Chapter 17

2.2K 286 59
                                    

Happy Reading ❤

-💃-

Seren memutar bola matanya ke kanan dan kiri. Wanita yang menggunakan jas berwarna putih itu belum juga selesai memeriksa keadaannya. Bukan tanpa sebab tiba-tiba Dokter itu memeriksanya, Seren tidak sadarkan diri saat berada di kamar mandi. Sebenarnya bukan fisiknya yang sakit, melainkan hatinya. Tapi, apa boleh buat? Semuanya juga sudah terjadi.

Tatapan wanita itu sinis, tidak seperti dokter lainnya. Seren menyipitkan kedua matanya bingung. Bukannya segera menjelaskan hasil pemeriksaan, dia malah menarik bangku yang berada di samping Seren lalu menatap Seren seraya tersenyum tipis. Seren berusaha menarik bibirnya agar tersenyum, ia ingin memperbaiki hubungannya dengan Dokter ini.

"Saya nggak paham sama kamu." Satu kalimat yang membuat Seren semakin bingung. Ia menatap Dokter itu sekilas lalu mengalihkannya ke langit-langit kamar yang selalu memberikan sisi kehangatan di hatinya.

"Kamu itu cantik, masih muda, pinter, dan kamu juga lagi jatuh cinta. Saya ini Dokter, saya paham perasaan kamu. Tapi, saya nggak paham kenapa kamu selalu natap saya nggak suka. Saya bisa bantu kamu dan kamu bisa bantu saya."

Seren mengembuskan napas pelan. Tangan kanannya ia gunakan merapikan helaian rambut yang mengenai pipinya. Kalimat jatuh cinta sungguh tidak pantas bagi dirinya. Apa pun itu, harusnya Seren fokus pada kesehatannya. Berat badannya semakin hari turun drastis. Ia lebih sering merasakan nyeri di perut bagian kanan atas. Rasa mual yang ia rasakan selama beberapa hari ini membuatnya kehilangan banyak tenaga. Seren tidak benar-benar melupakan segala rasa sakit di tubuhnya, tapi hanya berusaha seolah baik-baik saja.

"Seren mau pindah rumah sakit aja, Dok. Seren nggak mau terus-terusan ketemu dia, nanti Seren gagal move on." Seren mengubah posisinya menjadi duduk. Ia menatap wanita yang duduk di sampingnya penuh harap. Tangan Seren meraih pergelangan tangan Dokter yang sedari tadi juga balas menatapnya. Ia mengusap tangan Dokter itu sambil mengangguk-anggukkan kepala meyakinkan Dokter itu.

Wanita itu menggelengkan kepalanya. "Seren, saya harus ngasih tau ini sama kamu. Kanker yang ada di tubuh kamu itu sudah semakin parah. Awalnya hanya stadium B dan sekarang sudah menjadi stadium D atau stadium akhir. Perkembangannya begitu cepat karena kamu jarang minum obat."

Mata Seren memanas, ia mengedipkan kedua matanya berharap buliran bening itu tidak jatuh membasahi pipinya. Tadi ia sudah cukup lama menangis di kamar mandi dan sebentar lagi ia akan kembali menangis. Ia saja tidak berani menatap pantulan dirinya di cermin. Entah seperti apa kondisi wajahnya, yang pasti matanya sudah sembab karena membuka matanya saja terasa sulit.

"Kamu nggak boleh pindah rumah sakit. Besok kamu harus kemoterapi. Masalah cowok itu, harusnya kamu lebih semangat lagi nunjukkin ke dia kalau kamu bisa sembuh. Saya yakin perihal penyakit bukan menjadi penghalang dua hati yang sedang jatuh cinta."

Raut wajah Dokter itu begitu tenang. Tidak ada tanda kekesalan di wajahnya, sangat berbeda saat pertama kali mereka bertemu. Dokter itu beranjak, mengusap rambut Seren pelan. Tangan kanannya dia kepal, memberikan semangat kepada Seren sebelum benar-benar meninggalkan Seren.

Dering ponsel mengalihkan perhatian Seren, ia mengambil benda pipih itu. Terlihat jelas nama Ara di sana, ia menekan tombol hijau lalu menempelkannya ke telinga. Sepuluh menit berbicara melalui benda pipih ini membuat Seren bosan, ia berpamitan kepada Ara karena akan ke luar mencari udara segar. Tidak banyak yang mereka bicarakan, Ara selalu menghubunginya sekadar menanyakan kabar, apakah Seren sudah minum obat, dan hal lainnya.

Seren meletakkan ponselnya di atas nakas lalu berjalan ke luar ruangan. Tidak ada yang dapat menemaninya hari ini, Nia sempat mengabari Seren bahwa dia sedang tidak enak badan. Nia berniat datang ke rumah sakit, tapi Seren melarangnya. Lagi pula Seren ingin menghabiskan waktu sendiri hari ini.

Jarak antara dirinya dan pintu tinggal dua langkah lagi, tapi suara ketukan pintu membuat Seren berpikir sejenak. Apakah Delvin mengunjunginya? Atau Ado? Ia memilih memastikan siapa yang berada di luar, ia memperhatikan laki-laki yang berada di luar sana melalui celah jendela. Laki-laki itu memakai pakaian yang sama dengannya, siapa lagi jika bukan Ado.

Seren menghentakkan kakinya kesal. Ia tidak ingin melihat wajah orang itu. Jika laki-laki itu berada di sana, lalu bagaimana Seren bisa ke luar? Seren mengunci ruangannya lalu memutuskan untuk memutar badannya. Bertemu Ado hanya akan membuatnya kesal. Belum sempat Seren melangkahkan kakinya, ia kembali mendengar suara ketukan pintu bersamaan dengan suara Ado yang memanggil namanya.

"Ayo, buka pintunya, Ren. Kalau mama nggak suka kamu juga nggak masalah, yang penting aku suka sama kamu. Mama bakalan suka sama kamu, kok, Ren. Mama cuma lagi nilai kamu dan semuanya butuh waktu."

Seren yang masih dapat mendengar jelas perkataan Ado memilih berjalan mendekat ke arah pintu. Ia merindukan suara Ado yang selalu menyalurkan rasa hangat pada Seren.

"Jangan kayak gini, Ren. Kalau kamu ngira aku nggak ada usaha buat perjuangin kamu di depan mama, kamu salah besar. Tadi aku udah ceritain tentang kamu ke mama, mama belum bisa suka ke kamu. Tapi, nanti aku usaha lagi, Ren."

Ado mengetuk pintu lagi, kali ini suara ketukannya terdengar dua kali lebih keras. Seren memilih duduk di lantai, mendengar segala penjelasan Ado tanpa berniat membalasnya.

"Kanker kamu makin parah, Ren. Aku makin takut kamu ngelakuin hal yang nggak wajar di dalam. Sini Ren, ayo sama aku. Kita lawan penyakitnya sama-sama."

Ado menarik kenop pintu, mengetuk pintu semakin kuat lalu berpindah ke jendela. Seren yakin pasti laki-laki itu melihatnya dengan jelas. Seren beranjak, menatap Ado yang juga menatapnya dari jendela. Laki-laki itu menemuinya tanpa kursi roda, Seren semakin khawatir. Hal buruk dapat terjadi kapan saja pada Ado, tapi mengapa laki-laki itu malah tidak menggunakan kursi rodanya? Apakah itu demi dirinya? Apa karena Seren sering sekali pergi meninggalkannya dalam keadaan marah?

Tidak ada pilihan lain, Seren membuka pintunya lalu ke luar dari ruangan. Seren duduk di bangku yang telah disediakan di depan ruangan rawat inap. Ado ikut duduk di sampingnya, dia menyandarkan kepala Seren di bahunya lalu diam menikmati kesunyian ini. Entah mengapa tiba-tiba hatinya luluh dan tidak berniat menolak sama sekali.

Dari kejauhan, Seren melihat seorang gadis yang menggunakan dress berlengan panjang sedang berjalan tergesa-gesa ke arah mereka. Seren semakin penasaran, sedangkan Ado tampaknya tidak memperhatikan objek yang sedari tadi Seren perhatikan.

Gadis itu menjauhkan kepala Seren dari bahu Ado kemudian menarik kasar tangan Seren. "Lo genit banget, sih! Gue ingetin sama lo, jangan ganggu pacar gue!"

-💃-

Hallo hallo hai. Akhirnya, aku update juga. Ini udah lebih dari setengah ceritanya karena kisah mereka nggak bakalan lebih dari 30 chapter.

Vote & komen ditunggu ❤
Saran & kritik juga ditunggu ❤

Serendipity [Completed]Where stories live. Discover now