Chapter 30

2.8K 248 41
                                    

Harusnya ini chapter terakhir terus publish epilog, tapi ternyata enggak. Malah nyempil satu chapter lagi. Ya udah, deh.

Enjoy!

Happy Reading ❤

-💃-

Seren yang masih mengedarkan pandangannya ke sekitar sambil sesekali menghidup udara segar terkejut karena Ado tiba-tiba menggenggam tangannya kuat. Seren mengalihkan pandangannya, lagi dan lagi Seren harus kebingungan karena sepertinya Ado kesulitan berbicara seperti waktu itu.

Seren mendorong kursi roda Ado ke ruangannya. Ia takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Ado sedang ditangani oleh Dokter biasanya. Mama Ado mengusap rambut Seren lalu memintanya untuk kembali ke ruangannya.

"Kamu istirahat aja, Ren. Biar Mama yang temanin Ado. Lagian besok kamu udah mulai sekolah, 'kan?"

Seren mengangguk. "Kalau gitu Seren balik duluan, ya, Ma."

Seren mencium punggung tangan Saras lalu melambaikan tangannya. Ia tidak mau meninggalkan Ado di sana, tapi keadaan yang mengharuskannya untuk pergi. Jika Ado melihat Seren tidak mengikuti ucapannya, maka laki-laki itu akan menasehatinya panjang lebar. Seren tidak begitu suka mendengarnya.

Seren berdiri di ambang pintu, memperhatikan Mamanya yang sedang memegang pakaian miliknya. Seren melangkahkan kakinya mendekat, memeluk Mamanya dari belakang. "Akhirnya, Seren bisa pulang juga, Ma. Ma, Seren mau nanya, dong."

Nia melepas pelukannya, membawa Seren tepat di hadapannya. "Tanya aja, Ren."

"Siapa yang donorin hati buat Seren?" tanya Seren sambil menggigit kukunya.

Nia menggeleng. "Mama nggak tau, Ren. Dokter juga nggak mau ngasih tau. Coba kamu tanya Ado atau Ara, mungkin mereka tau."

Seren mengangguk lalu mengambil alih dress kesayangannya.

-💃-

Nia dan Seren berjalan menuju ruangan Ado dirawat untuk berpamitan. Nia sendiri tidak masalah Seren menyukai Ado karena Ado terlihat begitu tulus. Perihal penyakit Ado juga tidak Nia pikirkan, itu hanya masalah waktu.

Saras yang sebelumnya berada di dalam ruangan Ado, memilih keluar bersama Nia dengan alasan ingin saling mengenal satu sama lain. Seren terbahak mendengar alasan yang sangat tidak logis.

Kondisi Ado sudah lebih baik, tapi itu tidak menjamin apa pun. Ado menarik pergelangan Seren agar lebih dekat. "Naik sini, Ren. Kamu kecapekan kayaknya."

Seren terkekeh mendengar ucapan Ado yang lebih tepatnya dikatakan modus. Seren mencubit pelan tangan Ado.

"Ado, kamu sayang sama aku? Aku capek punya hubungan nggak jelas kayak gini," ujar Seren seraya mengusap pelipisnya.

Tidak ada balasan dari Ado. Suasana hening beberapa detik. Bukannya Ado tidak ingin menjawab, tapi Ado tidak ingin Seren nantinya semakin sakit hati. Ado sendiri tahu, umurnya sudah tidak lama lagi. Tanda-tanda kematian sudah Ado rasakan sejak minggu-minggu sebelumnya. Memberikan kepastian dengan Seren sekarang tentu akan membuatnya sakit hati lebih dalam. Tanpa dia sadari, Ado menggelengkan kepalanya.

Seren memelotot melihat balasan Ado. "Jadi, kamu cuma main-main aja? Jahat banget."

"Bukan, Ren. Bukan gitu. Aku harus jujur sama kamu, waktu aku itu udah nggak lama lagi. Aku nggak mau punya hubungan sama kamu terus tiba-tiba Tuhan manggil aku dalam keadaan kita masih pacaran. Aku nggak mau bikin semuanya jadi susah." Ado mengusap air mata di pipi Seren. Gadis itu terlihat kesal, namun mencoba diam karena tidak ingin memperpanjang urusan.

Ado mengubah posisinya menjadi duduk lalu menjentikkan jarinya teringat sesuatu. Ado turun dari brankar lalu membuka laci. Seren tidak begitu memperhatikannya, ia menduduk sibuk dengan ponselnya yang beberapa hari ini jarang ia gunakan. Bukan tanpa alasan Seren memilih sibuk dengan ponselnya, tentu saja agar ucapan Ado tidak berputar jelas dalam pikirannya.

Ado menyodorkan amplop berwarna biru langit di hadapan Seren. Ia menatapnya sekilas lalu menaikkan sebelah alisnya. "Dari kamu? Makasih, Ado." Seren menunjukkan deretan giginya. Itu amplop yang ia temui kemarin.

"Bukan Ren, dari Delvin. Dia nitip pesan, kalau kamu nanya tentang dia baru boleh suratnya dikasih. Kenapa aku kasih sekarang padahal kamu nggak nanya? Karena aku nggak mau kamu nyesal apalagi biarin Ara sedih sendirian. Baca dulu isinya, Ren."

"Maksudnya, Do? Suka banget bikin penasaran."

"Kamu banyak nanya. Baca dulu isinya baru dapat jawaban."

Seren mengikuti arahan Ado. Ia mengeluarkan kertas berwarna senada dengan amplop itu lalu mulai membaca deretan kata yang ditulis Delvin.

Hallo, Ren. Gimana keadaan lo setelah transplantasi hati? Semoga keadaan lo makin sehat dan sehat-sehat terus ke depannya. Gue nggak suka lihat lo marah, buang barang-barang, apalagi teriak-teriak kesal. Itu semua nggak cocok sama muka lo yang sok cantik itu, Ren. Hehe bercanda, Ren. 

Gue cuma minta lo jaga kesehatan, jaga pola makan, jaga diri, dan jagain Ara karena gue udah nggak bisa jagain kalian lagi. Gue nggak tau lo baca surat ini kapan, yang pasti gue cuma minta satu. Setelah lo baca surat ini, tolong temanin Ara karena dia pasti lagi sedih dan terpuruk. Gue sok tau aja, sih. Haha. Gue nggak mau makin nyakitin hati dia. Dosa gue udah banyak banget, Ren.

Kalau lo nanya siapa yang donorin hatinya buat lo, jawabannya gue. Gue sengaja donorin hati gue karena gue nggak tahan sama kondisi keluarga gue. Gue takut lama-lama kejiwaan gue terganggu. Apa pun yang gue lakuin, itu murni kemauan gue, Ren. Jangan pernah nyalahin diri lo apalagi nyalahin keluarga gue karena nggak ada yang salah. Ini semua kemauan gue. Alasan kedua, kalau gue nggak bisa dapatin hati dan menangin perasaan lo, setidaknya ada bagian tubuh gue di diri lo. Itu udah lebih dari cukup. Lagi pula, perasaan nggak bisa dipaksakan.

Makasih udah ngajarin gue banyak hal terutama tentang perasaan, makasih udah mau mahamin kondisi gue, dan makasih buat tamparan yang berarti banget di hidup gue. Gue cuma berharap lo sama Ado bisa bahagia dan hidup bareng nantinya. Kalau itu nggak terjadi, semoga lo bisa nemuin kebahagiaan lo yang lain.

Sampai ketemu lagi, Ren.

Delvin

Buliran bening jatuh membasahi pipi dan kertas yang sedang ia baca. Ia menggenggam kertas itu kuat lalu berlari sekencang mungkin agar cepat keluar dari ruangan itu. Ia memaksa Mamanya untuk memberikan kunci mobil tanpa menjawab satu pun pertanyaan yang Mamanya lontarkan.

Ia membawa mobilnya menuju rumah Ara. Suasananya sangat beda seperti hari-hari biasanya. Ara yang memang hidup sendirian tentu sudah tidak asing dengan kata kesepian. Buru-buru ia melangkahkan kakinya di depan pintu berwarna putih itu. Asisten rumah tangga Ara membuka pintu dengan raut wajah khawatir.

"Ara mana, Bu?" tanya Seren tanpa basa-basi.

"Ada di kamar. Dipanggilin nggak mau keluar."

-💃-

Hallo hallo hai, aku tiba-tiba kasian sama Ara. BTW ini udah mau ending, ada harapan buat kisah Ado dan Seren?

Vote & komen ditunggu ❤
Saran & kritik juga ditunggu ❤

Serendipity [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang