Extra Chapter

2.9K 265 56
                                    

Pencet bintang di pojok kiri dulu anak-anak cakep wkwk.

Udah? Jeng jeng, baru boleh baca ahay. 🤣

-💃-

Happy Reading ❤

-💃-

Seren mengelus beberapa kali perutnya yang terasa nyeri. Bukan tanpa sebab, tetapi karena di dalamnya ada janin yang beberapa hari lagi akan terlahir ke dunia. Menjelang beberapa hari terakhir masa kehamilannya, ia kerap kali tersenyum lebar seakan-akan tidak ada rasa takut yang menghampiri.

Seren kembali melangkahan kaki hingga tiba di teras. Kepalanya menunduk, memperhatikan benda yang menampilkan empat digit angka. Kini jarum pendeknya tepat di angka lima, itu artinya Kino sebentar lagi akan pulang bekerja.

Seren memutuskan untuk duduk di bangku yang tersedia di depan jendela rumahnya. Ia memandangi halaman rumahnya yang luas, lalu kembali melangkah dan berbalik menatap rumah yang cukup luas.

Saat tengah asyik memandangi rumahnya dari luar, tiba-tiba ada sebuah tangan yang melingkar di pinggangnya.

Seren berbalik, menatap Kino yang tengah tersenyum jahil ke arahnya.

"Kamu ngapain, Ren? Bukannya kita udah lama, ya, tinggal di rumah ini? Kamu bosen makanya ngelihatin sampai segitunya?" tanya Kino sekaligus, seperti tidak memberikan aku kesempatan untuk berbicara.

Seren mengangguk. "Nggak bosen, sih, No. Cuma mau lihat dan lebih bersyukur aja," ujar Seren singkat, padat, dan jelas.

Kino mengerutkan alisnya, lalu menuntun Seren untuk berjalan. "Selama ini kamu nggak banyak nuntut, kok, Ren. Eh, aku ngerasa ada yang beda, deh, sama kamu."

Keduanya terus menelusuri ruang tamu, hingga Seren memilih beristirahat di sofa. Tatapannya masih menatap Kino, laki-laki yang ada di sampingnya terlihat sangat letih. Namun, Seren merasa tidak mempunyai banyak waktu lagi untuk berbincang dengan Kino.

"No," panggil Seren lemah lembut.

Kino menoleh seraya melepaskan kacamata yang beberapa jam ini menemani matanya. "Kenapa, Ren? Kamu butuh sesuatu?"

"Kalau aku dipanggil Tuhan lebih dulu, kamu bakalan ngapain?"

Tangan kanan Kino bergerak mengusap kepala Seren, lalu mendekatkannya hingga bersandar di bahu. "Kalau anak kita udah lahir, aku bakalan jaga dan didik dia dengan bener biar sama kayak mamanya, tapi kalau anak kita belum lahir, aku bakalan tinggal di rumah mama dan sering ke rumah mama kamu karena di rumah mama banyak foto kamu."

"Kamu nggak ada niat nikah lagi?" tanya Seren dengan raut wajah serius.

"Buat apa? Bagi aku, dapatin kamu aja udah kayak harta yang orang lain nggak punya. Aku nggak mau kehilangan kamu, Ren."

Seren terdiam beberapa menit. "Kamu baik banget, No. Aku masih heran kenapa kita bisa hidup bareng."

"Kamu kenapa, sih? Ada masalah, Sayang? Kamu beda banget hari ini." Kino meraih tangan kanan Seren, lalu meletakkannya di kaki.

"Nggak ada apa-apa, sih. Mungkin efek mau jadi ibu makanya aneh." Seren mengakhiri ucapannya dengan terkekeh, sedangkan Kino hanya geleng-geleng dengan balasan Seren yang selalu tidak masuk akal, bahkan tidak nyambung.

Seren menjauhkan kepalanya dari bahu Kino, lalu mengubah posisinya hingga berhadapan dengan Kino. Beberapa detik melihat perubahan raut wajah Kino yang penasaran, Seren mengedipkan sebelah matanya ke arah Kino. Kino refleks memukul pelan kening Seren yang selalu tiba-tiba jahil.

Seren selalu terbahak saat melihat raut wajah Kino yang menahan kesal. Dalam hitungan detik, Seren mengubah raut wajahnya menjadi serius.

"Aku mau minta satu hal, aku mau pas lahiran nanti pakai kerudung sama gamis, No. Aku nggak mau pas anak kita lahir, aku masih kayak ABG dan malah ngasih contoh yang nggak bener."

Kino menarik Seren ke dalam pelukannya. Sudah lama sekali Kino ingin mendengar pernyataan seperti ini dari Seren. Kino sendiri tidak ingin menuntut Seren karena pada dasarnya sesuatu yang dituntut atau dipaksakan hanya akan menimbulkan keterpaksaan pula.

"Aduh, Papa. Anak kita sampai dugem di dalam, kamu, sih, peluknya kuat banget." Seren melepas pelukannya, tentu saja Kino selalu terbahak. Terkadang Seren juga bingung bagian mana yang lucu.

"Aku mau mandi dulu, ya, Ren."

Kino beranjak, lalu menaiki satu per satu anak tangga tanpa menunggu balasan dari Seren. Seren mengikuti apa yang dilakukan Kino, ia ingin mengganti pakaiannya dengan gamis karena waktu sudah semakin larut.

Tidak membutuhkan banyak waktu, kini Seren telah siap dengan gamis juga mukena di tangannya. Ia berencana mengajak Kino salat di mesjid.

Seren tiba-tiba merasakan sakit begitu luar biasa pada bagian perutnya. "Kino!" pekik Seren hingga membuat Kino langsung keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih melekat di tubuhnya.

Kino yang melihat raut kesakitan dari wajah Seren langsung meraih sembarang pakaian dari lemari. Kini tubuh mungil Seren dalam gendongannya menuju mobil.

Seren sedang ditangani dokter di dalam, sedangkan Kino menunggu di luar seraya mengabarkan kedua orang tuanya dan mama Seren. Kino terlihat resah menunggu di luar, tetapi sesuai permintaan Seren memintanya untuk menunggu di luar agar keluarga yang lain mudah menemukan keberadaan dirinya.

Kino memegang erat kenop pintu seraya berdoa agar keadaan keduanya baik-baik saja. Beberapa menit kemudian terdengar suara tangis bayi, ada rasa haru sekaligus senang saat mendengarnya.

Kino semakin tidak sabar menunggu dokter mempersilakan dirinya untuk masuk menemui Seren dan anak mereka. Benar saja, seorang dokter muda cantik keluar dengan raut wajah yang sulit Kino artikan.

"Silakan masuk, Pak," ujar perawat seraya tersenyum tipis.

Kino mengangguk antusias, lalu segera menghampiri Seren.

"Anak kita cantik, ya, No. Aku cuma mau bilang, semoga kehadiran dia bisa gantiin aku di rumah. Kamu terlalu nggak pantas buat aku yang banyak kekurangan, No. Cari wanita lain yang lebih dari aku. Aku selalu ada di dekat kamu, No."

Kino hanya menatap Seren tidak percaya. Perkataannya begitu aneh bahkan seperti akan pergi selamanya.

"Aku udah nggak kuat, No."

Setelah mengatakan kalimat itu, monitor menunjukkan garis lurus dengan suara yang sangat menyayat hati. Kino memeluk tubuh Seren erat. Lagi-lagi kehilangan yang Kino rasakan.

Tubuhnya bergerak pasrah melepaskan pelukan terakhir. Tangannya juga sibuk membantu melepaskan segala selang yang terhubung ke tubuh Seren. Buliran bening pun kian banyak membasahi pipi Kino.

"Selamat, ya, Pak. Bayi Bapak lahir dengan sehat dan sangat cantik. Turut berduka cita dan semoga diberi ketabahan, ya, Pak."

Kino masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Apa ini semua mimpi, tetapi mengapa terasa sangat nyata?

Jantungnya berdetak lebih cepat. Kino mengenggam pergelangan tangan Seren kuat, tidak ada denyutan nadi di sana, yang ada hanyalah suhu dingin. Apakah ini yang dinamakan kesedihan selalu berdampingan dengan hidup?

"Semoga tenang di sana, Ren. Kamu wanita terhebat yang pernah aku temui. Wajah kamu juga bersinar apalagi setelah lahirin anak kita. Kamu cantik pakai kerudung, Ren. Anak kita pasti bakalan mirip sama kamu," ujar Kino seraya menarik selimut hingga ke kepala Seren.

-💃-

Aneh banget nggak sih? Huee mo nangis karena nggak jelas hm:(

Masih ada satu chapter lagi, udah siap? Ada harapan di chapter terakhir?

Satu kalimat buat chapter ini?

Satu kalimat buat cerita ini?

Satu kalimat buat aku? :v

See you! 💕

Serendipity [Completed]Where stories live. Discover now