Chapter 23

2.1K 234 45
                                    

Happy Reading ❤

-💃-

Nia memandangi wajah Seren yang sedang terlelap. Tangan kanannya masih terus mengusap kepala Seren penuh kasih sayang, sedangkan tangan kirinya mengenggam tangan Seren. Setiap hari doanya selalu sama, hanya ingin melihat Seren beraktivitas seperti biasa.

Diagnosa dokter yang mengatakan penyakit Seren semakin parah membuat rasa resah Nia kian hari meningkat. Rasa takut kehilangannya semakin besar. Terlebih suaminya yang sering ditugaskan di luar kota membuatnya semakin merasa sendirian dan menghabiskan waktu dengan merenung. Keputusan yang diambil oleh abang Seren untuk pindah kuliah di luar negeri sempat ditentang Nia, tapi Seren meyakinkannya. Seren yang paling mengerti setiap keinginan keluarganya, namun terkadang ia sering lupa dengan dirinya sendiri.

Nia sudah pernah membicarakan perihal transplasi hati, namun ternyata hatinya tidak memenuhi kriteria. Nia tetap seorang ibu yang pasti mendahulukan kepentingan anaknya daripada diri sendiri. Melihat Seren yang terus berada di rumah sakit dengan pola makan yang selalu diatur membuat Nia hanya bisa menangis dalam diam. Obat-obatan yang selalu menjadi daya tahan tubuh Seren seakan-akan sudah menjadi bagian hidup Seren.

Beberapa menit Nia habiskan dengan merenung, dia baru sadar dengan tangannya yang sudah penuh dengan rambut Seren. Buliran bening itu akhirnya tidak dapat Nia tahan lagi, perlahan jatuh membasahi pipi Nia. Dengan cepat Nia membersihkan rambut dan bantal Seren lalu membuangnya ke dalam tempat sampah. Sudah cukup kesedihan Seren selama di rumah sakit, jangan sampai ia semakin sedih karena sebentar lagi rambutnya akan habis akibat kemoterapi.

Nia membuka gorden agar cahaya matahari masuk dan udara segar ikut masuk. Nia kembali duduk di bangku yang sempat dia tinggalkan beberapa detik. Nia terkejut melihat bola mata Seren yang sudah terbuka sempurna, Seren terkekeh melihat raut wajah Mamanya yang lucu.

"Ma, Seren boleh minta sesuatu, nggak?" tanya Seren seraya mengubah posisinya menjadi duduk.

Nia mengangguk. Tentu saja Nia akan melakukan apa pun yang diminta Seren asal masih bisa dipenuhi. "Kamu mau apa, Sayang?"

"Seren mau dipindahin ruangan aja boleh, nggak, Ma? Seren mau dirawat di ruangan biasa aja, biar Seren nggak sendirian. Kalau di ruangan biasa, nanti Seren punya tetangga, Ma." Seren terkekeh saat mengatakan kata tetangga. Ini sudah lama ia inginkan, tapi ia ingin memastikan kondisinya sesuai agar nantinya ia tidak menyusahkan orang yang berada satu ruangan dengannya.

Raut wajah Mamanya terlihat berpikir. Nia menyilangkan tangannya di brankar Seren lalu mengangguk pasrah. "Nanti Mama coba tanya dokter, ya. Emang kamu nggak suka di sini, Ren?"

Seren menggeleng cepat, ia tidak ingin Mamanya memikirkan hal buruk tentangnya. Sudah cukup dirinya menjadi alasan air mata Mamanya jatuh. Tidak ada alasan lain selain yang ia katakan dengan Mamanya. Ia benar-benar tidak ingin menghabiskan waktu sendirian. Selain itu, ia juga dapat lebih bersyukur satu ruangan dengan orang-orang yang memiliki penyakit berbeda. Dengan begitu, apa pun yang akan terjadi ke depannya tidak akan membuatnya emosi apalagi menyalahkan semua yang telah terjadi.

"Seren suka di sini, Ma. Cuma Seren nggak mau buat Mama kesusahan terus Seren juga mau punya teman, Ma. Ya, walaupun nggak seumuran juga nggak masalah."

Nia tersenyum tipis lalu mengusap tangan Seren. Seren memeluk Mamanya, merindukan suara tawa keluar dari bibir Mamanya.

-💃-

Seren tertawa bahagia, akhirnya ia pindah ke ruangan yang ia inginkan. Nia yang melihat raut wajah senang Seren bisa bernapas lega. Jika dulu Seren akan tertawa saat diajak belanja, maka lain halnya dengan yang sekarang. Nia dengan berat hati membawanya pindah ke ruangan ini, Nia malah takut kejadian lain menimpa Seren.

Setelah membereskan semua barang-barang yang dibutuhkan Seren, Seren meminta Nia untuk beristirahat di rumah. Seren juga memintanya agar besok tidak datang ke sini karena takut Nia kecapekan. Padahal itu semua bertolak belakang, Nia lebih takut diam di rumah. Memikirkan hal-hal buruk yang akan terjadi dengan Seren di rumah sakit, apalagi jika dokter menyampaikan perihal penyakitnya.

Seren mencium punggung tangan Nia lalu melambaikan tangannya dengan senyuman yang terukir di bibirnya. Seren melihat pintu yang sudah ditutup lalu membaringkan tubuhnya. Ia menjentikkan telinganya, ia belum memberi tahu Ado tentang keputusannya pindah ruangan.

Tidak berapa lama Seren mengirimi Ado pesan singkat, kini laki-laki itu tengah mendorong kursi rodanya ke arah Seren. Seren mengubah posisinya menjadi duduk. Ia memutuskan untuk turun dari brankar lalu mendekatkan tubuhnya dengan Ado. Ado menaikkan sebelah alisnya, tidak mengerti dengan perbuatan Seren yang mendadak. Gadis itu sepertinya mulai belajar mengikuti dirinya yang jarang berbicara.

"Aku mau ngomong sesuatu. Kamu jangan gitu dong ngelihatin akunya," ucap Seren kesal.

Ado terkekeh lalu mengangguk.

Seren mendekatkan bibirnya di telinga Ado. Sepuluh detik Ado menunggu dan mendengarkan bisikan apa yang akan dikatakan Seren. Seren kembali duduk di bangku yang telah disediakan di samping brankarnya.

"Dengar, nggak?" tanya Seren dengan gaya centilnya.

Ado menaikkan bahunya. "Nggak, Ren. Kamu bilang apa? Cuma embusan napas doang yang aku dengar."

Seren menggeleng. "Aku emang nggak ngomong apa-apa, Do."

Ado tidak menanggapi ucapan Seren. Ado memilih mengedarkan pandangannya, melihat pemandangan baru ruangan Seren yang tentunya akan sering dia kunjungi. Lain halnya dengan Seren yang berdiri di atas bangkunya lalu mengambil infus yang selangnya sedari tadi mengganggu gerak Seren.

Ado tidak ingin menanyakan perihal infus dan mengapa Seren tiba-tiba pindah ruangan. Menanyakan kedua hal itu justru akan membuat Seren sedih. Ado mendorong kursi rodanya pelan, dia berniat mengambil buah-buahan agar Seren memakannya.

"Aduh." Seren memukul pelan bahu Ado yang berada di depannya. Apa Ado tidak melihat kaki Seren yang berada di depan kursi rodanya? Rasanya sakit sekali karena berat Ado dan kursi rodanya. 

Ado kembali memutar arah kursi rodanya mendengar ucapan Seren. Dia tidak menyadari baru saja menginjak kaki Seren. Seren menaikkan kaki kanannya di pangkuan, mengusapnya agar warna kemerahan hilang lalu meniupnya pelan.

Dengan cepat, Ado mengambil alih kaki Seren. Menaikkan kakinya di pangkuan Ado lalu meniupnya. "Maafin aku, Ren. Nggak sengaja."

Perlakuan manis Ado menimbulkan gerakan refleks dari Seren. Gadis itu menendang Ado menggunakan kaki kanannya yang berada di pangkuan Ado. Laki-laki itu terdorong tidak begitu jauh, namun dia tidak mampu mengendalikan kursi roda hingga tubuh Ado terjatuh.

Seren yang melihatnya langsung menghampiri Ado. Laki-laki itu memegang kepalanya dengan raut wajah seperti menahan kesakitan. Ia mengumpulkan seluruh tenanganya, mengangkat Ado ke atas brankar lalu berlari ke luar ruangan memanggil dokter.

-💃-

Nah, gimana gimana? Semoga selalu suka dengan setiap chapternya dan bertahan baca sampai ending, ya.

Vote & komen ditunggu ❤
Saran & kritik ditunggu ❤

Serendipity [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang