Chapter 25

2.1K 243 79
                                    

Happy Reading ❤

-💃-

Maudy menghentakkan kaki kesal. Maudy tidak mengikuti perkataan Delvin, ada niat terselubung di balik sikapnya kali ini. Ado memilih tidak peduli dengan gadis itu, buru-buru Ado melangkahkan kakinya memanggil dokter yang biasanya menangani Seren.

Dokter itu berjalan dengan tergesa-gesa lalu meminta semua orang untuk keluar agar bisa fokus dan tidak banyak suara di sini. Dokter itu sempat melarang Seren pindah ruangan karena dia tahu Seren dari kalangan orang kaya yang dapat membayar fasilitas apa pun di sini, namun jika itu kemauan Seren tentu tidak dapat dibantah.

Setelah selesai memeriksa Seren, Dokter itu meneliti satu per satu orang yang menunggunya. Tidak ada Nia di sana. Dia sendiri menjadi bingung harus memutuskan seperti apa, namun ini kondisi darurat. Dia meminta perawatnya untuk memindahkan Seren ke ICU.

"Seren harus dipindahkan ke ICU. Di sana ada banyak alat yang dapat membantunya bertahan hidup. Seperti yang sudah pernah saya katakan sebelumnya, perkembangan sel kanker itu sangat cepat apalagi jika tidak meminum obat."

Tidak ada yang membalas ucapan Dokter itu. Ado menghela napas panjang, berusaha setenang mungkin. Jika Ado putus asa dan sedih, lalu siapa yang dapat memberikan Seren semangat untuk hidup?

"Lakukan yang terbaik, Dok. Mama Seren pasti setuju, asal Seren bisa selamat."

Dokter itu mengangguk seraya tersenyum tipis. "Kamu harus jagain Seren. Jangan sampai buat Seren sedih dan akhirnya kepikiran. Mau tidak mau saya harus mengatakan ini, umur Seren itu udah nggak lama lagi. Jalan satu-satunya yang bisa bantu Seren cuma transplasi hati. Sampai sekarang rumah sakit dan pihak keluarga belum mendapatkannya. Kita berdoa saja, ya. Saya permisi. Oh iya, udah tau peraturan kunjungan pasien ICU, 'kan?"

Ado dan Saras mengangguk, lain halnya dengan Maudy yang hanya memutar bola matanya malas. Di satu sisi, Maudy senang karena umur Seren sudah tidak lama lagi dan di sisi lain Maudy bingung harus melakukan apa. Dalam hitungan detik, Maudy sudah mendapatkan jawaban untuk pertanyaannya. Untuk saat ini Maudy memilih mengalah, berpamitan dengan Saras karena tidak ada hasilnya juga berada di sini sedangkan Ado sibuk dengan kondisi Seren.

Brankar tempat Seren berbaring keluar bersamaan dengan Delvin yang entah sejak kapan sudah berada di dalam. Tanpa membuang banyak waktu, Ado dan Saras mengikuti brankar yang Seren yang akan dibawa ke ICU. Delvin juga mengikuti dari belakang, langkah kakinya terasa kaku. Sebagian semangat hidupnya terasa diambil paksa saat mendengar ucapan dokter yang mengatakan umur Seren sudah tidak lama.

Apa pun yang akan terjadi dengan Seren, Delvin tidak sanggup melihatnya. Delvin dan Seren yang sering menghabiskan banyak waktu bersama tentu sudah menciptakan ruangan tersendiri di pikiran Delvin.

Seren yang masih ditangani oleh perawat dapat terlihat jelas dari celah jendela. Perawat memasangkan alat-alat bantu pernapasan di tubuh Seren. Delvin menepuk pelan bahu Ado. Ado menoleh, sorot matanya mereka bertemu. Laki-laki yang hanya menggunakan jaket itu tersenyum tipis lalu mengajak Ado untuk duduk di sampingnya. Lain halnya dengan Saras yang tidak dapat menemani Ado karena kakinya sudah terasa sakit, jadi Saras memutuskan untuk beristirahat di ruangan Ado.

"Lo tulus sama Seren?" tanya Delvin tanpa basa-basi. Untuk pertama kalinya, rasa cintanya pada seseorang dapat mengalahkan apa pun termasuk mengikhlaskan Seren bersama orang lain.

Ado mengangguk. "Aku tulus sama Seren. Aku bakalan jagain Seren selagi aku bisa, tapi kalau Tuhan udah berkehendak, aku nggak bisa apa-apa. Umur aku juga udah nggak lama."

Dapat Delvin lihat jelas dari raut wajah Ado yang sungguh-sungguh. Delvin sendiri bingung. Rasa ingin membantu Ado sudah ada, namun Delvin tidak tahu membantunya dengan cara apa.

"Masih ada harapan buat lo sembuh? Misalnya kayak Seren yang punya harapan kalau transplasi hati. Kalau lo apa?"

Ado menggeleng lemah. "Udah nggak ada, Delvin. Tinggal nunggu Tuhan jemput."

Delvin menoyor kening Ado kesal. Ado tidak membalas toyoran Delvin. Ado hanya membalasnya dengan terkekeh.

"Emang kenapa? Kamu nanya kayak gitu buat apa?" Ado balik bertanya.

Ini pertama kalinya Ado berbicara dengan Delvin. Ternyata Delvin adalah laki-laki yang baik. Ado jadi tenang saat pergi nanti, Seren sudah memiliki orang yang akan selalu menjaganya.

"Waktu yang akan jawab semuanya. Gue titip Seren, ya. Gue mau pergi dulu, nanti gue balik lagi karena sekarang gue ada urusan," kata Delvin dengan posisi tubuhnya yang sudah berdiri tegak berhadapan dengan Ado. Delvin menepuk bahu Ado singkat sebagai tanda permisi.

-💃-

Rintik hujan lagi dan lagi membasahi bumi. Embusan angin kian menambah suka sosok pecinta hujan. Perubahan cuaca tentu tidak berarti apa-apa bagi pasien di rumah sakit. Keadaan semuanya tetap tidak membawa perubahan bagi Ado dan Seren. Bagi mereka, rumah sakit sudah seperti rumah di mana tempat mereka menghabiskan sisa umurnya.

Seren sudah sadarkan diri sejak satu jam yang lalu. Ado memberanikan diri untuk masuk menemui Seren. Ado sendiri bingung akan melakukan apa nantinya, namun ini kesempatan yang tidak mungkin Ado sia-siakan.

Suara monitor langsung menyambut Ado di langkah pertamanya. Ruangan ini tidak begitu asing karena Ado sendiri pernah berada di dalam. Ado menatap Seren yang sedang terlelap. Wajahnya terlihat jelas menahan sakit. Ado mengusap kepala Seren pelan, ingin sekali rasanya bertukar posisi dengan Seren.

Jika tadi siang hanya infus yang melekat di tubuh Seren maka lain halnya dengan sekarang. Alat bantu pernapasan semakin banyak melekat di tubuhnya. Ado tidak tahan berada lama-lama di dalam ruangan Seren. Suara monitor menjadi ketakutan terbesar baginya. Suara monitor itu dapat berubah sewaktu-waktu. Jika kondisi pasien semakin buruk, maka dapat langsung diketahui melalui monitor.

"Jaga diri baik-baik, ya, Ren. Jangan pernah marah sama takdir Tuhan. Aku nggak bisa nemanin kamu lama-lama, tapi aku tetap jagain kamu dari luar, kok." Ado mengusap pelan rambut Seren sekali lagi sebelum benar-benar melangkahkan kakinya keluar.

Ado terkejut melihat kehadiran Delvin yang sedang duduk manis di bangku koridor. Laki-laki itu langsung berdiri saat melihat Ado keluar dari ruangan Seren. "Ado, gue minta tolong kasih surat ini ke Seren, ya. Kalau seandainya Seren nanyain gue, lo boleh kasih surat ini ke Seren. Kalau Seren nggak nanyain gue, lo boleh buang suratnya."

Delvin memindahkan kertas berwarna biru yang sebelumnya di tangannya kini sudah berada di tangan Ado. Ado mengangguk dan menyimpannya di saku celana. "Kamu mau ke mana? Di sini aja jagain Seren."

"Gue terlalu nggak pantas buat Seren. Oh iya, tolong kasih surat ini ke teman Seren yang namanya Ara. Lo tau, 'kan?"

Ado mengangguk. Delvin kembali memberikan kertas, namun dengan warna yang berbeda. Di depan suratnya sudah ada nama, jadi sangat kecil kemungkinan surat itu jatuh ke tangan yang salah.

"Anggap aja itu surat terakhir dari gue. Makasih banyak, Ado. Maafin gue kalau ada salah sama lo."

-💃-

Nah, kira-kira kayak gitu ruangan Seren xixi.

Btw, maapkeun baru update hehe. Semoga tetap suka sama jalan ceritanya, ya.

Vote & komen ditunggu ❤
Saran & kritik juga ditunggu ❤

Serendipity [Completed]Where stories live. Discover now