Chapter 7

4.3K 461 64
                                    

Happy Reading❤

-💃-

Nia menutup mulutnya dengan tangan. Nia tidak menyangka itu semua terjadi pada Seren. Begitu terkejut hingga tidak dapat mengeluarkan satu patah kata pun. Galen yang melihatnya sangat benci jika harus mengatakan ini. Di ruangan ini begitu banyak air mata yang jatuh dari orang-orang yang berbeda setiap harinya. Galen tidak sanggup jika harus melihat saat-saat seperti ini, tapi semua harus dikatakan agar tidak ada rahasia. Biar bagaimanapun mereka semua satu saudara, Galen tidak bisa melihat saudaranya menangis apalagi karena perkataannya.

"Jadi, Seren harus dirawat di sini terus, Dok? Tapi, masih bisa sembuh, kan?" tanya Delvin seraya menatap Galen penuh harap.

"Saya nggak bisa jawab sekarang. Cuma Tuhan yang tau, saya di sini cuma perantara saja. Untuk perawatan Seren bisa dilakukan rawat jalan atau jika mau dirawat di sini juga boleh. Benjolan yang ada di hati Seren sudah berukuran besar, namun hatinya masih dapat berfungsi dengan baik. Semua keputusan terserah pihak keluarga, bisa dirawat inap atau rawat jalan. Lagipula Seren masih sekolah, mungkin dia ingin ke sekolah dan tidak betah di sini."

Nia menghapus buliran bening yang sudah banyak sekali membasahi bajunya. Delvin memegang pundak Nia, di sini mereka sama terpukulnya. Namun, Seren lebih terpukul dengan semua ini. Jika orang-orang terdekatnya menangis bahkan kehilangan semangat, bagaimana Seren bisa menerima penyakitnya yang serius ini? Semangat yang luar biasa tentu berasal dari seorang ibu, kedekatan Nia dan Seren yang sudah seperti sahabat tentu Nia harus menguatkan Seren.

Delvin terdiam beberapa detik. Dia menatap lurus ke depan, pikirannya kosong. Dia bingung dengan semuanya, dia hanya dapat berharap bahwa ini mimpi buruk yang akan segera berakhir. Delvin kembali mengingat saat-saat bersama dengan Seren, gadis itu sangat ceria sekaligus menyebalkan. Delvin jadi merindukan saat-saat itu daripada harus berada di ruangan ini dan mendengar sesuatu yang tidak seharusnya didengarkan. Mungkin ini pilihan yang salah, harusnya Delvin tidak perlu ikut dengan Nia. Lebih baik Delvin menemani Seren saja.

"Kanker yang ada di tubuh Seren masih stadium awal. Ada dua pengobatan yang dapat dilakukan, yang pertama dengan cara bedah dan kedua dengan transplantasi hati. Bedah mungkin bukan pilihan tepat karena Seren sepertinya tidak akan setuju, pilihan kedua transplantasi hati ini membutuhkan pendonor hati. Di mana akan mendapatkan pendonor hati? Ini sangat sulit ditemukan, beda halnya dengan pendonor ginjal yang cukup mudah ditemukan bahkan bisa didapat dari keluarga pasien karena setiap manusia memiliki dua ginjal. Tapi, kalau hati? Sangat sulit sekali. Semoga kita diberi kemudahan agar cepat menemukan pendonor."

Delvin menoleh ke arah Mama Seren. Masih diam dengan pikiran yang bercabang. Mungkin di sini Delvin yang harus menguatkan Mama Seren. Rasa sesak itu pasti ada, tapi diam bukan pilihan yang tepat. Waktu terus berputar dan diam tidak akan menghasilkan apa pun. Diam itu berhenti sejenak tidak masalah, tapi diam untuk selamanya hanya akan menimbulkan penyesalan.

"Oh iya, untuk pengobatan selanjutnya, Seren akan ditangani oleh dokter khusus kanker liver. Itu bukan bagian saya, jadi saya hanya dapat membantu sampai pemeriksaan saja," ujar Galen sambil tersenyum tipis.

"Baiklah, kalau begitu kami pamit. Terima kasih, Dok."

Setelah bersalaman dengan Dokter yang menangani Seren, Delvin menepuk pelan bahu Mama Seren. Mama Seren balas bersalaman dengan Galen kemudian melangkahkan kakinya bersamaan dengan Delvin. Delvin masih bingung harus memulainya dari mana, Delvin tahu ini bukan hal yang mudah bagi Mama Seren. Bertemu dengan Seren dengan raut wajah dan buliran air mata seperti ini juga bukan pilihan yang tepat. Gadis itu membutuhkan semangat bukannya melihat tangisan dari orang yang sangat berarti di hidupnya.

Delvin menghentikan langkahnya. Tangannya bergerak menahan pergelangan tangan Mama Seren yang terus melangkah tanpa fokus ke mana arah kakinya melangkah. Mama Seren menoleh ke belakang, ada Delvin dengan senyuman tipisnya. Mama Seren hanya diam menunggu Delvin berbicara.

Delvin mengembuskan napasnya perlahan. Mau tidak mau Delvin harus membuat kesepakatan dulu dengan Mama Seren agar nantinya tidak ada perbedaan pendapat saat Seren menanyakan kondisi dirinya. Seren yang keras kepala dan tidak mau mendengarkan penjelasan hingga akhir tentu akan membuat keduanya sulit memulai penjelasan tentang penyakitnya.

"Gimana, Tan? Tante, mau ngejelasin dari mana dulu biar Seren paham. Dari dua pilihan yang dokter bilang tadi, Tante milih yang mana? Rawat inap atau rawat jalan?" tanya Delvin pelan.

Nia menggerakkan bola matanya ke kanan dan ke kiri. Tangannya menyentuh bahu Delvin sambil tersenyum.

"Biar Seren aja yang nentuin. Kita sama-sama bantu Seren, ya? Namanya juga hidup, kalau semuanya berjalan mulus pasti kita nggak dapat pelajaran." Nia tersenyum tipis kemudian melanjutkan aktivitasnya yang sempat terhenti. Bukan bermaksud meninggalkan Delvin, tapi mereka juga butuh waktu untuk berdamai dengan keadaan. Biarkan keduanya berjalan sendiri ke ruangan Seren. Tujuannya memang sama, tapi lebih baik sendiri agar nantinya dapat memberikan sisi positif kepada Seren.

Delvin memilih duduk di tempat yang telah disediakan. Suasana rumah sakit lumayan ramai, itu artinya ada banyak orang yang sakit di sini. Delvin memperhatikan orang yang melewati koridor. Tatapannya terhenti di lantai koridor, ada banyak sekali darah yang menetes. Sepertinya ada korban kecelakaan yang cukup parah, terbukti dari bercak darah di sepanjang koridor.

Belum selesai dengan tatapan mengerikan Delvin pada bercak darah di lantai, kini suara tangisan serta teriakan terdengar jelas di telinga Delvin. Saat ini Delvin sedang berada di dekat UGD, Delvin juga tidak tahu mengapa memilih duduk di tempat yang seperti ini. Tempat yang sangat dibenci siapa saja karena tempat ini bisa menjadi penolong dan dapat berubah menjadi tempat yang penuh tangisan jika nyawa pasien tidak dapat diselamatkan.

Delvin tidak ingin berada lama-lama di sini. Hatinya sudah hancur melihat mama Seren yang menangis dalam diam dan sekarang Delvin malah mendengar isak tangis dari orang lain. Delvin melangkahkan kakinya menuju ruangan Seren. Tanpa membuang banyak waktu, Delvin menarik kenop pintu. Sudah ada Nia di sana, itu artinya Seren sudah mengetahui semuanya dari Nia.

Delvin mendekat sambil tersenyum tipis. Dia mengusap rambut Seren penuh kasih sayang. Buliran bening itu tampaknya sudah banyak sekali keluar dari mata Seren. Bajunya sudah basah. Delvin tidak sanggup melihat Seren seperti ini, tapi di satu sisi dia juga tidak dapat melakukan apa-apa.

Delvin sadar, baru kali ini dia melihat Seren menangis seperti sekarang. Seren bukan seorang sahabat yang mudah menangis apalagi di depan Delvin dan sekarang tangisan itu sangat jelas dilihat oleh Delvin. Ingin sekali rasanya marah kepada semesta, tapi tidak ada gunanya juga.

"Seren nggak mau meninggal, Ma."

-💃-

Hallo hallo hai, huhu maapkeun lama update-nya hehe. Kasih tau kalau ada typo, ya. 😉

Vote & komen ditunggu ❤
Saran & kritik juga ditunggu ❤

Serendipity [Completed]Where stories live. Discover now