Chapter 28

2.3K 265 121
                                    

Happy Reading ❤

-💃-

Ado menepuk bahu Ara pelan seakan paham isi pikiran Ara. Ara membalasnya dengan senyuman tipis saat Ado sudah beranjak dari duduknya. Dengan cepat Ara membuka amplop berwarna biru muda yang sedari tadi Ara genggam. Dalam pikirannya hanya satu, ke mana Delvin hingga memberikannya surat?

Ara membuka kertas yang dilipat rapi dengan warna senada. Tulisan Delvin tidak menyisakan baris kosong di sana. Ara beranjak, memilih duduk di lantai koridor karena badannya sudah terasa letih. Ara menyelonjorkan kakinya tanpa peduli orang lain. Matanya fokus membaca setiap kata yang Delvin tuliskan di sana.

Hai, Ara. Gue senang banget lo udah luangin waktu untuk baca surat yang nggak jelas ini. Gue nggak tau, Ra. Rasanya berat banget. Gue capek sama keadaan dan sikap orangtua gue. Setiap hari mereka selalu nyalahin gue bahkan bilang kalau gue anak yang nggak berguna dan cuma ngabisin uang mereka.

Gue harap lo bisa jaga diri lo, Ra. Jujur, pas lo nampar gue itu rasanya beda banget sama tamparan Seren. Bukan beda rasa sakitnya, tapi perkataan lo benar-benar nampar gue sama kenyataan. Apa pun itu, gue cuma mau bilang makasih karena lo udah pernah ngasih hati lo ke gue walaupun gue nggak bisa balas. Di saat gue udah mulai ada rasa, itu juga udah terlambat, 'kan? Gue nggak pernah nyesal, malah gue senang karena akhirnya gue sadar sama perasaan gue.

Suara pintu yang terbuka membuat Ara menoleh. Mama Seren menautkan kedua alisnya bingung mencari keberadaan Ara yang tiba-tiba menghilang. Ara melambaikan tangannya ke atas agar Mama Seren melihatnya.

"Kamu ngapain di sini? Ayo, masuk."

Nia membantu Ara berdiri. Ara ingin menolak, namun rasanya tidak mungkin. Seren pasti membutuhkannya. Ara melipat asal surat berwarna biru muda itu, memasukkanya ke dalam saku almamater lalu merapikan helaian rambutnya yang sedikit berantakan karena angin.

"Misty ke mana, Ra? Gue nggak pernah liat dia ke sini lagi. Kalian lagi berantem, ya?" tanya Seren saat Ara sudah berdiri di samping brankarnya.

Ara menggeleng. "Nggak, kok. Misty sibuk pacaran, tapi biarin ajalah asalkan dia seneng  gue santai aja," balas Ara santai.

Begitulah Ara, tidak membawa pusing perubahan sikap orang lain selagi itu dalam batas wajar. Ara selalu mendukung apa pun yang sahabat-sahabatnya lakukan termasuk hubungan Ado dan Seren. Ara juga bukan tipe orang yang ingin tahu urusan orang lain. Jika Seren ingin menceritakan tentang Ado, Ara selalu siap mendengarkan. Begitu juga dengan Misty yang terkadang bercerita perihal masalah dalam hubungan mereka yang menurut Ara masih dalam batas wajar.

Seren meneliti raut wajah Ara yang terlihat tidak tenang, wajahnya seperti orang khawatir. "Lo kenapa, Ra? Itu muka lo keringetan, lo sakit?"

Ara menggeleng lalu membuka ranselnya mengambil tisu. "Ren, gue nggak bisa lama-lama. Gue duluan, ya? Besok gue ke sini lagi." Tanpa menunggu balasan dari Seren, Ara memeluk Seren singkat lalu berpamitan dengan tiga orang lainnya yang berada di ruangan yang sama. Langkah kaki Ara cepat sekali, Seren jadi khawatir dengan keadaan Ara yang tidak seperti biasanya.

"Ara kenapa, sih?"

"Nggak apa-apa, Ren. Nanti kalau dia udah baikan, dia bakalan cerita."

Seren memutar bola matanya malas. Ado dan Ara sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu. Seren tidak suka itu. Seren menaikkan selimutnya hingga ke kepala seakan meminta Ado untuk pergi.

Ado malah mengusap rambut Seren. "Jangan ngambek mulu, tapi bagus juga, Ren. Kamu jadi bisa istirahat, besok baru nanya ke Ara, ya."

Seren tidak membalas perkataan Ado. Ia membelakangi Ado karena kali ini ia benar-benar kesal. Memang apa salahnya mengetahui yang terjadi dengan Ara? Mengapa tidak boleh tahu sekarang? Ia peduli dengan Ara.

-💃-

Ara tidak benar-benar meninggalkan rumah sakit. Ara memilih duduk di bangku koridor untuk kembali melanjutkan membaca surat dari Delvin. Ada rasa takut sekaligus penasaran. Takut Delvin melakukan sesuatu yang berdampak besar dan penasaran ke mana perginya Delvin.

Ngomong-ngomong, lo nggak perlu cari gue, Ra. Itu cuma buang-buang waktu lo. Lo fokus sama diri sendiri aja, Ra. Jangan terlalu baik sama orang lain apalagi sampai ngorbanin kebahagiaan lo sendiri. Gue nggak suka lihatnya.

Gimana keadaan Seren? Semoga hati yang gue donorin itu benar-benar bermanfaat buat dia. Benar, Ra. Gue yang donorin hati gue buat Seren. Gue nggak mau dia terus-terusan rasain sakit karena dia nggak pantes dapat itu.

Mungkin sebentar lagi lo bakalan tau kabar gue, Ra. Bukan dari gue, tapi dari orang lain atau dari mana pun. Gue ngelakuin itu semua murni kemauan gue. Gue tau ini dosa besar, tapi gue udah nggak tahan, Ra. Jaga diri baik-baik, ya, Ra. Gue bakalan jagain lo dari sini.

Delvin

Buliran bening tanpa sadar sudah membasahi wajahnya. Tatapan aneh dari orang-orang sudah tidak Ara pedulikan. Dalam hitungan detik, fokusnya teralihkan oleh suara televisi.

"Seorang pria ditemukan tewas bunuh diri setelah lompat dari lantai sepuluh di salah satu hotel."

Ara berdiri, menatap televisi itu secara intens lalu berlari sekuat tenaga saat melihat lokasi itu tidak berada jauh dari rumah sakit. Pikirannya tidak dapat berjalan normal, Ara masih berharap itu bukan Delvin.

"Nggak mungkin itu Delvin. Delvin itu anak pinter," ucapnya meyakinkan diri sendiri.

Langkah kakinya tiba di lokasi. Korban yang baru saja melompat dari gedung hotel belum dibawa ke rumah sakit untuk dibersihkan. Polisi tiba bersamaan dengan langkah kaki Ara yang kian mendekat ke arah korban.

Laki-laki itu mirip sekali dengan Delvin dan pakaiannya juga masih menggunakan pakaian khas rumah sakit. Detak jantung Ara berdetak lebih kencang, Ara mengangkat kepala laki-laki itu di atas pangkuannya.

Darah kental bercucuran dari kepalanya. Wajahnya dipenuhi darah. Hidungnya tidak berhenti mengeluarkan cairan berwarna merah. Apa pun yang Ara lihat sekarang belum bisa Ara terima. 

"Delvin!" Ara menepuk pipi Delvin berharap laki-laki itu masih hidup.

"Bilang kalau ini cuma mimpi! Ayo, bilang! Tampar gue biar gue yakin ini cuma mimpi!" pekik Ara di hadapan orang-orang yang berkerumunan. Tidak ada yang menanggapi ucapan Ara, mereka hanya menatap Ara kasihan. Bukan itu yang Ara inginkan. Ara meraih salah satu tangan orang yang berada di belakangnya, memukulnya ke pipi Ara hingga Ara tersadar ini bukan mimpi.

"Lo jahat, Vin! Lo bikin gue sakit hati untuk kesekian kalinya! Harusnya lo nggak kayak gini!"

Ara mendekap tubuh Delvin ke dalam pelukannya. Menangis dan teriak sekuat mungkin walaupun Ara tahu, Delvin tidak akan mendengar apalagi kembali untuk menghapus air matanya.

Dalam hitungan detik, Ara melepas almamaternya. Ara membersihkan darah di wajah Delvin menggunakan almamaternya. Air matanya sesekali jatuh di wajah Delvin.

"Ayo, Vin! Pulang sama gue! Bilang, Vin! Bilang kalau lo sayang sama gue, bilang semua kata maaf lo itu. Ayo, bangun, Vin! Kalau lo nggak bangun, gue bakalan marah besar sama lo!"

-💃-

Duar:v

Apaan ish chapter ini makin ga jelas hehe. Makin ga dapet feel-nya. Ya maap atuh.

Vote & komen ditunggu ❤
Saran & kritik juga ditunggu ❤

Serendipity [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang