Chapter 16

2.3K 291 72
                                    

Happy Reading ❤

-💃-

Kisah ini harus segera kuakhiri karena aku takut jatuh semakin dalam, sedangkan dirimu tidak sudi menolongku.

***

Menangis adalah cara Seren meluapkan kemarahan. Bukan ingin terlihat lemah atau pasrah dengan keadaan, tapi dengan cara itu membuatnya sedikit lebih tenang. Langkah Seren kian menjauh dari ruangan yang sedari tadi ia cari dengan susah payah. Berada di sana bukanlah pilihan tepat. Seren tentu tidak mau berlama-lama di sana saat mama Ado secara terang-terangan memintanya untuk pergi.

Tatapan asing orang-orang membuat ia semakin kesal. Ia terus berjalan hingga langkahnya terhenti di taman rumah sakit. Duduk sendirian di atas rumput. Seren melihat seorang wanita yang berjalan mendekat, memintanya untuk duduk di bangku taman saja karena sudah terjamin kebersihannya. Seren hanya menggeleng sebagai jawaban, ia akan lebih baik berada di bawah sini.

Seren melihat laki-laki itu semakin mendekat, melangkahkan kakinya dengan susah payah. Ingin sekali Seren membantunya, tapi untuk kali ini tidak akan ia bantu. Apa pun yang dikatakan mama Ado ada benarnya juga. Seren juga tidak mungkin mencintai Ado sedangkan mamanya jelas-jelas tidak suka dengan kehadirannya.

Seren beranjak ketika jarak antara Ado dan dirinya sudah semakin dekat. Ia kembali melangkahkan kaki tidak tahu ke mana karena di rumah sakit hanya ini yang membuatnya tenang. Laki-laki itu mencoba mengumpulkan seluruh tenaganya agar kakinya lebih mudah melangkah. Apa yang dilakukan Ado tidak sia-sia, pergelangan tangan Seren sudah digenggamnya kuat.

"Lepasin."

Ado tidak melepasnya, dia malah membawa Seren agar duduk di bangku taman. Seren mengikutinya, berharap ini adalah pertemuan dan perbincangan terakhir mereka karena setelah ini ia akan benar-benar pergi. Mungkin salah satu caranya adalah dengan pindah rumah sakit. Berada di sini justru mengingatkannya saat pertama kali bertemu dengan Ado, menghabiskan waktu bersama, dan hal sederhana lainnya.

"Sesuatu yang udah aku genggam, pasti bakalan susah dilepas, Ren. Sama halnya kayak kamu, kalau kamu mau ngejauh juga bukan masalah. Aku bakalan tetap usaha biar aku kembali dapat kepercayaan kamu karena pada dasarnya, aku yang harus perjuangin kamu."

Seren mengembuskan napas kasar mendengar ucapan Ado. Ia menarik tangan kanannya yang sebelumnya berada dalam genggaman Ado. Harusnya Seren senang mendengarkan ucapan manis Ado, tapi sekarang itu terdengar biasa saja. Ini pertama kalinya Seren menyukai seseorang, ternyata sesuatu tidak akan terus-terusan berjalan sesuai harapan. Bertemu Ado mengajarkan Seren banyak hal, terutama tentang mengikhlaskan banyak hal.

Seren beranjak, meninggalkan Ado tanpa mengatakan apa pun. Seren rasa semuanya sudah cukup jelas. Di sana sudah pasti Ado dengar apa yang dikatakan mamanya. Ado mengikutinya dari belakang tanpa memanggil nama Seren atau memintanya berhenti.

Nggak apa-apa kalau kamu marah, tapi aku bakalan tetap jagain kamu dari sini.

Seren menarik kenop pintu berwarna putih itu, menutupnya dengan kasar sebagai pelampiasan kemarahannya. Ruangannya tertata rapi, sepertinya baru saja dibersihkan. Tidak ada orang di sana, Seren membaringkan tubuhnya di bankar. Menatap langit-langit ruangan yang didominasi berwarna putih itu. Ia sudah berusaha memejamkan matanya agar segera terlelap, namun hasilnya nihil.

Seren mengedarkan pandangannya ke arah pintu saat mendengar suara pintu yang terbuka. Laki-laki yang Seren temui di taman tadi kembali masuk ke dalam ruangannya dengan senyuman tipis. Jika dulu ia sangat menyukai senyuman dan tatapan teduhnya, lain halnya dengan sekarang yang bertolak belakang. Seperti biasanya, Ado duduk di bangku yang telah disediakan. Kedua tangannya dia gunakan untuk menopang dagunya, pandangannya menatap wajah Seren.

"Gue mau lo pergi dari sini dan nggak usah nemuin gue lagi. Anggap aja kita nggak pernah kenal, yang terjadi beberapa hari ini juga anggap aja gue khilaf. Kalau gue ada salah sama lo, gue minta maaf," ujar Seren tanpa basa-basi.

Ado geleng-geleng kepala mendengar ucapan Seren yang tidak pernah diduga sebelumnya. Apakah Seren begitu marah kepadanya hingga memintanya untuk pergi? Menganggapnya tidak pernah saling kenal? Tentu saja Ado tidak bisa melakukannya karena dia juga memiliki perasaan lebih kepada Seren.

"Kok ngomongnya berubah lagi, sih? Ngomongnya pakai aku kamu aja, Ren."

Seren memutar bola matanya malas. "Gue nggak peduli sama aturan-aturan lo itu. Mending lo pergi karena kita juga udah nggak saling kenal."

Ado mengusap rambut Seren pelan disertai dengan senyuman tipisnya, namun tangan kanan Seren dengan cepat menepisnya dengan kasar. Seren tidak mau Ado menciptakan momen yang akan mengisi ruangan di dalam pikirannya.

"Kok kamu kasar, sih, Ren? Kata-kata kamu kasar terus sekarang perbuatan kamu juga kasar. Ada apa, sih? Kamu kenapa?" tanya Ado masih dengan nada lembutnya, tidak ada nada kekesalan sedikit pun di sana.

Seren mengubah posisinya menjadi duduk. Ia menatap Ado intens, sedangkan yang ditatap membalasnya dengan senyuman tipis yang membuat Seren hampir melupakan kemarahannya.

"Apa lo bilang? Yang gue lakuin kasar? Itu semua belum sebanding sama sakit hati yang gue terima. Gue sadar diri kok, gue penyakitan. Tapi, gue tetap sama dengan yang lainnya. Gue tetap makan nasi, hirup oksigen, dan tetap bisa jatuh cinta tanpa gue bisa pilih orangnya siapa, 'kan? Gue juga sadar bakalan nggak bisa jagain lo karena buat jagain diri sendiri aja susah, tapi gue tetap punya hati yang bakalan bisa sakit karena dengar kata-kata itu."

Buliran bening itu membasahi pipi Seren. Ia kembali mengingat ucapan yang dilontarkan mama Ado kepada dirinya. Seren pikir karena Ado juga memiliki penyakit serius, maka mamanya juga akan mengerti kondisinya, tapi ternyata tidak. Mamanya dengan terang-terangan mengatakan bahwa Seren tidak akan berguna bagi Ado nantinya.

"Gue nggak pernah minta jatuh cinta ke siapa. Gue juga nggak pernah minta buat ketemu sama lo dan gue juga nggak pernah minta punya penyakit kayak gini. Jadi, salah gue di bagian mana?" tanya Seren dengan suara yang sudah serak. Isak tangisnya pecah, dengan cepat Ado mendekapnya. Sungguh, bukan ini yang Ado inginkan. Buliran bening itu jatuh karena dirinya, dia merasa sudah gagal menjaga Seren.

"Gue sadar, Do. Umur gue udah nggak lama lagi, yang dibilang mama lo ada benarnya. Gue nggak bisa naruh hati gue ke lo dan lo juga gitu. Mending kita jalani masing-masing aja. Gue jalani hidup gue tanpa lo, begitu juga sebaliknya." Ado tidak membalas ucapan Seren, dia masih terus mendekap Seren. Sudah cukup buliran bening itu jatuh karenanya, dia ingin memberikan kehangatan bagi Seren.

"Kalian itu saling cinta, bukan kayak gue yang jatuh cinta sendirian."

-💃-

Yuhuu balik lagi nih kisah mereka bertiga. Maapkeun kalau nggak jelas, feel juga nggak dapet. Aku harus belajar lagi biar feel-nya dapet. 😢

Vote & komen ditunggu ❤
Saran & kritik juga ditunggu ❤

Serendipity [Completed]Where stories live. Discover now