Chapter 10

3.4K 351 99
                                    

Happy Reading ❤

-💃-

Dokter yang memeriksa Seren mengembuskan napas perlahan. Seren menatap Dokter itu sebentar. Ini semua kesalahan Delvin, pasti sebentar lagi orang yang sedang memeriksanya ini akan menasehatinya panjang lebar. Bukan ini yang Seren harapkan, ia ingin bersama Ado saja. Jika sedang bersamanya, Seren seakan lupa penyakitnya. Ia tidak tahu perasaan apa ini, tapi yang pasti ia ingin terus bersama Ado.

Ruangan berwarna putih itu sangat membosankan. Seren memutar bola matanya ke kanan dan kiri. Wanita yang memakai jas berwarna putih itu belum juga ke luar dari ruangan. Dia masih sibuk dengan kertas berwarna putih, mencatat sesuatu yang Seren saja tidak berminat untuk menanyakannya.

"Obatnya jangan lupa diminum. Mau beraktivitas seperti biasa, 'kan? Mau cepat sembuh, 'kan? Jawabannya cuma ada di diri kamu, apakah kamu rajin minum obat dan jaga pola makan. Saya permisi."

Wanita yang memakai jas berwarna putih itu tersenyum tipis ke arah Seren. Seren mencoba menarik bibirnya agar terlihat tersenyum, tidak ingin terlihat seperti orang sombong karena ia juga membutuhkan orang itu.

Seren ikut melangkahkan kakinya ke luar ruangan setelah wanita itu tidak terlihat lagi. Sial, ternyata di depan ruangannya ada Mamanya dan Delvin yang sedang berbincang dengan wanita itu. Seren membuka pintu dengan perlahan, berharap tidak menimbulkan suara sedikit pun. Ia juga ingin tahu kondisi dirinya dan sudah separah apa penyakitnya.

"Seren emang keras kepala, tapi Seren juga cuma manusia biasa, 'kan? Seren juga nggak bisa lawan penyakitnya dengan sikap keras kepalanya," ucap Dokter yang tadi memeriksa Seren. Seren mengembuskan napasnya kasar, apa yang dikatakan Dokter itu memang benar. Ia juga tidak dapat melakukan apa-apa, yang pasti ia tidak boleh pasrah dengan keadaan. Selagi masih ada yang dapat dilakukan, mengapa hanya berdiam diri menunggu ajal menjemput?

Nia hanya mengangguk, Nia paham apa maksud ucapan Dokter yang sepertinya berumuran sama dengannya. Hanya saja Nia terlihat lebih muda karena sering perawatan sedangkan Dokter yang ada di hadapannya terlihat lebih tua karena kerutan yang ada di wajahnya, mungkin karena pusing memikirkan pasien-pasien yang ditangani setiap harinya.

"Seren sudah boleh pulang. Seperti kesepakatan kita, Seren akan dirawat jalan kalau kondisinya tidak menurun. Jaga Seren baik-baik. Saya permisi."

Di satu sisi seharusnya ia senang akan meninggalkan tempat yang sama sekali tidak ia sukai. Namun, tiba-tiba ada perasaan lain yang mengisi ruang hatinya. Jika ia boleh pulang dan kembali ke sekolah seperti biasanya, itu artinya ia tidak dapat menghabiskan waktu bersama Ado.

Seren kembali menutup pintu berwarna putih itu, ia melangkahkan kakinya menghampiri jendela. Tangan kanannya beralih, membuka kaca jendela agar udara segar masuk dan mengisi ruangan. Tangan kirinya digunakan untuk menopang dagu. Orang-orang yang berada di luar sana cukup mencuri perhatian Seren.

Terik matahari tidak mengalahkan semangat pedagang kaki lima, mereka terus menawarkan barang dagangannya agar cepat habis. Dalam hitungan detik, rintik hujan membasahi bumi. Tidak, bukan seperti biasanya. Ini hanya hujan panas. Pengguna mobil semakin mempercepat laju kendaraannya tanpa memikirkan pengguna jalan yang lain, padahal yang seharusnya ingin lebih dulu sampai ke tempat tujuan adalah pengguna sepeda motor karena pakaiannya akan berubah menjadi basah dalam hitungan menit.

Seren kembali memikirkan Ado. Mereka baru bertemu untuk pertama kalinya, namun namanya sudah berhasil memenuhi isi kepala Seren. Mungkin Seren hanya senang kembali memiliki teman laki-laki yang seumuran dengannya. Selama ini ia hanya dekat dengan Delvin bahkan keduanya sering sekali disebut berpacaran. Entahlah, Seren tidak terganggu dengan argumen orang lain. Baginya Delvin tetap sama dan perasaannya juga akan tetap sama.

Seren melangkahkan kakinya ketika menyadari ia baru saja membuang waktunya percuma. Harusnya jika ia akan segera kembali ke rumah, ia harus menghabiskan waktu bersama Ado. Seren juga berpikir untuk meminta nomor ponsel Ado agar mereka tetap dapat berkomunikasi lewat media sosial.

Nia dan Delvin menoleh saat mendengar kenop pintu yang ditarik. Seren tersenyum tipis ke arah keduanya.

"Ma, Seren mau ketemu temen. Dia ada di rumah sakit juga, Ma. Boleh, ya?" Seren mengelus pergelangan tangan Nia agar diperbolehkan. Dari raut wajah Nia terlihat jelas sekali dia khawatir dengan keadaan Seren, oleh sebab itu Seren harus berusaha keras agar mendapatkan izin.

"Boleh, Sayang. Tapi, ditemanin Delvin."

Nia menoleh ke arah laki-laki yang baru saja dia sebutkan namanya. Laki-laki itu mengangguk sedangkan Seren mengerucutkan bibirnya kesal. Ia ingin bertemu dengan Ado dan Delvin pasti akan merusak rencananya karena Seren tahu Delvin tidak menyukai Ado.

"Nggak usah, Ma. Seren bisa sendiri, kok. Ayolah, Ma. Kita kan, satu tim." Seren mengedipkan mata kanannya sambil tersenyum jahil. Nia terkekeh melihat aksi lucu Seren yang berusaha mendapatkan izin darinya.

"Iya, boleh. Jangan lama-lama."

Senyuman lebar langsung terpancar di wajah Seren. Gadis itu mengangguk, ia mencium punggung tangan Nia lalu melambaikan tangannya. Seren mempercepat langkahnya, rasanya sudah tidak sabar menatap kedua bola mata Ado yang begitu teduh.

Seren menepuk keningnya pelan. Ia tidak tahu Ado dirawat di kamar nomor berapa. Ia tidak sempat menanyakan hal tersebut. Dalam hitungan detik, raut wajah Seren langsung berubah.

"Hobi banget nepuk kening sendiri. Itu nggak bagus dilihat, Seren."

Seren menutup kedua telinganya menggunakan tangan, sepertinya tingkah halusinasinya sudah semakin tinggi. Sekarang ia mendengar suara Ado padahal orang itu tidak ada di sini. Rasanya tidak mungkin Ado berkeliling di tempat ini. Apa mungkin dia juga pasien pengidap kanker liver? Tapi, Seren tidak pernah melihatnya selama dua hari berada di sini. Seren terus menutup kedua telinganya lalu melangkahkan kakinya.

"Kamu kenapa? Kok malah pergi?" tanya Ado sambil terus mendorong kursi rodanya.

Seren mengumpulkan keberaniannya, ia menoleh ke samping kiri. Benar saja, laki-laki pemilik tatapan teduh itu ada di samping kirinya. Ado melambaikan tangannya ke arah Seren.

"Kok bisa di sini? Aku terkejut, padahal dari tadi nyariin kamu."

Seren segera menepuk bibirnya yang sangat jujur itu. Ado hanya geleng-geleng melihat aksi Seren. Ado mendorong kursi rodanya dan seperti biasa, Seren mengikutinya dari belakang. Ado memberi jarak antara keduanya, dia tidak ingin Seren mendorong kursi rodanya lalu kelelahan seperti tadi.

"Ado, kenapa? Kok ngejauh gitu?" tanya Seren pelan, namun cukup terdengar jelas di telinga Ado. Akhirnya, Ado menghentikan kursi rodanya dan memutarnya. Di antara mereka ada jarak beberapa meter, gadis itu terlihat kesal sekali. Sifat Ado yang suka berjalan duluan sudah membuat Seren kesal, namun sifatnya yang sekarang justru membuat Seren ingin memakinya.

Jangan kesal, ini demi kebaikan bersama.

-💃-

Gimana? Makin penasaran? Lebih setuju Seren sama Delvin atau Seren sama Ado? Kalau aku sih, setuju sama Ado karena uwu gitu hehe.

Vote & komen ditunggu ❤
Saran & kritik juga ditunggu

Serendipity [Completed]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora