Chapter 8

4K 522 59
                                    

Boleh dong dipencet dulu bintangnya. 😍

Happy Reading ❤

-💃-

Nia membulatkan kedua bola matanya mendengar perkataan Seren. Ternyata Seren sudah berpikir sejauh itu? Apa benar Tuhan akan mengambilnya begitu cepat? Karena penyakit ini? Nia menggelengkan kepalanya. Nia memeluk Seren cukup lama agar gadis itu lebih tenang.

Delvin yang sebelumnya berdiri sambil mengusap kepala Seren menghentikan aktivitasnya setelah mendengar satu kalimat yang Delvin saja tidak menyangka seorang Seren dapat mengatakan hal yang sangat pesimis. Biasanya Seren yang selalu memberikan pengaruh positif kepada Delvin, saat Delvin sedang ada masalah dengan keluarganya maka Serenlah satu-satunya orang yang bersedia menemani Delvin hingga memberikan perumpamaan yang luar biasa.

Seren mengambil vas bunga di atas nakas kemudian melemparkannya ke dinding berwarna putih itu. Tangannya beralih lagi, mengambil gelas yang berisi air, ia juga melemparkannya ke dinding. Pergerakan tangan Seren yang melemparkan barang-barang dengan cepat membuat dua orang yang ada di ruangannya terkejut. Nia memegang dadanya, Nia tidak percaya Seren akan melakukan hal ini. Lain halnya dengan Delvin, Delvin melotot melihat kemarahan Seren. Lagipula marah seperti sekarang akan membuat kondisinya menurun.

Nia mendekatkan tubuh Seren ke dalam dekapannya sebelum Seren kembali melemparkan barang-barang yang ada di atas nakas. Seren diam di dalam dekapan Nia. Tangan Nia yang mengusap rambut Seren pelan membuat pikirannya menjadi lebih tenang. Namun, Seren tidak bertahan lama berada dalam dekapan Nia. Seren melepaskan pelukan Nia dan berlari keluar ruangan. Delvin ikut melangkahkan kaki berniat menyusul Seren, tapi Nia menggelengkan kepala seraya tersenyum tipis.

"Seren cuma perlu waktu. Dia mau sendiri dulu."

Delvin hanya mengangguk. Delvin memilih kembali duduk. Tangan kanannya bergerak mengambil benda pipih yang sering digunakan untuk alat komunikasi. Ada banyak sekali pesan masuk dari mamanya yang meminta Delvin pulang untuk menjaga rumah karena mereka akan pergi mengurus kesehatan abang Delvin. Delvin berdecak kesal. Delvin malas berada di situasi saat ini, di mana abangnya adalah segalanya sedangkan dirinya tidak dianggap dan dihubungi jika ada perlunya. Jika kemauan orangtuanya tidak dituruti, pasti mereka akan berteriak kesal pada Delvin walaupun Delvin sudah menjelaskan alasan.

Delvin memang menyayangi abangnya, tapi bukan berarti abangnya yang paling utama di hidupnya. Biar bagaimanapun, Delvin juga mempunyai urusan pribadi yang harus diselesaikan, tidak terus-terusan menuruti kemauan orangtuanya.

Delvin kembali memasukkan benda pipih itu ke dalam saku celananya. Delvin beranjak kemudian menghampiri Nia dan berpamitan.

-💃-

Seren berlari menyusuri lorong rumah sakit. Ia juga tidak tahu ingin ke mana, yang pasti ia tidak ingin melihat orang-orang yang dikenalnya. Ia sangat takut akan pergi selama-lamanya karena penyakit ini. Ketakutan itu tiba-tiba masuk ke pikirannya saat mamanya mengatakan perihal penyakitnya.

Seren tidak memperhatikan apa yang berada di depannya. Ia semakin mempercepat larinya berharap segera menemukan tempat yang ia cari. Namun, bukannya mendapatkan tempat yang dicari, ia malah menabrak seseorang yang tidak ia kenal. Tubuhnya bukan terjatuh ke lantai, melainkan hampir jatuh ke dalam dekapan laki-laki asing. Laki-laki yang menggunakan kursi roda itu menahan tubuh Seren dengan kedua tangannya agar gadis itu tidak mengenai tubuhnya.

Tangan Seren memegang kursi roda agar dapat menahan tubuhnya. Tatapannya bertemu dengan laki-laki itu. Seren memutus tatapan itu lebih dulu dan mengubah posisinya berdiri tegak. Laki-laki yang memakai pakaian khas pasien rumah sakit itu tersenyum tipis ke arah Seren. Seren tidak balas tersenyum, ia terus menatap mata laki-laki itu. Ia menyadari satu hal, tatapan laki-laki itu begitu teduh hingga mampu memberikan ketenangan saat Seren menatapnya.

"Kalau lagi jalan itu fokus. Bukannya aku nggak mau nolongin kamu, tapi kalau kamu jatuh ke kursi roda aku nanti malah rusak," kata laki-laki itu menatap penampilan Seren yang terkesan berantakan, sangat berbeda dengan dirinya yang begitu rapi walau hanya memakai pakaian dari rumah sakit.

Seren menyipitkan kedua matanya. Apakah ia tidak salah dengar? Laki-laki itu memanggilnya dengan sebutan kamu dan memanggil dirinya aku? Sangat berbeda dengan penduduk di kota ini yang sebagian besar menggunakan panggilan lo dan gue.

"Kenapa? Kamu bingung, ya? Aku emang ngggak terbiasa manggil orang lain dengan sebutan lo gue."

Seren semakin bingung. Bagaimana laki-laki ini bisa membaca pertanyaan yang ada di kepalanya? Atau, jangan-jangan dia dapat membaca pikiran orang lain?

Keren juga ini orang, bisa baca pikiran orang haha.

"Jangan mikir yang aneh-aneh apalagi mikirnya kejauhan. Aku cuma nebak aja, kalau benar mungkin itu kebetulan."

Seren terkekeh, ada benarnya juga. Ia mengulurkan tangannya, entah mengapa ingin sekali cepat-cepat mengenalnya. Mulai dari tingkahnya yang menahan tubuh Seren dengan tangan hingga cara berbicaranya yang terlihat sangat menggemaskan. Itu semua menjadi daya tarik bagi Seren.

"Serendipity Aurora, tapi panggil aja Seren." Seren tersenyum tipis, seketika ia seperti mendapatkan hadiah yang begitu mengejutkan hingga senyuman itu dapat terukir begitu indah. Segala beban yang ada di bahunya terasa lepas begitu saja.

Laki-laki itu ikut mengulurkan tangannya. Lagi-lagi, laki-laki itu tersenyum.

"Adolfa Adhyastha, panggil aja Ado. Kamu orang baru di sini? Aku baru lihat, tapi baju kita samaan, lho."

Seren terkekeh, kalimat yang terakhir terdengar begitu konyol. Tentu saja baju mereka sama karena mereka pasien di rumah sakit yang sama. Seren memperhatikan ke sekeliling, tidak ada banyak orang di lorong ini. Laki-laki yang bernama Ado itu ikut memperhatikan ke sekeliling karena bingung apa yang sedang diperhatikan Seren.

"Nyariin siapa? Aku sendirian di sini. Udah lama juga di sini, jadi udah anggap rumah sendiri. Kalau ditemenin keluarga malah ngerepotin. Selagi bisa sendiri, kenapa harus ada yang nemenin?"

Seren mengangguk-anggukkan kepalanya. Ada banyak sekali pertanyaan di benak Seren, namun sangat sungkan ia tanyakan karena mereka baru saling mengenal. Bukan mengenal, hanya mengetahui nama saja. Sepertinya mereka seumuran, tapi mengapa terasa sangat berbeda, ya? Tidak sama saat Seren bersama Delvin.

"Kamu sendiri sama siapa di sini? Udah berapa hari?" tanya Ado sambil menggerakkan kursi rodanya ke depan. Seren memberikan jalan lalu mengikuti Ado dari belakang.

"Gue ke sini sama mama, eh ada temen juga. Gue baru dua hari di sini."

Seren memindahkan tangan Ado yang sebelumnya mendorong kursi rodanya. Ia mendorong kursi roda Ado. Ado hanya mengikuti ke mana Seren membawanya.

"Berhenti dulu, Ren. Boleh minta satu hal?" Ado memutar kursi rodanya menghadap Seren. Seren tidak menjawab, ia hanya menaikkan sebelah alisnya.

"Kalau lagi sama aku, jangan panggil lo gue. Panggilnya aku kamu atau nama aja."

-💃-

Komenlah selagi masih bisa, request selagi belum ending, saling mengingatkanlah jika ada salah (typo misalnya), dan semangatinlah aku wkwk.

Kritik dan saran yang membangun diterima dengan senang hati, silent readers pun tak masalah, kepencet vote? Makasi wkwk.

Vote & komen ditunggu ❤
Saran & kritik juga ditunggu ❤

Serendipity [Completed]Where stories live. Discover now