamit ke dalam dulu, Tan."

Ado menunjuk ruangan Seren seraya menganggukkan kepala tanda permisi. Seren memperhatikan Ado yang masih berada di ambang pintu. Ado yang merasa diperhatikan memilih tersenyum tipis seraya melangkahkan kakinya mendekat ke bankar. Ado mengambil plastik berwarna putih yang berisi bubur ayam itu lalu duduk kembali di tempat yang telah disediakan.

"Kamu makan dulu, ya? Aku udah izin sama mama kamu."

Ado menuangkan kuah bubur ayam itu. Melihatnya saja sebenarnya sudah membuat Ado ingih muntah. Menurut Ado, memakan bubur ayam sama saja memakan muntah.

"Lho, kok izin segala?" tanya Seren singkat. Seren mengubah posisinya menjadi duduk. Ia mengambil bantalnya lalu meletakkannya di belakang tubuhnya sebagai sandaran.

"Karena kamu itu nggak bisa makan sembarangan, Seren. Jaga kesehatan kamu karena kita nggak pernah tau rencana Tuhan." Ado memasukkan satu sendok bubur ayam ke dalam mulut Seren. Seren menerimanya dengan senang hati karena mulutnya kini memakan makanan dari luar rumah sakit.

"Maksudnya?" Seren benar-benar tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Ado. Mengapa tiba-tiba membahas perihal itu?

Ado kembali memasukkan suapan berikutnya. Sepertinya dia sengaja membuat Seren menanti jawabannya seraya menghabiskan bubur ayam, tapi itu tidak masalah. Seren bahagia sekali saat ini, ingin sekali merekamnya agar momen ini dapat ia tonton kapan saja dan di mana saja.

"Hari ini mungkin aku masih bisa nemanin kamu, suapin kamu, dan bicara sama kamu. Tapi, nggak ada jaminan kalau besok aku masih bisa kayak gini, Ren. Nggak ada jaminan kalau besok aku masih hidup."

Seren mengambil gelas yang berisi air putih, meneguknya hingga tersisa setengah lalu kembali membaringkan tubuhnya. Tidak ingin melanjutkan makan karena sudah tidak berselera. Seren kesal jika Ado selalu berkata demikian. Apa susahnya bermimpi memiliki umur yang panjang? Mengapa selalu membahas maut?

"Jangan marah. Ayo, lanjut makannya." Ado mengusap kepala Seren. Menutup matanya sebentar karena kepalanya sudah mulai terasa pusing. Tidak mungkin meninggalkan Seren yang masih memakan dua sendok bubur ayam.

Ayolah, Ren.  Jangan selalu ngambek, itu buat aku kesusahan ngurusin kamu.

"Kamu tadi nanya tentang penyakit aku, 'kan? Aku bakalan jawab kalau kamu mau ngabisin bubur ayam ini."

Seren masih tetap diam, tidak menatap Ado. Memikirkan apa tindakan selanjutnya. Rasa penasaran dengan penyakit yang diderita Ado jauh lebih besar daripada rasa kesalnya. Ia kembali duduk lalu membuka mulutnya agar Ado kembali bercerita. Seperti yang sebelumnya, Ado memasukkan suapan terlebih dahulu baru mulai mengeluarkan suara.

"Aku kena tumor otak, Ren. Kalau kamu nggak mau dekatan sama aku karena penyakit ini juga nggak masalah, tapi kamu habisin makanan ini dulu, ya. Setelah itu aku pergi."

Seren melotot tidak percaya mendengar ucapan Ado, namun yang ditatap malah terkekeh seraya mengangkat bubur ayam yang masih banyak. Tentu saja Seren tidak akan meninggalkannya. Seren yakin Ado akan sembuh dan bisa menjalani aktivitas seperti biasanya.

"Kita nggak pernah tahu rencana Tuhan, yang pasti rencana Tuhan jauh lebih indah. Kamu pasti bisa sembuh, Do. Kita sama-sama berjuang lawan penyakit sialan ini."

Ado menggelengkan kepalanya mendengar umpatan Seren. Seren memukul mulutnya pelan. Harusnya ia tidak mengatakan itu di depan Ado karena Ado tidak menyukainya.

Gue kalau dekat Ado jadi kalem banget. Ngomong aja pakai aku kamu. Nggak pernah ngumpat pula. Apakah laki-laki ganteng ini benar masa depan gue? Haha.

"Aku juga maunya kita jodoh, Ren."

Seren menepuk pelan keningnya. Bagaimana ia bisa lupa jika Ado sering sekali menebak isi hati dan pikirannya. Ado terkekeh lalu kembali dengan tujuan utamanya, memastikan Seren menghabiskan satu porsi bubur ayam.

Mereka sama-sama diam sampai suapan terakhir. Ado juga tidak ingin Seren menghabiskan makanannya sambil berbicara karena itu tidak bagus. Ado membuang bungkus bubur ayam itu di tempat sampah yang tidak berada jauh dari tempat dia duduk. Seren meminum air putih lalu membaringkan tubuhnya karena napasnya sudah mulai sesak.

"Ren, aku pamit. Sampai ketemu besok, ya."

Ado menatap mata Seren yang menunjukkan tanda tidak ikhlas. Rasanya Ado jadi tidak tega meninggalkan Seren, tapi rasa pusing di kepalanya sudah semakin hebat. Tidak dapat tertahankan karena hari ini dia sudah banyak sekali melakukan aktivitas ditambah tidak menggunakan kursi roda.

"Kita masih satu atap, kok, Ren. Tapi, kalau malam aku nggak bisa nemanin kamu karena harus istirahat. Kamu juga harus istirahat, Ren. Dengar kata mama dan teman-teman kamu, mereka semua khawatir."

"Iya, Do. Kamu juga jaga kesehatan."

Ado mengangguk lalu melangkahkan kakinya. Baru satu langkah, sebuah tangan mungil menahan tangannya. Ado menatapnya sekilas.

"Temenin sebentar lagi, Do."

Ado kembali duduk, menatap seisi ruangan yang masih berantakan. Ado mengedarkan pandangannya lalu menatap nakas. Dalam hitungan detik, Ado berjalan mengambil obat yang belum diminum Seren. Untung saja Seren memintanya untuk di sini sebentar, setidaknya Ado bisa memaksa Seren untuk minum obat agar perkembangan kanker yang di tubuh Seren tidak berkembang pesat.

"Minum obat dulu, Ren."

Seren menuruti perintah Ado. Jika menolak pun hasilnya akan sama, ia tidak dapat membantah ucapan Ado.

"Nah, bagus udah minum obat. Biar cepat sembuh, Ren. Biar bisa sekolah lagi."

"Kamu juga, Do. Udah minum obat belum?"

Ado mengangguk. Ado kembali duduk di tempat sebelumnya. Ado akan menunggu Seren sampai gadis itu tertidur.

"Kamu dirawat di ruangan nomor berapa, Do?" tanya Seren antusias. Ia juga ingin mengunjungi Ado, timbal balik.

Ia menatap Ado yang masih diam. Apakah pertanyaannya ada yang salah? Laki-laki itu memegang tenggorokannya. Seren sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud Ado. Dengan cepat, Ado mengambil buku dan pulpen di dalam laci. Tangannya mulai menulis di lembaran pertama.

Kadang aku susah bicara, Ren. Suka hilang suaranya mungkin karena efek tumor yang udah makin parah.

Setelah menuliskannya, Ado memberikan buku itu kepada Seren. Ia menerimanya dengan cepat karena penasaran.

"Tumor otak stadium berapa, Do? Jangan buat aku khawatir."

-💃-

Gimana? Baik banget aku karena mau ngasih tau penyakit Ado hihi.

Vote & komen ditunggu ❤
Saran & kritik lebih ditunggu ❤

Serendipity [Completed]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt