Chapter 15

2.6K 302 72
                                    

Happy Reading ❤

Gadis yang baru saja ke luar dari kamar mandi itu mengembuskan napasnya kasar. Lagi dan lagi, ia harus menggunakan pakaian khas rumah sakit yang ukurannya dua kali lipat dari ukuran pakaian Seren biasanya. Ingin sekali memasukkan bajunya ke dalam celana agar tidak terlalu kebesaran, namun hal itu malah membuatnya semakin aneh. Bisa-bisa pengunjung rumah sakit menertawakan perbuatan konyolnya itu.

Ia melangkahkan kaki, duduk di tempat yang cukup ia sukai di ruangan ini. Duduk di dekat jendela menjadikannya dekat dengan alam sekitar. Melihat orang-orang di luar sana yang sibuk beraktivitas. Terkadang hal itu malah membuat Seren lebih bersyukur. Ia melihat seorang gadis yang sepertinya masih berusia sepuluh tahun, dia sedang bernyanyi dengan alat yang dia pukulkan pelan di tangannya. Alat itu mengeluarkan suara yang tidak begitu bagus, tapi cukup sebagai instrumennya. Ketika selesai bernyanyi, dia mulai mengangkat bungkus permen yang dijadikan sebagai tempat upahnya.

Suara kenop pintu yang ditarik membuat Seren mengalihkan pandangannya. Laki-laki itu tersenyum ke arahnya, bukan senyuman tipis melainkan senyuman jahil. Siapa lagi kalau bukan Delvin, Seren juga merindukan Delvin. Semenjak berada di rumah sakit, ia hanya berlarut dalam kesedihannya, marah dengan keadaan, ataupun berteriak. Ia meminta teman-temannya untuk pergi, padahal selama ini merekalah kekuatan Seren.

Laki-laki itu mengambil bangku yang terletak di samping bankar Seren, memindahkannya di samping Seren lalu duduk dengan senyuman jahilnya. Ingin sekali Seren mencubit pinggangnya, namun ia tidak ingin merusak suasana.

"Kenapa suka banget duduk di sini?" tanya Delvin dengan raut wajah penasaran. Delvin ikut memperhatikan objek yang sedari tadi Seren perhatikan. Hanya pemandangan biasa yang sebenarnya malah membuat sakit kepala. Ini sama saja menyaksikan permasalahan hidup orang lain. Jalanan macet membuat pengendara berdecak kesal, anak-anak yang menjual koran, pengamen, dan hal lainnya. Delvin memijat pelipisnya.

"Emang kalau suka harus ada alasan, ya, Vin?" Seren balik bertanya. Ia tidak terlalu ambil pusing pertanyaan Delvin tadi, tapi ia ingin menghubungkannya dengan yang lainnya.

"Harus, Ren. Nggak mungkin lo tiba-tiba suka. Sama juga sih, kalau lo benci sama orang pasti punya alasan, 'kan?"

Seren mengangguk-angguk. Terdiam beberapa detik, memikirkan hal yang selalu mengisi pikirannya. Ia sendiri juga bingung harus bercerita kepada siapa. Mungkin Delvin pilihan yang tepat. "Kalau gue suka Ado, emang harus ada alasan, Vin?"

Delvin tidak menjawab dan tidak berniat menjawab. Mengapa Seren tiba-tiba berkata demikian? Tidak sadarkah apa yang baru saja dikatakannya? Seren baru saja menggoreskan banyak sekali sayatan di hati Delvin. Mengapa Seren dengan mudahnya memberikan hatinya kepada laki-laki itu? Laki-laki yang tidak bisa menjaga dirinya sendiri apalagi menjaga Seren nantinya.

Seren mengerutkan keningnya lalu memiringkan kepalanya agar dapat melihat dengan jelas raut wajah Delvin. Delvin balas menatapnya, Delvin mengusap wajah Seren dengan tangannya yang hampir menutupi seluruh wajah Seren.

"Jawab, Vin. Gue bingung sama perasaan sendiri."

Delvin menaikkan kedua tangannya di atas meja. Tangan kanannya menopang dagunya, pandangannya masih menghadap ke depan. Memikirkan kata apa yang tepat untuk menjelaskan perihal perasaan yang selalu menjadi perkara. Bola mata Delvin bergerak ke kanan dan kiri. Delvin menatap Seren sebentar, tidak ingin membuat Seren banyak bertanya lagi.

"Gue nggak pernah larang lo buat suka ke siapa aja. Lo bebas karena gue bukan siapa-siapa lo, tapi lo juga harus pilih-pilih orang, Ren. Lo baru kenal Ado beberapa hari dan lo langsung ngasih hati ke dia. Coba lo pikir-pikir lagi, Ren. Perasaan ke Ado itu benar-benar sayang karena berharap lebih atau cuma perasaan kagum dan suka. Gue nggak mau sampai lo sakit hati gara-gara masalah cowok."

Seren mengangguk lagi, memikirkan arti dari setiap kata yang Delvin lontarkan. Ucapannya tidak terlalu sulit dimengerti, tapi menarik kesimpulannya sangat susah sekali bagi Seren. Ia sendiri juga masih bingung, yang pasti ia ingin terus bersama Ado setiap detik. Apakah itu perasaan kagum atau cinta, Seren sendiri tidak tahu karena ini pertama kalinya Seren menyukai laki-laki.

"Emang gue terlalu nggak pantes buat Ado, ya, Vin?"

Bego, Ren. Lo sadar nggak sih, lagi curhat ke siapa? Kalau lo curhat ke Ara atau Misty itu nggak masalah, tapi kenapa harus gue?

Delvin beranjak, mengusap rambut Seren sebentar sebelum benar-benar pergi. "Kalau lo suka sama Ado, lo perjuanginlah, Ren."

Seren ingin membalas perkataan Delvin, namun laki-laki itu sudah hilang dari pandangannya bersamaan dengan suara kenop pintu.

-💃-

Gadis yang sedang memandangi ponselnya dengan tatapan bingung itu menghentikan langkahnya di tengah koridor. Memilih dengan asal jalan mana yang akan ia lewati agar dapat sampai ke kamar laki-laki yang selalu mengunjunginya. Ado tidak sempat membalas pertanyaan Seren, namun laki-laki itu memberi tahunya lewat aplikasi perpesanan.

Seren melompat-lompat saat berhasil menemukan ruangan yang ia cari. Ia sudah menyusuri setiap ruangan dan baru menemukannya tepat setelah satu jam menjelajahi rumah sakit ini. Ia menghentikan lompatannya lalu menunduk, membaca pesan singkat di ponselnya lalu tersenyum tipis.

"Ruang anggrek nomor 18. Nah, bener." Seren berniat mengetuk pintu berwarna putih itu, namun tangannya yang merasa ditahan oleh seseorang membuatnya menoleh.

"Kamu senang banget ketemu ruangan aku," ujar Ado seraya terkekeh. Seren menggembungkan pipinya kesal. Coba saja Ado ini tidak sakit, sudah pasti Seren akan mencubit pinggangnya.

Ado mendorong kursi rodanya satu langkah di depan Seren. Tangannya bergerak membuka pintu berwarna putih itu lalu meminta Seren untuk masuk. Baru satu menit berada di ruangan Ado, rasanya sangat tenang sekali. Selain harum dan bersih, barang-barang juga tertata rapi layaknya kamar sendiri. Seren jadi malu ketika Ado masuk ke dalam ruangannya yang seperti kapal pecah.

"Kamu mending baring di bankar aja. Aku nggak mau bikin kamu tambah capek, aku lihat kamu dari tadi nyari ruangan aku kayak anak lagi MOS. Kalau anak lagi MOS bakalan dikenalin ke semua tempat, kalau kamu punya inisiatif sendiri."

Seren mengedikkan bahunya tidak peduli dengan ucapan Ado. Ia melangkahkan kakinya ke sofa, menyandarkan dirinya di sana.

"Ya udah kalau nggak mau baring. Kamu mau ngapain ke sini, Ren?" tanya Ado menatap Seren seakan-akan Seren melakukan kesalahan besar.

"Main," jawab Seren enteng.

Ado dan Seren mengedarkan pandangannya ke arah wanita yang baru saja ke luar dari kamar mandi. Seren pikir wanita itu adalah Mama Ado. Wanita itu tersenyum tipis lalu mendekat ke arah keduanya. Seren berdiri, mencium punggung tangan wanita itu.

"Ado, Mama mau bicara sebentar dengan teman kamu ini."

Ado mengangguk, wanita yang baru saja memanggil dirinya dengan sebutan Mama itu, menarik pelan tangan Seren hingga beberapa meter dari Ado. Jantung Seren berdetak lebih kencang, apakah ia baru saja melakukan kesalahan?

"Saya minta sama kamu, jauhi anak saya."

-💃-

Gimana chapter ini? Ini bener-bener baru ditulis hehe. Belum aku baca ulang, kayaknya ada kata-kata nggak nyambung dan typo bertebaran duh so sad. 😢

Vote & komen ditunggu ❤
Saran & kritik lebih ditunggu ❤

Serendipity [Completed]Where stories live. Discover now